Jakarta (ANTARA News) - Tanpa terasa sepuluh hari shaum telah terlewati. Patut kita syukuri sepertiga bulan penuh rakhmat, ampunan, dan pembebasan dari api neraka itu, sudah kita cicipi.

Hal lazim jika pada sepuluh hari pertama masih taraf penyesuaian diri. Awal-awal tidak sedikit dari kita yang error. Pagi hampir saja menyeruput kopi yang dihidangkan pembantu, yang juga lupa hari berpuasa sudah berjalan. Ada yang terlelap tidur sampai lupa sahur.

Tentu tidak berdosa kalau tidak sengaja lupa atau berpura-pura lupa. Sedangkan, yang akting keliru, namanya menipu diri sendiri. Iya, dosa dobel: kesatu melalaikan kewajiban, dan kedua berbohong dengan akting tadi.

Tapi, ada yang surprise, semula cemas karena mengidap penyakit lambung atau maag kronis, eh malah sembuh ketika menjalani puasa. Padahal, asli, di hari-hari biasa, telat makan setengah jam saja tubuh terasa bergetar, dari pori-pori keluar keringat dingin berhubung lambung dipenuhi gas. Tapi, dibawa puasa lambung kok malah tenang. Maha Benar Allah SWT dengan segala janji-NYA.

Puasa satu-satunya ibadah yang ekspresinya tidak tampak secara fisik, seperti orang shalat, berdoa atau naik haji. Karena itu, orang memang bisa saja berbohong dan menipu, soalnya tidak akan ketahuan kecuali oleh Tuhan. Bisa saja berakting pura-pura menjalani puasa, padahal barusan saja menyeruput kopi atau menyantap nasi kapau di dalam kamar.

Tidak akan ada polisi atau siapa pun yang diberi mandat dari Tuhan untuk memeriksa dan menentukan hukuman terhadap seseorang yang tidak berpuasa. Secara tegas Allah SWT berfirman "puasa itu untuk Ku, dan nanti Akulah yang menentukan pahalanya..." Mekanisme pengawasan langsung oleh Tuhan. Tidak ada perantara. Oleh sebab itu tidak mungkin ada makelar kasus (markus) dalam urusan puasa.

Puasa juga masalah kebiasaan. Alah bisa karena biasa. Maka itu, sejak usia kanak-kanak orang berlatih berpuasa. Kalau tidak, niscaya akan mengalami kesulitan kalauudahbangkotan baru berpuasa.

Apalagi, kalau berpuasa itu terkait dalam kepentingan duniawi belaka, misalnya takut sama atasan, atau rikuh sama calon mertua. Nah, berpuasa menjadi pengalaman yang menyiksa. Bagi yang biasa berpuasa, mereka selalu merasa kehilangan di akhir Ramadhan. Sedih dan mengucurkan air mata berpisah dengan Ramadhan.

Kita kini sudah memasuki hari-hari pada sepuluh hari kedua. Sesungguhnya manusia itu paling lemah tiada daya. Ibadah, termasuk berpuasa, itulah yang membuatnya kuat, mulia, dan bermartabat. Bukan harta, kedudukan, dan pangkat. Gelar pendidikan setinggi langit pun tidak. Mau bukti?

Inilah sepotong cerita dari dai kondang KH Abdullah Gymnastiar yang bermakna amat dalam mengenai manusia yang tidak berdaya hanya menghadapi seekor lalat.Settingcerita itu di Makkah di saat kami menunaikan umrah di bulan puasa tahun 2006.

Kisahnya diawali ketika Aa Gym dan Teh Nini, istrinya, diberi tempat akomodasi dua malam disuite roomhotel berbintang Sofitel Hotel di Makkah. Letak pintu hotel persis berhadapan dengan pintu Marwah di Masjidil Haram. Lokasi yang amat strategis menjamin kenyamanan beribadah dan kenikmatan shalat lima waktu dan tarawih, serta shalat-shalat sunah lainnya bisa dilakukan di Masjidil Haram, tanpa kuatir ketinggalan waktu dan tanpa harus menempuh perjalanan jauh. Tetapi, di sinilah inti kisah Aa Gym itu.

“Saya dan Teh Ninih malah tidak bisa menikmati tidur di kamar itu,” ungkap Aa Gym.

Penyebabnya seekor lalat. Mahluk itu yang bikin gaduh selama Aa Gym menginap di hotel itu. “Dia masuk ke lubang hidung. Sebentar kemudian terbang lagi dan hinggap di kuping. Diusir lalat itu memang terbang. Dikejar memang lari. Tapi, sebentar kemudian balik lagi. Berisik sekali,” kata Aa Gym.

Alhasil, Pemimpin Pesantren Daarut-Tauhid itu mengaku tak bisa menikmati nyamannya kamarsuite. Bagaimana bisa tidur? Bersama istri, Aa Gym sampai menghabiskan waktu berjam-jam mendiskusikan lalat itu. Semua strategi untuk mengusir lalat dikerahkan, namun tak berhasil. Teh Ninih bersikeras lalat itu tidak boleh dibunuh. Tapi, sampai pun keduanya mufakat untuk “mengeksekusi” mati, tidak membuat lalat itu takut.

“Kalau kita coba renungkan mendalam, ternyata manusia itu tidak ada apa-apanya ya. Dengan seekor lalat saja kalah,” kata Aa Gym.

Kisah mirip itu tentu bukan sekali ini kita dengar. Garis besar tausiyah dan ceramah agama di mana pun, umumnya menguak betapa lemahnya manusia, termasuk ketika menunjukkan dan bahkan melakukan segala tindakan yang bertujuan mengekspresikan diri sebagai orang kuat.

Moral cerita, kita diingkatkan untuk selalu “menggeledah” diri. Adakah segala tindakan dan perbuatan kita sejalan dengan iman Islam? Kata kuncinya: kita didorong mengenali makna mensyukuri nikmat. Sebab, itu merupakan sekaligus pengakuan keterbatasan dan ketakberdayaan kita tanpa pertolongan Allah SWT, Zat Yang Maha Kuasa. Tidak sok jumawa mentang-mentang berkuasa. Tidak takabur. Tidak riya.

Mensyukuri nikmat, sepintas seperti kerja sepele. Namun, pelaksanaannyanauzubillahi mindzalik: "tidak semudah bibir mengucapkan."

Mensyukuri nikmat lebih sering kita pahami sebagai hal yang secara mutlak harus menyenangkan kita semata. Kejadiannya harus sesuai aspirasi dan jalan pikiran kita sendiri saja. Di dalam dunia politik, sosial, ekonomi, dan hukum, atau pendek kata di hampir segala sektor kehidupan, pemahaman “sempit” mengenai mensyukuri nikmat, merata kita anut. Dan, selalu pula dalam konteks yang hedonistis belaka.

Itu sebabnya bisa terjadi seseorang dari pangkat kopral sampai jenderal tiada pernah memiliki ketenangan dalam hidupnya. Ketika berpangkat kopral mengeluh, jadi perwira menengah tambah mengeluh. Saat mencapai pangkat perwira tinggi kegelisahannya menjadi jadi.

Gaji ketika masih dalam status rendahan jauh dari cukup. Namun, perasaan tidak cukup, ternyata juga kita alami ketika punya penghasilan bergunung-gunung banyaknya. Ketika menjadi kelas kader kita resah, perasaan sama tak lekang ketika karir telah menapaki puncak, menjaditop figuredalam partai politik. Maupun sebagaitop executiveperusahan negara terkemuka.

Mungkin memang tidak kita ingkari yang mengatur rezeki adalah Tuhan. Namun, dalam praktik, kerapkali kita mengganti dan memgambil-alih kedudukan Tuhan untuk mengatur rezeki kita sendiri dan rezeki orang. Bahkan, ketika memutuskan sendiri mengatur fungsi-fungsi bidang lain berada di satu tangan, di tangan kita saja, supaya pendapatannyafulluntuk kita, tiada jua datang ketenangan itu.

Ada kisah usang mengenai kepala rumah tangga, yang meninggal dunia karena kepeleset sewaktu membersihkan dapur. Rupanya untuk maksud bisa mendapat penghasilan lebih banyak, maka fungsi sopir, pembantu, tukang kebun, dan lain sebagainya dia kerjakan sendiri. Seperti kita lupakan bahwa orang-orang yang melaksanakan berbagai fungsi dalam kehidupan itu juga dijamin rezekinya oleh Allah, tidak boleh kita matikan.

Tentu sah untuk mendapat penghasilan besar, tetapi kalau itu dicapai dengan menutup rezeki lain orang, itu tidak mensyukuri nikmat namanya.

Bayangkan, kenyamanan yang didamba dalam servicesuite roomhotel berbintang sekelas Sofitel bisa tidak berfungsi hanya karena seekor lalat. Padahal, itu kamar ulama sekelas Aa Gym. Bagaimana jika kita yang kelas awam ini menghadapi ujian seperti itu?

Biasanya kita cuma mengaku awam. Namun, dalam urusan kecongkakan tetap saja nomor wahid. Cuma kita seorang yang paling pintar, paling jujur, paling adil. Padahal, agama diciptakan dan nabi diutus karena Tuhan Maha Tahu, manusia tidak ada yang sempurna.

Parahnya, kita tidak pernah bertobat mengetahui itu. Ketika kita tidak pernah bisa mensyukuri nikmat karena ketidaksempurnaan itu, makin berganda kecongkakan kita.

Ramadan sebentar lagi akan berakhir. Di bulan suci ini begitu cintanya Tuhan kepada umatnya, sampai bikin program “mengobral” pintu tobat. Tetapi, sayangnya, kebanyakan kita lebihngehdan tertarik oleh program obral dari berbagai toko yang menjajakan kebutuhan makanan dan pakaian menjelang Lebaran.Nauzubillahi mindzalik. (*)

*) H. Ilham Bintang (ilhambintangmail@yahoo.co.id, ilhambintang@cekricek.co.id, twitter: @ilham-bintang) adalah Sekretaris Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat; Pemimpin Redaksi Tabloid Cek&Ricek (C&R).