Jakarta (ANTARA) - Asosiasi Energi Surya Indonesia atau AESI menilai kebijakan pemerintah yang terus mendorong optimalisasi Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) minimal 40 persen dalam pengadaan barang dan jasa menghambat pengembangan energi surya di Indonesia.

"Sebanyak 80 persen kebutuhan untuk modul surya masih impor, sehingga susah untuk memenuhi TKDN 40 persen karena industrinya enggak ada," kata Ketua Umum AESI Fabby Tumiwa saat ditemui di Jakarta, Selasa.

AESI meminta agar pemerintah terkhusus Kementerian Perindustrian dapat memberikan relaksasi penurunan jumlah TKDN pada sektor energi surya agar industri lokal dapat tumbuh.

Fabby mencontohkan saat India baru memulai program nasional untuk pengembangan pembangkit listrik tenaga surya pada 2008, kemampuan produksi modul surya di negara itu kurang dari satu gigawatt per tahun karena permintaan pasar hanya 20 megawatt saja.

Baca juga: BPPT: Peningkatan TKDN untuk produk inovasi dukung kemandirian bangsa

Setelah permintaan kian tinggi barulah pemerintah India mewajibkan semua proyek yang mendapat bantuan dana pemerintah harus mencapai ketentuan kandungan lokal.

Satu dekade usai, kini kapasitas produksi energi surya di India telah mencapai 10 gigawatt.

"Di sini enggak diberikan promo, proyek komersial harus TKDN, repot begitu, jadi hambatan sekarang. Kami ingin mengajak bicara pemerintah biarkan pasar tumbuh dan industrinya kita bangun bersama," kata Fabby.

AESI mendorong penguatan ekosistem energi surya dengan melibatkan industri kecil menengah agar bisa memproduksi komponen-komponen sederhana, seperti frame, junction box, hingga pelindung kabel.

Baca juga: DPR minta KPK awasi penyerapan TKDN industri nasional

Sedangkan industri skala besar bertugas memproduksi modul surya, seperti skema pembangunan industri baterai kendaraan listrik yang cepat melalui regulasi Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019.

"Kalau pemerintah mau dengan cara yang sama, kami harap industri PLTS bisa tumbuh dalam waktu 3-5 tahun. Sementara itu perlu ada relaksasi untuk penguatan pasar," kata Fabby.

Berdasarkan data Institute for Essential Services Reform (IESR), potensi teknis dan kesesuaian lahan untuk tenaga surya di Indonesia bisa mencapai 3.000 sampai 20.000 gigawatt peak.

Hingga akhir 2020, jumlah kapasitas terpasang PLTS hanya sebesar 153,8 megawatt atau 0,07 persen dari total realisasi bauran energi terbarukan nasional yang mencapai 10,6 gigawatt.