Wakil Wali Kota Bima didakwa langgar UU Lingkungan Hidup
3 Juni 2021 15:24 WIB
Wakil Wali Kota Bima Fery Sofyan yang menjadi terdakwa pelanggar Undang-Undang RI Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terkait pembangunan dermaga jetty milik pribadi, duduk di kursi pesakitan mendengarkan jaksa penuntut umum yang membacakan dakwaannya di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bima, NTB, Kamis (3/6/2021). (ANTARA/HO-Kejari Bima)
Mataram (ANTARA) - Wakil Wali Kota Bima, Nusa Tenggara Barat, Fery Sofyan, didakwa melanggar Undang-Undang RI Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terkait pembangunan dermaga jetty milik pribadi.
Kepala Kejari Bima Suroto yang dihubungi melalui sambungan telepon pada Kamis di Mataram,, mengatakan, dakwaan terhadap Fery Sofyan telah tersampaikan oleh jaksa penuntut umum dalam sidang perdana yang digelar di Pengadilan Negeri Bima.
"Jaksa penuntut umum, mendakwa Fery Sofyan dengan Pasal 109 Undang-Undang RI Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup atau Pasal 22 Angka 36 UU RI Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja tentang perubahan atas Pasal 109 Huruf a UU RI Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup," kata Suroto.
Pasal tersebut, kata dia, menjelaskan pidana yang dilakukan perorangan atau badan usaha terkait kegiatan yang tidak mengantongi izin lingkungan.
"Ancaman pidananya paling singkat satu tahun dan paling berat tiga tahun penjara, serta pidana denda paling banyak Rp3 miliar," ujarnya.
Dalam dakwaannya, lanjut Suroto, jaksa penuntut umum menyebutkan pembangunan dermaga di Teluk Bonto, Kelurahan Kolo, Kecamatan Asakota, Kota Bima, ini tidak disertai dengan kajian Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL/UPL).
Hal itu dilihat dari tidak adanya tertera dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dalam syarat administrasi pembangunannya. Karenanya, kegiatan pembangunan dermaga jetty milik terdakwa itu terindikasi berjalan secara ilegal.
Dari sidang perdananya, Suroto mengatakan bahwa terdakwa menanggapi dakwaan tersebut dengan mengajukan eksepsi (nota keberatan).
Dengan tanggapan yang demikian, majelis hakim memberikan kesempatan kepada terdakwa untuk menyampaikan materi eksepsinya pada sidang lanjutan pekan depan, Kamis (10/6).
Untuk selanjutnya, kata Suroto, majelis hakim meminta agar terdakwa yang tidak ditahan sejak penyidikannya di kepolisian dapat dipastikan hadir dalam sidang penyampaian materi eksepsi pekan depan.
Baca juga: Pakar: Eksekusi putusan kasus LH harus sampai pemulihan lingkungan
Baca juga: KLHK jelaskan kendala eksekusi keputusan kasus lingkungan hidup
Baca juga: KLHK segel perusahaan asing kasus kebakaran hutan dan lahan
Kepala Kejari Bima Suroto yang dihubungi melalui sambungan telepon pada Kamis di Mataram,, mengatakan, dakwaan terhadap Fery Sofyan telah tersampaikan oleh jaksa penuntut umum dalam sidang perdana yang digelar di Pengadilan Negeri Bima.
"Jaksa penuntut umum, mendakwa Fery Sofyan dengan Pasal 109 Undang-Undang RI Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup atau Pasal 22 Angka 36 UU RI Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja tentang perubahan atas Pasal 109 Huruf a UU RI Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup," kata Suroto.
Pasal tersebut, kata dia, menjelaskan pidana yang dilakukan perorangan atau badan usaha terkait kegiatan yang tidak mengantongi izin lingkungan.
"Ancaman pidananya paling singkat satu tahun dan paling berat tiga tahun penjara, serta pidana denda paling banyak Rp3 miliar," ujarnya.
Dalam dakwaannya, lanjut Suroto, jaksa penuntut umum menyebutkan pembangunan dermaga di Teluk Bonto, Kelurahan Kolo, Kecamatan Asakota, Kota Bima, ini tidak disertai dengan kajian Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL/UPL).
Hal itu dilihat dari tidak adanya tertera dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dalam syarat administrasi pembangunannya. Karenanya, kegiatan pembangunan dermaga jetty milik terdakwa itu terindikasi berjalan secara ilegal.
Dari sidang perdananya, Suroto mengatakan bahwa terdakwa menanggapi dakwaan tersebut dengan mengajukan eksepsi (nota keberatan).
Dengan tanggapan yang demikian, majelis hakim memberikan kesempatan kepada terdakwa untuk menyampaikan materi eksepsinya pada sidang lanjutan pekan depan, Kamis (10/6).
Untuk selanjutnya, kata Suroto, majelis hakim meminta agar terdakwa yang tidak ditahan sejak penyidikannya di kepolisian dapat dipastikan hadir dalam sidang penyampaian materi eksepsi pekan depan.
Baca juga: Pakar: Eksekusi putusan kasus LH harus sampai pemulihan lingkungan
Baca juga: KLHK jelaskan kendala eksekusi keputusan kasus lingkungan hidup
Baca juga: KLHK segel perusahaan asing kasus kebakaran hutan dan lahan
Pewarta: Dhimas Budi Pratama
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2021
Tags: