Nusa Dua, Bali (ANTARA News) - Menteri Luar Negeri (Menlu), Marty Natalegawa, menegaskan kepemimpinan Indonesia sebagai negara pendiri dan negara penengah di Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) menjadi satu pertaruhan besar bagi negeri ini di balik perselisihan perbatasan laut dengan Malaysia.

Namun, kata Menlu di Nusa Dua, Bali, Kamis, Indonesia dalam menghadapi masalah dengan sesama negara ASEAN akan memperjuangkan dan memastikan kedaulatan yang hak daulat melalui cara tepat, yaitu diplomatik.

"Karena yang sedang dipertaruhkan bukan cuma masalah Indonesia dan Malaysia saja, tetapi lebih jauh posisi Indonesia di ASEAN. Ini taruhannya. Indonesia tidak biasa menjadi bagian dari masalah melainkan menjadi pengentas masalah," katanya kepada ANTARA News.

Natalegawa memimpin delegasi Indonesia dalam Pertemuan Bersama Menteri Ketujuh Indonesia-Thailand, di Nusa Dua, Bali, Kamis.

Menteri Luar Negeri Kerajaan Thailand, Kasit Piromya, yang memimpin delegasi negarannya dalam pertemuan itu menjadi mitra bagi Natalegawa.

Pertemuan ketujuh kedua menteri luar negeri itu membahas banyak hal, yang intinya melanjutkan, meningkatkan, dan memperluas spektrum kerja sama kedua negara.

Kerja sama kedua negara dalam kiprah pembangunan di negara ketiga di ASEAN dan negara-negara lain di sekitar kawasan itu juga menjadi perhatian kedua menteri luar negeri. Kinerja dan kemungkinan kiprah dari sektor swasta di dalam kerangka kerja sama kedua negara sangat didorong.

Menurut Natalegawa, sejak ASEAN berdiri hingga kini, negara ASEAN selalu mengakui dan melihat ke Indonesia yang mampu menengahi masalah di dalam anggota-anggota ASEAN.

Indonesia, dikatakan Natalegawa, memayungi negara-negara anggota lain ASEAN untuk menyelesaikan masalah.

"Jadi, kalau kita ada masalah dengan anggota lain (ASEAN) harus diselesaikan secara baik karena dunia menoleh pada kita apakah kita sama saja dengan yang lain-lain, ikut-ikutan sikut-sikutan, atau sebagai negara yang bisa menyelesaikan permasalahan secara baik," katanya.

Menurut dia, bukti dari pengakuan eksistensi kepemimpinan Indonesia itu diberikan dari Thailand yang mengapresiasi Indonesia saat berbagai konflik internal dan bilateral terjadi pada negara kerajaan itu.

Hal itu, kata dia, bermakna negara-negara ASEAN melihat ke Indonesia dalam kerangka ASEAN yang bisa memecahkan masalah.

"Kepemimpinan kita di ASEAN dimajukan menjadi 2011 dari seharusnya 2013. Masa yang sangat strategis ini jadi tantangan dan bebannya semakin berat untuk kita menunjukkan bahwa kita negara yang mampu menyelesaikan masalah," katanya.

Bukan lemah

Natalegawa menepis anggapan sementara kalangan di dalam negeri bahwa menempuh jalur diplomasi formal untuk mengentaskan perselisihan dengan Malaysia adalah kelemahan.

"Jangan dicampuradukkan seolah dengan menempuh diplomasi itu kita lemah, justru itu menunjukkan kekuatan kita dengan argumentasi yang kuat," katanya.

Pada situasi ini memerlukan kebersamaan sehingga semua pihak merasakan hal sama, atau tidak ada perbedaan sama sekali. Akan tetapi, lanjut dia, semua itu harus dikanalisasi menjadi energi positif.

Thailand, kata dia, menyatakan secara terbuka peran Indonesia dalam menyelesaikan permasalahan, juga Singapura beberapa hari lalu seusia penandatanganan naskah ratifikasi pertukaran tersangka pelanggar hukum.

"Diplomasi bukan bentuk kelemahan, justru kekuatan argumentasi kita. Perbedaan pandangan lumrah, tapi jangan diwujudkan dengan cara yang tidak bersahabat," katanya.

Dia menjelaskan beberapa langkah yang dibebankan negara kepada kementerian yang dia pimpin. Agenda perundingan di Kota Kinabalu, Negara Bagian Sabah, Malaysia, pada 6 September nanti akan membahas masalah perbatasan kedua negara salah.

Sudah jadi ketetapan pemerintahan Indonesia bahwa masalah ini dimajukan perundingannya alias dipercepat, dan ditegaskan tahapan perundingannya.

"Akan tetapi harap diingat, perundingan perbatasan tidak akan cepat, dengan Vietnam saja memerlukan 32 tahun. Kita selalu siap," katanya menegaskan.

Menurut dia, diplomasi di semua jajaran susah berjalan dan bukan cuma dilakukan oleh Kementerian Luar Negeri saja. Pada tanggal 6 September akan bertemu di Kota Kinabalu.

Menyinggung cara mewujudkan kedaulatan memakai asas "effective occupation" sebagaimana preseden peralihan kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan kepada Malaysia pada 2004, dia menyatakan hal itu juga menjadi satu catatan penting.
(T.A037/D007/P003)