Makassar (ANTARA) - Ketua DPD RI LaNyalla Mahmud Mattaliti mengatkan ambang batas calon presiden atau "presidential threshold" perlu dihapus karena tidak begitu tepat dan lebih banyak merugikan daripada manfaatnya bagi masa depan politik bangsa.

"Sistem 'presidential threshold' itu memiliki banyak 'mudharat' daripada manfaat. Ini butuh diamandemen ke-5 untuk memperbaikinya," ujar La Nyalla Mattaliti saat mengisi kuliah umum di UIN Makassar, Sabtu.

Dalam kuliah umum dengan mengambil tema "Amandemen Kelima: Sebagai Momentum Koreksi Perjalanan Bangsa", ia menjelaskan "presidential threshold" merupakan syarat dukungan dari partai politik atau gabungan partai politik.

"Oleh karena itu kita perlu koreksi lagi terkait hal itu. DPD RI pun sudah mempersiapkan kajian untuk amandemen konstitusi ke-5 agar ada keadilan dan ada kesempatan yang sama bagi siapa saja untuk menjadi pemimpin nasional," ujarnya.

Baca juga: F-PAN kritik penerapan "presidential threshold" dalam RUU Pemilu

La Nyalla menjelaskan, UUD hasil amandemen 2002 telah memberikan mandat partai politik sebagai satu-satunya saluran untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Tata caranya diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

"Dalam UU ditegaskan untuk mengusung pasangan capres-cawapres, parpol atau gabungan parpol harus mengantongi 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional. Partai yang tidak menggenapi persentase ini harus berkoalisi," lanjutnya.

Argumentasi mengenai "presidential threshold" disebut-sebut untuk memperkuat partai politik. Selain itu juga agar presiden dan wakil presiden terpilih punya kekuatan politik di parlemen.

Dengan begitu, "presidential threshold" memperkuat sistem pemerintahan presidensial. Sebab parlemen yang kuat dikhawatirkan akan melemahkan sistem presidensial.

"Sepertinya masuk akal. Tapi bila dicermati konteksnya jelas bukan soal kuat atau lemahnya eksekutif versus legislatif, tetapi keseimbangan peran. Menguatkan sistem presidensial tidak berbanding lurus dengan penguasaan eksekutif di parlemen. Koalisi penguasa yang gemuk dan minim oposisi mengundang penyalahgunaan kekuasaan karena sulitnya 'check and balance'," katanya.

Baca juga: AHY: "presidential threshold" berpotensi membelah bangsa

Artinya, menurut La Nyalla, "presidential threshold" lebih banyak mudharatnya. Pertama, meski di atas kertas bisa memunculkan tiga hingga empat pasang calon, dalam prakteknya tidak seperti itu.

"Dalam pemilu yang lalu-lalu hanya bisa memunculkan dua pasang calon. Dampaknya, pembelahan politik dan polarisasi yang begitu kuat di akar rumput. Polarisasi ini tidak juga reda meski elit telah rekonsiliasi," terangnya.

"Presidential threshold" dinilai La Nyalla juga mengerdilkan potensi bangsa. Banyak calon pemimpin kompeten yang tidak bisa dicalonkan karena ada aturan main seperti itu.

"'Presidential threshold' berpotensi memundurkan kesadaran dan partisipasi politik rakyat. Banyak pemilih yang memilih golput karena calon mereka tidak mendapat tiket kontestasi," tuturnya.

Keempat, partai kecil cenderung tidak berdaya di hadapan partai besar. Mereka ikut saja tentang keputusan calon yang akan diusung bersama.

"Inilah yang saya katakan, "presidential threshold" bukan saja menghalangi putra-putri terbaik bangsa untuk mendapatkan kesempatan yang sama untuk dipilih dan memilih, tetapi juga menghalangi kader partai politik, hanya karena partainya tidak memiliki suara yang mencukupi untuk mengusung kader terbaiknya," ujarnya.

Karena itu, LaNyalla berharap dengan adanya amandemen konstitusi ke-5 putra-putri terbaik yang non-partisan, bisa dipilih untuk dicalonkan sebagai presiden.

"Perlu dicermati ada hasil survei Akar Rumput Strategis Consulting (ARSC) yang dirilis 22 Mei 2021 kemarin, bahwa 71,49 persen responden ingin calon presiden tidak harus kader partai. Sisanya hanya 28,51 persen yang menginginkan calon presiden dari kader partai. Lantas bagaimana harapan 71,49 persen responden tersebut tersalurkan," sebutnya.

Baca juga: MK tidak terima permohonan uji "presidential threshold"

Ia mengingatkan, sebelum amandemen UUD 1945, MPR bisa mengusung dan memilih calon presiden, di mana anggota MPR terdiri dari DPR yang merupakan representasi partai politik, lalu utusan golongan dan utusan daerah. Kemudian setelah amandemen, MPR terdiri dari DPR yang merupakan representasi partai politik dan DPD yang merupakan representasi daerah.

"Sehingga sejatinya DPD adalah jelmaan dari utusan daerah. Jika dulu utusan daerah terlibat dalam mengusulkan dan memilih presiden, mengapa setelah Amandemen 2002, DPD tidak dapat mengusulkan calon presiden," ucap La Nyalla.

Padahal menurut mantan Ketum PSSI ini, seharusnya DPD bisa menjadi saluran atas harapan 71,49 persen responden dari hasil survei ARSC yang menginginkan calon presiden tidak harus kader partai.

"Di sinilah perlunya kita berpikir jernih dan melakukan perenungan sekaligus refleksi atas perjalanan bangsa ini. Sekali lagi, mari kita tanyakan kepada diri kita sendiri. Apakah perjalanan bangsa Indonesia hari ini semakin menuju cita-cita para pendiri bangsa, atau semakin menjauh," ucapnya.

Sementara itu, dalam kesempatan tersebut, LaNyalla hadir di UIN Alauddin Makassar bersama Ketua Komite I DPD RI Fachrul Razi, Ketua Komite III DPD RI Sylviana Murni, Wakil Ketua Komite II DPD RI Bustami Zainudin, Anggota Komite I DPD RI Muhammad Idris dan Jialyka Maharani, serta anggota DPD RI Dapil Sulsel Lily Amelia Salurapa. Hadir juga Asisten Pemerintahan Setda Provinsi Sulsel Andi Aslam Patonangi.

Rombongan diterima langsung Rektor UIN Alauddin Makassar Prof H Hamdan Juhannis MA, Phd.

Kuliah umum ini menghadirkan sejumlah pakar politik dan ketatanegaraan, salah satunya adalah Margarito Kamis dan Ketua Forum Rektor Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri (PTKIN) Prof Dr H Babun Suharto.