Jakarta (ANTARA) - Kecuali Bundesliga Jerman dan La Liga Spanyol yang Sabtu malam kemarin sudah menuntaskan musim 2020/2021, tiga liga besar Eropa lainnya baru akan menuntaskan musim kompetisinya Minggu malam ini dan Senin dini hari nanti.

Hanya Ligue 1 Prancis dan La Liga yang juara liganya mesti ditentukan oleh pertandingan terakhirnya.

Sabtu malam tadi, persaingan sampai laga terakhir antara Real Madrid dan Atletico Madrid akhirnya mengukuhkan Atletico sebagai juara baru La Liga setelah membungkam tuan rumah Valladolid, sekalipun dalam waktu bersamaan Real juga menaklukkan tamunya Villarreal.

Baca juga: Atletico Madrid juarai Liga Spanyol

Dua kemenangan yang dicatat kedua tim satu kota ini membuat mereka tetap berselisih dua poin sampai hari terakhir kompetisi. Atletico 86 poin, Real 84 poin.

Di Prancis, Lille dan Paris Saint Germain yang berselisih satu poin dituntut harus menang.

Tergelincir melawan Angers dan saat bersamaan PSG mengalahkan Brest, akan membuyarkan impian Lille merengkuh gelar juara liga utama untuk pertama kali dalam kurun 10 tahun terakhir. Dan itu artinya bukan saja punah sudah asa Lille merebut gelar juara liga keempat sepanjang sejarah Liga Prancis, tetapi juga membuat PSG mempertahankan dominasi dalam empat musim terakhir.

Memang masih ada Monaco yang berselisih dua dan tiga poin di bawah mereka, tetapi kalaupun Lille dan PSG nanti kalah dari lawannya masing-masing, Monaco tetap tak bisa juara karena kalah selisih gol dari Lille.

Di tempat lain di Jerman, trofi Bundesliga untuk kesembilan kali berturut-turut kembali menjadi milik Bayern Muenchen, bahkan sebelum tim Bavaria ini menyelesaikan tiga pertandingan terakhirnya. Ini juga untuk ke-30 kalinya Bayern menduduki singgasana liga sepak bola profesional tertinggi Jerman.

Di Italia, Inter Milan mengkudeta Juventus yang selama delapan musim terakhir berturut-turut menjadi jawara Serie A. Ini pertama kali dalam kurun 11 tahun terakhir Inter kembali menjuarai Serie A.

Itu juga gelar juara liga ke-19 kali Inter sepanjang sejarah Serie A. Memang satu gelar di atas Milan, tetapi jumlah sebanyak itu tetap medioker dibandingkan dengan Juventus yang sudah 36 kali menjuarai Serie A.

Di Inggris, Manchester City menjadi juara liga yang ketiga kalinya selama empat tahun diasuh Pep Guardiola sebelum menuntaskan tiga pertandingan terakhirnya.

Baca juga: Tujuh rekor yang hiasi gelar juara City musim ini


Dikawal protokol kesehatan yang ketat

Perebutan status juara liga adalah satu dari sekian atraksi yang sangat menarik dan amat mendebarkan dari lima liga besar Eropa yang paling banyak disaksikan penggemar sepak bola di seluruh dunia itu.

Apalagi itu semua terjadi pada musim yang sangat unik yang tak akan terjadi lagi dalam 100 tahun mendatang, seandainya omongan Bill Gates bahwa pandemi adalah fenomena sekali dalam setiap 100 tahun, benar.

Separuh musim lalu memang dilewatkan dalam suasana pandemi dan lockdown sehingga terlarang ditonton di dalam stadion, tetapi pada musim 2020/2021 klub-klub liga besar Eropa itu --dan demikian pula seluruh liga sepak bola dan cabang olah raga lainnya di seluruh dunia—seluruhnya dilalui dalam suasana pandemi, dari awal sampai akhir kompetisi.

Sampai saat ini, COVID-19 telah menulari 166 juta orang di seluruh dunia di mana 2,45 juta di antaranya berakhir dengan kematian.

Dari angka ini 27 persen atau sekitar 46 juta kasus terjadi di Eropa, namun jumlah korban meninggal dunia di Eropa mencapai 41 persen atau sekitar 1 juta kematian.

Dengan jumlah korban sebesar itu wajar jika Eropa menempuh langkah-langkah keras dalam membendung penyebaran virus corona yang di antaranya mempengaruhi kompetisi olahraga, termasuk kompetisi sepak bola, digulirkan kembali.

Baca juga: Guardiola sebut gelar Liga Inggris musim ini juara tersulitnya

Jauh sebelum mereka menggulirkan kembali kompetisi, rapat-rapat antarlembaga dan lintas-otoritas digelar oleh kebanyakan negara di Eropa, termasuk negara-negara tempat liga besar berada. Dan ini termasuk musim kompetisi sepak bola 2020/2021 yang akhir pekan ini akan memasuki epilognya.

Kompetisi sepak bola Eropa sudah menjadi industri sehingga selalu berkaitan dengan bisnis, tetapi saat menggulirkan lagi musim tidak pernah melulu didasarkan kepada semata bisnis. Sebaliknya, kepatuhan kepada rekomendasi otoritas kesehatan menjadi acuan utama bagaimana kompetisi harus dijalankan

Oleh karena itu, ketika waktunya tiba menggulirkan kompetisi itu mereka mengawalnya dengan protokol kesehatan yang sangat ketat. Dan itu bukan formalitas belaka atau demi mengikuti trend.

