Banjarmasin (ANTARA) - Ketua Dewan Perwakilan Daerah RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti mengatakan DPD yang merupakan utusan seluruh daerah di Indonesia idealnya bisa menjadi saluran bagi putra/putri terbaik bangsa nonpartisan yang ingin maju sebagai calon presiden/wakil presiden dari jalur perseorangan.

"Saya setuju dengan adanya wacana amendemen konstitusi ke-5 demi perbaikan dan koreksi atas perjalanan amendemen pertama hingga keempat mulai 1999 hingga 2002. Dengan demikian jalur perseorangan atau nonpartai politik bisa ikut ambil bagian dalam pesta demokrasi pilpres," kata AA LaNyalla Mahmud Mattalitti di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Senin.

Ketika tampil sebagai pembicara utama dalam focus group discussion (FGD) bertema "Amandemen Ke-5 Calon Presiden Perseorangan dan Presidential Threshold" di Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (ULM), LaNyalla mengatakan bahwa hanya parpol yang bisa mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden sejak amandemen UUD 1945.

Dengan demikian, lanjut dia, tertutup saluran bagi putra/putri terbaik di luar kader partai atau mereka yang tidak bersedia menjadi kader partai.

Padahal, UUD NRI 1945 telah menyebutkan bahwa setiap warga negara memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. "Ini ambiguitas dan paradoksal," katanya.

Dalam Pasal 27 Ayat (1) UUD NRI Tahun1945 menyebutkan bahwa warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

LaNyalla juga menyebutkan Pasal 28D Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Baca juga: Wakil Ketua Komisi II setuju usulan KPU terkait waktu pemilu/pilkada

Dalam Pasal 28D Ayat (3) yang menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

"Lalu mengapa untuk menjadi kepala pemerintahan, dalam hal ini untuk menjadi calon presiden, harus anggota atau kader partai politik saja? Itu pun tidak semua partai bisa mengusung kadernya karena adanya presidential threshold. Jadi, di sini sebenarnya telah terjadi ambiguitas dan sesuatu yang paradoksal. Apalagi, jika kita melihat keberadaan Dewan Perwakilan Daerah," kata LaNyalla.

Menurut dia, keberadaan DPD RI menjadi tumpul sehingga merugikan suara pemangky kepentingan dan rakyat di daerah yang diwakili oleh mereka.

Padahal, sebelum amendemen, DPD RI adalah utusan daerah yang juga anggota MPR RI. DPD terlibat secara aktif di MPR RI untuk mengusulkan dan menentukan pasangan calon presiden/wakil presiden. Pada saat ini anggota DPR RI dan DPD RI sama-sama duduk sebagai anggota MPR RI hasil dari pemilu.

LaNyalla menjelaskan bahwa anggota DPR RI adalah representasi partai politik, sedangkan anggota DPD RI adalah representasi daerah dan diakui sebagai lembaga politik yang diisi oleh orang-orang yang nonpartisan. Pasalnya, anggota DPD RI dilarang sebagai pengurus partai politik.

"Akan tetapi, DPD RI sebagai lembaga politik tidak dapat menjadi saluran untuk mewadahi amanat konstitusi, seperti tertera dalam Pasal 28D Ayat (3) yang menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan," katanya.

Alasan itu, kata dia, membuat sejumlah pihak, baik dari kalangan akademikus, aktivis, maupun politikus, mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Banyak pemangku kepentingan yang merasa tertutupnya peluang calon presiden dari unsur nonpartai politik tidak sesuai dengan semangat reformasi.

Begitu juga presidential threshold partai politik yang merugikan suara rakyat yang disalurkan kepada partai politik yang sedang dan kecil.

Menurut dia, hal itu menunjukkan di tengah masyarakat terjadi kerisauan dan kebuntuan saluran dalam konteks pemenuhan hak setiap warga negara untuk dipilih dan memilih.

Para pembicara di FGD yang dihadiri Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti di Fakultas Hukum ULM. ANTARA/Firman

Baca juga: DPR: KPU persiapkan matang teknologi informasi jelang Pemilu 2024

Penjabaran tidak jauh berbeda disampaikan narasumber FGD Dr. H. Mohammad Effendy, S.H., M.H. Menurut dia, seharusnya calon perseorangan bisa maju menjadi capres.

"Syarat untuk calon perseorangan untuk tingkat daerah, bisa dengan syarat dukungan awal. Dukungan awal menjabarkan adanya simpatisan publik. Hal ini untuk mengetahui popularitas calon. Syarat tetap 20 persen seperti dalam Undang-Undang, tapi dilakukan dari tingkat daerah untuk menjaga kestabilan," katanya.

Narasumber lainnya, Dr. H. Ichsan Anwary yang juga dosen Fakultas Hukum, berharap undang-undang membuka atau memberikan ruang konstitusionalitas bagi calon alternatif untuk capres/cawapres perseorangan.

"Ruang itu harus ada meski dengan persyaratan yang sangat ketat dan rasional, sebagaimana halnya diakomodasinya calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah," katanya.

Narasumber terakhir, Dr. Jamaludin, M.Si. yang merupakan dosen FISIP, menilai UU Pemilu yang ada saat ini mustahil calon perseorangan bisa muncul.

"Terlihat jika ada kelompok-kelompok yang ingin presidential threshold dipertahankan. Mereka adalah partai-partai besar yang berkuasa. Mereka bilang akan memperkuat sistem presidensial di Indonesia, atau untuk menjaga kesatuan NKRI. Padahal, secara teori, tidak begitu," katanya menjelaskan.

Kedatangan Ketua DPD dan rombongan disambut Rektor ULM Prof. Dr. Sutarto Hadi dan Dekan Fakultas Hukum ULM Prof. Dr. Abdul Halim Barkatullah. Keduanya sepakat mendukung wacana capres jalur perseorangan demi memenuhi hak rakyat untuk memilih dan dipilih tanpa terkecuali.