Jakarta (ANTARA) - Blue economy atau ekonomi biru mungkin belum terlalu populer di tengah masyarakat, tetapi konsep tersebut menjadi salah satu tema esensial yang dicetuskan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono.
Menteri Trenggono dalam acara halalbihalal Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang digelar beberapa hari setelah Idul Fitri 1442 Hijriah mengingatkan bahwa tren dunia saat ini adalah menuju penerapan Ekonomi Biru seutuhnya.
Untuk itu ia mengajak seluruh jajarannya untuk solid dan aktif dalam rangka menelurkan gagasan-gagasan serta berinovasi dalam rangka melahirkan solusi dalam mencapai target mewujudkan Konsep Ekonomi Biru tersebut.
Ekonomi biru juga tidak hanya menjadi mimpi semata KKP, karena Menteri Koordinator Bidang (Menko) Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dalam sejumlah kesempatan juga telah menyatakan Ekonomi Biru menjadi arah kebijakan ekonomi yang akan dikembangkan Indonesia untuk mengelola potensi maritim yang dimiliki.
Di tingkat internasional, Indonesia telah menggelar Our Ocean Conference (OOC) yang digelar di Nusa Dua, Bali, pada 2018, yang menghasilkan data menakjubkan yaitu penerapan Konsep Ekonomi Biru pada 2010 telah berkontribusi kepada perekonomian dunia sebesar 1,5 triliun dolar AS atau Rp21.567 triliun.
Berapa estimasi dari kontribusi penerapan Konsep Ekonomi Biru kepada perekonomian global pada 2030? Lebih mengagumkan lagi karena angkanya diperkirakan mencapai 3 triliun dolar AS atau setara Rp43.134 triliun!
Namun disayangkan gema Ekonomi Biru di kalangan masyarakat luas di Tanah Air masih belum bergaung lebar hingga tiga tahun kemudian. Sedangkan sejumlah isu yang saat ini masih marak di tengah-tengah warga yang banyak diulas di media massa adalah terkait isu IUU Fishing atau pencurian ikan oleh kapal asing.
Padahal Ekonomi Biru merupakan suatu konsep yang sangat penting. Secara definisi, Ekonomi Biru adalah pengembangan perekonomian sektor kelautan dan perikanan secara berkelanjutan, baik dari sisi hulu maupun hilir.
Salah satu konsep yang sangat penting untuk diperhatikan di sini adalah menerapkan Ekonomi Biru berarti tidak hanya terbatas pada aspek hulu atau penangkapan ikan di tengah lautan atau budidaya di kawasan pertambakan. Namun Ekonomi Biru juga harus diterapkan secara penuh hingga di dalam aspek hilirnya yaitu bagaimana ikan dijual di pasar-pasar dan sampai ke tangan konsumen.
Baca juga: Menteri Trenggono: Dunia sedang menuju ekonomi biru
Integrasi
Tidak mengherankan bila Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) M Riza Damanik menegaskan bahwa penerapan Konsep Ekonomi Biru tidak hanya ditempatkan kepada satu bagian saja, tetapi harus terintegrasi dari hulu ke hilir.
Maksudnya bagaimana dalam konteks Republik Indonesia? Sebagaimana diketahui, kawasan perairan nasional yang merupakan dua per tiga dari seluruh wilayah Indonesia, memiliki sejumlah kawasan perairan yang dalam kondisi overfishing atau penangkapan berlebihan.
Untuk itu penerapan Ekonomi Biru di segi hulu antara lain harus menghasilkan kebijakan yang memastikan bahwa penangkapan ikan di berbagai daerah perairan harus dilakukan secara terencana agar ikan-ikan yang ada di dalamnya memiliki kesempatan untuk berkembang biak sehingga tidak akan punah atau habis. Selain itu, cara alternatif yang dapat dilaksanakan adalah dengan mengatur armada kapal penangkapan ikan yang beroperasi.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebagai otoritas bagi bidang kelautan dan perikanan di Indonesia, juga telah menggelorakan Konsep Ekonomi Biru, antara lain dengan menerapkan kebijakan penangkapan terkendali, yang menurut Dirjen Perikanan Tangkap KKP M Zaini adalah dengan mengatur perizinan agar pelaku penangkapan ikan atau nelayan dapat menangkap secara proporsional dan tidak berlebihan.
Selain itu penting pula untuk diperhatikan mengenai kualitas dari penanganan ikan yang telah ditangkap oleh nelayan, hingga sampai di bawa ke tempat pendaratan ikan dan dilelang di pelabuhan perikanan. Di sinilah peningkatan baik kualitas maupun kuantitas dari pengamat yang ditempatkan pihak otoritas di berbagai kapal penangkap ikan menjadi hal yang esensial.
Baca juga: Presiden Jokowi: RI harus dapat manfaat dari ekonomi hijau dan biru
Nilai tambah
Sedangkan dari segi hilir, perlu memastikan bahwa hasil olahan dari berbagai komoditas perikanan yang ditangkap nelayan dapat menghasilkan sesuatu yang memiliki nilai tambah lebih, sehingga juga dapat membuat penghasilan yang lebih besar dari pelaku usaha sektor kelautan dan perikanan terutama bagi kesejahteraan nelayan di berbagai kawasan pesisir.
Mekanisme untuk meningkatkan nilai tambah adalah dengan mengoptimalkan inovasi dan teknologi di sektor kelautan dan perikanan. Untuk itu, cara yang paling mudah adalah agar berbagai sumber daya riset yang ada di negeri ini difokuskan kepada sejumlah komoditas unggulan.
Di luar negeri hal itu dapat dicontohkan misalnya dengan yang dilakukan di Norwegia dengan budi daya ikan salmonnya, dan Kanada dengan budi daya lobsternya.
KKP sendiri sudah berfokus kepada beberapa komoditas yang menjadi unggulan sektor kelautan dan perikanan nasional antara lain udang, rumput laut, ikan nila, ikan patin, ikan lele, ikan gurame, ikan kakap, ikan kerapu, dan ikan bandeng.
Untuk itu sudah sewajarnya bila berbagai sumber daya riset di sektor kelautan dan perikanan di Tanah Air difokuskan untuk meningkatkan nilai tambah dari masing-masing komoditas tersebut.
Dengan mengoptimalkan faktor keunggulan komparatif dari beberapa komoditas yang menjadi unggulan, hal tersebut merupakan langkah awal yang tepat dalam rangka membumikan konsep ekonomi biru secara efektif dan efisien di Indonesia.
Baca juga: Menko Luhut: Indonesia ingin serius kembangkan ekonomi biru
Artikel
Pentingnya membumikan konsep ekonomi biru secara efektif di Indonesia
Oleh M Razi Rahman
24 Mei 2021 08:38 WIB
Ilustrasi - Terumbu karang, salah satu kekayaan dari ekosistem kelautan nasional di Republik Indonesia. ANTARA/HO-KKP/pri.
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2021
Tags: