Pasien-pasien kehabisan napas, demam, dan berada dalam keadaan tanpa oksigen yang dapat membantu agar mereka tetap hidup
Kepala rumah sakit Cikha, Lun Za En, didampingi oleh seorang teknisi laboratorium dan seorang asisten apoteker untuk membantunya merawat tujuh pasien COVID-19, siang dan malam.
Kebanyakan dari apa yang mereka berikan adalah kata-kata penyemangat dan parasetamol.
“Kami tidak memiliki cukup oksigen, peralatan medis, listrik, dokter, maupun ambulans," kata Lun Za En yang berusia 45 tahun kepada Reuters. "Kami beroperasi dengan tiga staf dibandingkan 11."
Gerakan anti-COVID Myanmar ambruk bersama dengan sistem kesehatan lain usai kekuatan militer mengambil alih kekuasaan pada 1 Februari lalu dan menggulingkan pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi, yang pemerintahannya telah meningkatkan upaya tes, karantina, dan perawatan.
Layanan-layanan di rumah sakit umum runtuh usai banyak dokter dan suster mogok kerja dalam Gerakan Pembangkangan Sipil di garis depan oposisi terhadap pemerintahan militer --dan terkadang di garis depan protes yang telah ditekan dengan aksi-aksi berdarah.
Sudah 13 tenaga medis yang terbunuh, menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Data itu juga menunjukkan ada 179 pekerja, fasilitas, dan transportasi medis yang mengalami serangan. Jumlah itu hampir setengah dari angka serangan yang tercatat pada tahun ini, menurut perwakilan WHO di Myanmar, Stephan Paul Jost.
Sebanyak 150 pekerja medis ditangkap. Ratusan dokter dan suster lainnya tengah diburu terkait tuduhan penghasutan.
Baik juru bicara junta maupun kementerian kesehatan tak menanggapi permintaan untuk memberikan komentar.
Junta tersebut, yang awalnya berniat untuk melawan pandemi sebagai salah satu prioritasnya, telah berulang kali mendesak para petugas medis untuk kembali bekerja. Hanya segelintir yang telah merespons.
Gagalnya pengujian corona
Seorang pekerja di salah satu pusat karantina COVID-19 kota pusat perdagangan Myanmar, Yangon, mengatakan bahwa semua pekerja medis spesialis di sana telah mengikuti Gerakan Pembangkangan Sipil.
"Namun juga kami tidak menerima pasien-pasien baru saat pusat-pusat tes COVID tak memiliki staf untuk melakukan tes," kata pekerja yang menolak menyebutkan namanya.
Dalam pekan sebelum kudeta, tes COVID-19 nasional mencapai rata-rata lebih dari 17.000 dalam sehari. Angka tersebut jatuh ke 1.200 dalam sehari, dalam tujuh hari hingga Rabu. Myanmar telah melaporkan lebih dari 3.200 kematian akibat COVID-19 dari lebih 140.000 kasus. Kemerosotan dalam jumlah tes COVID menimbulkan keraguan atas data kasus baru dan kematian yang sebagian besar tidak berubah sejak kudeta.
Kini, sistem kesehatan yang berada dalam krisis meningkatkan kekhawatiran tentang kemungkinan dampaknya terhadap negara itu dari gelombang infeksi dengan varian yang melanda India, Thailand, dan negara tetangga lainnya.
Penderita gejala COVID-19 mulai bermunculan di RS Cikha pada pertengahan Mei lalu. Rumah sakit itu berjarak hanya enam kilometer dari India. Para petugas kesehatan khawatir penyakit itu bisa menjadi jenis B.1.617.2 yang sangat menular --meskipun mereka tidak memiliki sarana untuk mengujinya.
"Sangat mengkhawatirkan bahwa pengujian, pengobatan, dan vaksinasi COVID-19 sangat terbatas di Myanmar saat lebih banyak nyawa berada di bawah risiko dengan penyebaran varian baru yang lebih berbahaya," kata Luis Sfeir-Younis, manajer operasi COVID-19 Myanmar untuk Federasi Internasional Masyarakat Palang Merah dan Bulan Sabit Merah.
Lonjakan kasus
Sebanyak 24 kasus telah diidentifikasi di Cikha, kata Lun Za En. Tujuh kasus sangat serius sehingga para penderitanya perlu dirawat di rumah sakit. Keadaan itu merupakan pertanda sedikitnya jumlah kasus yang mungkin telah terdeteksi.
Perintah untuk tetap di rumah kini telah diumumkan di sebagian Chin, negara bagian tempat Cikha berada, dan kawasan Sagaing yang berdekatan.
WHO mengatakan bahwa pihaknya tengah berupaya menghubungi otoritas dan kelompok-kelompok lain di area tersebut yang dapat memberikan bantuan, pada saat yang bersamaan mengidentifikasi kesulitan pada sistem kesehatan yang secara drastis membalikkan pencapaian yang mengesankan selama bertahun-tahun.
"Tidak jelas bagaimana ini akan diselesaikan, kecuali ada resolusi di tingkat politik yang menangani konflik politik," kata Jost.
Lun Za En mengatakan rumah sakitnya melakukan yang terbaik dengan alat nebuliser --mesin yang mengubah cairan menjadi kabut-- untuk meredakan sesak napas. Beberapa pasien memiliki konsentrator oksigen, tetapi alat itu hanya dapat bekerja selama dua jam sehari setelah kota mendapatkan listrik.
Lun Za En menolak untuk meninggalkan mereka yang sakit dan mengatakan dia memutuskan untuk tidak bergabung dalam pemogokan.
"Junta tidak akan merawat pasien kami," katanya.
Di seluruh Myanmar, beberapa dokter yang mogok telah mendirikan klinik bawah tanah untuk membantu pasien. Ketika sukarelawan Palang Merah Myanmar mendirikan tiga klinik di lingkungan Yangon, mereka dengan cepat mendapat lusinan pasien.
Dalam kondisi terbaik, opsi semacam itu dapat memberikan perawatan dasar.
"Delapan puluh persen rumah sakit adalah rumah sakit kesehatan umum," kata Marjan Besuijen, kepala misi kelompok bantuan Medicins Sans Frontieres (MSF). "Sebagai MSF atau orang lain, kami tidak bisa turun tangan, itu terlalu besar."
Meskipun rumah sakit militer telah dibuka untuk umum, pada prinsipnya banyak orang takut atau menolak untuk pergi ke sana --termasuk untuk vaksinasi virus corona dalam gerakan yang diluncurkan pemerintah yang digulingkan beberapa hari sebelum kudeta.
"Saya sangat khawatir infeksi baru ini akan menyebar ke seluruh negeri," kata Lun Za En. "Jika infeksi menyebar ke kota-kota yang padat, itu bisa jadi tidak terkendali."
Sumber: Reuters
Baca juga: India akan tetap dukung Myanmar atasi COVID meskipun ada kudeta
Baca juga: Myanmar luncurkan program vaksinasi COVID-19