Jakarta (ANTARA News) - Mantan Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra berpendapat UU no 16 tahun 2004 yang mengatur tentang Kejaksaan Agung mengandung ketidakjelasan dan kekaburan mengenai masa jabatan Jaksa Agung.

"Hal itu telah menuai kontroversi yang berujung masalah itu diperkarakan di Mahkamah Konstitusi," kata Yusril Ihza Mahendra, di Jakarta, Rabu.

Mahkamah Konstitusi akan memberikan tafsir mana yang benar sehubungan dengan masa jabatan Jaksa Agung, apakah disesuaikan dengan masa jabatan Presiden dan kabinet yang dibentuknya atau memang jabatan Jaksa Agung tanpa batas waktu.

Menurut Yusril kalau memang jabatan Jaksa Agung tanpa batas waktu maka pertanyaan yang muncul adalah dengan cara apa Presiden dapat memberhentikan Jaksa Agung menurut Undang-Undang, sebab UU no 16 tahun 2004 tidak membatasi jabatan itu.

Sementara pasal 22 ayat (1) UU tersebut menyatakan bahwa Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat oleh Presiden apabila (a) meninggal dunia, (b) sakit jasmani dan rohani terus-menerus (c) atas permintaan sendiri, (d) berakhir masa jabatannya dan (e) tidak memenuhi syarat lagi menjadi Jaksa Agung.

Yusril berpendapat satu-satunya jalan agar pergantian Jaksa Agung mulus menurut Undang-Undang maka harus meminta berhenti sebagai Jaksa Agung karena tanpa itu tidak ada alasan sah menurut UU untuk Presiden memberhentikannya.

Tetapi menurut Yusril permasalahannya tetap tidak sederhana, terkait dengan legalitasnya.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memperingatkan semua pihak untuk tidak mencampuradukkan kepentingan internal dan eksternal terkait penggantian Kapolri, Panglima TNI, dan Jaksa Agung.

Kepala Negara menjelaskan, penggantian Kapolri, Panglima TNI, dan Jaksa Agung sesuai dengan ketentuan masa jabatan dan menyatakan agar tidak dibawa ke arah politik.

Kepala Negara juga mengatakan ketiga jabatan itu bukanlah jabatan yang masuk ke dalam ranah politik sehingga dalam pemilihannya pun tidak dikaitkan ke arah politik. (A033/K004)