Uniknya, klub-klub kaya Eropa yang menganggap sepak bola bukan semata soal olahraga dengan pemain-pemainnya yang kaya raya, tak pernah melihat bergulirnya lagi kompetisi sepak bola, melulu dari kacamata mereka, termasuk kesejahteraan mereka.

Oleh karena itu pula, ketika kompetisi berjalan dan setiap waktu bisa diinterupsi oleh aturan-aturan terkait pembendungan penyebaran virus corona, tidak ada yang protes atau mengakalinya.

Sampai-sampai klub-klub seperti Leicester City dan Manchester City serta banyak lagi di Eropa, harus bermain dengan tim seadanya karena banyak pemainnya mesti menjalani isolasi mandiri berhari-hari hanya karena menjalin kontak dengan orang yang terpapar virus corona.

Dalam beberapa kasus, venue bahkan dipaksa pindah mendadak, atau laga dimundurkan ke waktu yang membuat mereka harus bertanding dalam jadwal yang amat ketat.

Baca juga: Daftar juara Liga Jerman: Bayern kuasai gelar sembilan musim terakhir

Tak menutup-nutupi

Mereka juga tak mau menutupi diri jika ada pemain, staf atau awak yang terpapar virus corona. Semua mereka akui dan sampaikan kepada publik, termasuk sejumlah pemain mereka. Mereka patuh pada aturan isolasi mandiri sekalipun nasib klub mereka dipertaruhkan karena ketidakhadiran mereka di lapangan hijau.

Sikap mereka itu selaras dengan otoritas pusat dan daerah yang ingin selalu memastikan COVID-19 tidak menyebar luas. Dalam pemahaman mereka, bukan otoritas daerah yang mesti beradaptasi dengan kompetisi sepak bola, sebaliknya otoritas dan semua pelaku kompetisilah yang harus menyelaraskan diri dengan ketentuan pembendungan pandemi baik di daerah maupun pusat.

Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan kekhawatiran terciptanya kerumunan akibat suporter yang bandel mengabaikan protokol kesehatan, komunitas sepak bola Eropa tak melulu mengandalkan sikap proaktif klub, pemain dan otoritas sepak bola, tetapi juga dibentengi oleh aturan keras otoritas publik di daerah dan kota di mana pertandingan dilangsungkan, atau otoritas nasional sendiri.

Para pemain dan klub serta perkumpulan penggemar memang aktif mendorong suporter agar menahan diri tidak berkerumun, sekalipun itu demi merayakan keberhasilan timnya menjuarai liga atau turnamen.

Tetapi yang jauh lebih penting dari itu adalah ketegasan otoritas daerah dan pusat dalam mengendalikan pandemi. Tak ada yang berani bergerombol dan berkerumun sekalipun suporter sangat ingin merayakan keberhasilan timnya, apalagi melakukan anarki. Otoritas daerah konsisten menerapkan aturan pembatasan sosial.

Baca juga: Dua pemain Schalke positif COVID-19, laga lawan Hertha tetap dimainkan

Ini seperti negara bagian Victoria di Australia yang bahkan tak mau tunduk kepada siapa pun kecuali rekomendasi otoritas kesehatan, sampai membuat frustrasi para petenis kelas dunia.

Turnamen Grand Slam Australian Open bahkan sempat dibuat tanpa penonton lagi setelah Melbourne menerapkan lockdown singkat hanya karena ada kasus infeksi yang terjadi di sebuah hotel isolasi untuk mereka yang baru datang ke kota itu.

Ketegasan seperti itu terjadi di mana-mana. Semua orang taat protokol kesehatan.

Dan manakala kompetisi tuntas digelar, bukan cuma superioritas Manchester City atau Bayern Muenchen, keandalan rumus sepak bola Pep Guardiola atau Diege Simeone, dan banyak hal sejenis itu yang membuat sepak bola Eropa sangat atraktif.

Karena yang juga tak kalah menariknya adalah cara mereka menjalankan kompetisi di tengah pandemi dan cara orang-orang yang terlibat di dalamnya, termasuk pemain, tidak hanya mau mematuhinya tetapi juga bertanggung jawab memberi pesan kepada publik mengenai bahaya pandemi.

Intinya, atlet-atlet ini senang membuat semua orang yang sudah bosan dikungkung oleh pandemi menjadi terhibur oleh atraksi mereka di lapangan hijau. Tetapi juga menyadari posisi sentral mereka sebagai agen sosial bagi pentingnya semua orang menghindarkan orang lain tak tertular virus corona.

Ini mungkin salah satu bagian yang perlu dilihat oleh siapa pun yang ingin melanjutkan kompetisi sepak bolanya. Keberlangsungan kompetisi dan kesejahteraan pemain serta klub memang penting, tetapi tak boleh menomorduakan kepentingan mengendalikan pandemi.

Baca juga: Positif COVID-19, Kross tidak bisa perkuat Real di laga penentuan
Baca juga: La Liga perluas kemitraan dengan Microsoft demi tingkatkan pendapatan