Jakarta (ANTARA) - Pakar dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) menyebutkan mukormikosis atau yang dikenal dengan “jamur hitam” tidak menular dari orang ke orang maupun dari binatang.

“Mukormikosis terjadi melalui kontak dengan spora atau elemen jamur dari lingkungan seperti tanah, bahan organik yang membusuk misalnya daun tumpukan kompos dan kotoran hewan,” ujar perwakilan dari PDPI, Dr dr Anna Rozaliyani MBiomed SpP(K), dalam taklimat media di Jakarta, Kamis.

Anna yang juga Ketua Pokja Bidang Mikosis Paru dan Pusat Mikosis Paru Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Persahabatan itu menjelaskan, istilah “black fungus” atau jamur hitam sebenarnya tidak tepat yang benar adalah jamur yang menyebabkan kelainan jaringan berwarna hitam.

“Istilah yang tepat adalah mukormikosis, dan bukan jamur hitam,” tambah dia.

Dia menjelaskan mukormikosis adalah infeksi jamur sistemik yang disebabkan golongan Mucormycetes (Rhizopus spp, Mucor spp, Rhizomucor spp, Cunninghamella bertholletiae, Apophysomyces spp dan Lichtheimia).

Selanjutnya istilah infeksi jamur putih, kuning, dan hitam juga kurang tepat, dan menimbulkan kerancuan karena istilah infeksi jamur putih/kuning terkadang dikaitkan dengan infeksi jamur golongan Aspergillus. Istilah itu berasal dari warna cairan yang keluar dari rongga sinus pasien mukormikosis.

Anna menjelaskan lonjakan kasus mukormikosis lebih dari 9.000 kasus telah dilaporkan di India pada Mei 2021. Mukormikosis dapat ditemukan di seluruh dunia, tetapi kasus yang terbanyak dilaporkan di India. Prevalensi tahunan dilaporkan sebesar 10.000 kasus dan jumlah kasus total diperkirakan 171.504.

Baca juga: Menkes: Penyakit "jamur hitam" belum terdeteksi di Indonesia

Baca juga: Kemenkes perkuat lab genome sequencing, antisipasi varian baru


Lonjakan kasus mukormikosis di India terjadi seiring dengan tingginya lonjakan kasus COVID-19, terutama pada periode Mei 2021. Pada pasien COVID-19 derajat berat terjadi gangguan sistem kekebalan tubuh yang serius dan berisiko mengalami infeksi jamur sistemik.

“Beberapa kasus mukormikosis di Indonesia telah dilaporkan sebelum pandemi COVID-19. Meskipun jumlahnya tidak banyak, tetapi angka kematian dan kesakitannya tinggi. Semasa pandemi juga telah ditemukan beberapa kasus yang diduga mukormikosis, hanya saja pembuktian diagnosis terkendala terbatasnya fasilitas pemeriksaan yang memadai,” jelas dia.

Anna menambahkan mukormikosis termasuk penyakit langka, yang berbahaya karena potensi kematiannya sangat tinggi. Angka kematian bervariasi antara 46 persen hingga 96 persen tergantung pada kondisi penyakit pasien, jenis jamur, dan bagian tubuh yang terkena.

Mukormikosis berpotensi menyerang berbagai sistem organ yang mengakibatkan munculnya beragam gejala klinis yang berkembang cepat. Tanda klinis klasik mukormikosis adalah timbulnya nekrosis/kematian jaringan secara cepat. Hal itu terjadi akibat invasi jamur yang menyebabkan kerusakan pembuluh darah dan trombosis (gumpalan darah), serta kelainan jaringan berwarna hitam atau black eschar

Oleh karena itu, Anna mengimbau pasien COVID-19 yang dinyatakan sembuh untuk tetap waspada akan infeksi jamur, karena sistem imun pasien biasanya belum sepenuhnya pulih, sehingga risiko infeksi jamur sistemik masih tetap ada.

Infeksi jamur sistemik, khususnya mukormikosis pada pasien COVID-19 terjadi karena kondisi berikut gangguan bahkan ‘kelumpuhan’ sistem imun, sehingga tubuh tidak mampu mengeliminasi atau menghalangi invasi jamur ke dalam tubuh

Selanjutnya, orang dengan penyakit diabetes mellitus dengan gula darah yang belum terkontrol. Pemberian kortikosteroid massif dalam waktu lama, penggunaan obat anti-inflamasi, peningkatan kadar ferritin (besi), dan kemungkinan munculnya sumber infeksi baik dari lingkungan sekitar pasien maupun kontaminasi jamur pada fasilitas atau peralatan di rumah sakit.

Baca juga: Pakar analisa temuan 26 mutasi varian baru COVID-19 di Indonesia

Baca juga: Menkes minta daerah perbanyak testing untuk deteksi mutasi corona ​​​​​​​