Jakarta (ANTARA News) - Perjuangannya adalah untuk masa depan, untuk anak cucu dari suatu generasi yang akan hadir puluhan atau mungkin ratusan tahun mendatang, untuk bumi yang lebih baik dan tentunya bukan untuk sebentuk penghargaan.

Bahkan jika penghargaan itu bernama Bintang Mahaputera Adipradana dari Pemerintah Indonesia yang disematkan langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke dadanya, merupakan salah satu bentuk penghormatan negeri ini atas jasa-jasanya.

"Saya bukan membuat itu untuk menjadi suatu penghargaan. Itu adalah hal yang perlu kita lakukan," kata mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar mengenai penghargaan Bintang Mahaputera Adipradana yang diperolehnya atas sepak terjangnya di bidang lingkungan hidup.

Ditemui di sela-sela hiruk-pikuk upacara pemberian penghargaan dan tanda jasa bagi sejumlah tokoh berpengaruh Indonesia oleh Presiden Yudhoyono di Istana Merdeka, Jumat (13/80, sebagai bagian dari rangkaian peringatan HUT ke-65 Kemerdekaan Indonesia, pria kelahiran Tasikmalaya 69 tahun lalu itu bahkan menegaskan bahwa penghargaan tersebut sesungguhnya bukan untuknya, namun bagi seluruh jajarannya di Kementerian Lingkungan Hidup.

"Itu bukan penghargaan bagi saya, tetapi bagi jajaran saya, karena saya tidak bisa berprestasi tanpa jajaran saya di kementerian," katanya.

Dengan senyum khasnya, mantan Presiden Dewan Pemerintah UNEP --Badan PBB untuk Lingkungan Hidup-- itu juga tidak lupa berpesan kepada masyarakat Indonesia agar mencintai lingkungan hidup bukan untuk nilai-nilai komersial, tetapi untuk masa depan Indonesia dan generasi selanjutnya.

Tentunya Racmat Witoelar merendah. Bukan baru kemarin sore, suami dari Erna Anastasia Witoelar itu aktif dalam upaya penyelamatan lingkungan hidup, terutama gerakan melawan perubahan iklim.

Setidaknya dalam enam tahun terakhir atau sejak penunjukannya sebagai Menteri Negara Lingkungan Hidup dalam Kabinet Indonesia Bersatu, pria bernama lengkap Rachmat Nadi Witoelar Kartaadipoetra itu cukup aktif menggagas sejumlah upaya dengan tujuan akhir menjadikan Indonesia pada khususnya dan bumi pada umumnya tempat yang lebih baik bagi seluruh rakyatnya.

Keberhasilan yang dicatatnya pun tidak sedikit. Salah satu yang dinilai cukup menonjol adalah keberadaan Rachmat Witoelar di balik kesuksesan penyelenggaraan Konferensi Perubahan Iklim PBB (UNFCCC) di Bali pada 2007 yang berhasil meletakkan landasan "Peta Jalan Bali".

Bersama sejumlah koleganya, Rachmat terbukti mampu membawa seluruh negara peserta UNFCCC untuk melalui saat-saat "genting" dan mencapai kesepakatan yang terangkum dalam "Peta Jalan Bali" bagi upaya bersama dunia internasional menggagas suatu protokol baru pascaberakhirnya Protokol Kyoto pada 2012.

Protokol baru itu nantinya diharapkan mampu memayungi kepentingan seluruh negara maju dan berkembang tentang upaya pengurangan emisi gas rumah kaca guna mengatasi perubahan iklim dan menghambat laju pemanasan global.

Melawan Perubahan Iklim
Berakhirnya masa jabatan Rachmat Witoelar dalam kabinet tidak serta merta membuat perjuangannya di bidang lingkungan terhenti. Rachmat bahkan terlihat makin konsisten dengan "perang" melawan perubahan iklim.

Usai menunaikan tugasnya sebagai Menteri Lingkungan Hidup, pada 10 Mei 2010, Rachmat diangkat Presiden Yudhoyono sebagai Utusan Khusus bidang Perubahan Iklim

Mengenai jabatan barunya itu, pria yang masih menjabat sebagai Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) itu mengatakan, dia akan bekerjasama dengan Emil Salim yang telah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) untuk permasalahan lingkungan dan Agus Purnomo yang telah ditunjuk menjadi staf khusus Presiden untuk perubahan iklim.

Rachmat menjelaskan staf khusus presiden berfungsi untuk mempersiapkan bahan tentang perubahan iklim kepada presiden, sedangkan Wantimpres bekerja mengkaji masalah dan memberikan masukan kepada presiden.

"Saya menjadi `vocal point` resmi pemerintah. Mereka (dunia internasional) akan menerima saya sebagai utusan khusus resmi sehingga mempunyai bobot lebih untuk memperjuangkan isu perubahan iklim untuk Indonesia," ujarnya.

Sebagai utusan khusus, ayah dari Aria Sulhan, Surya Cipta dan Wirya Taqwa itu berkewajiban untuk merangkum semua aspirasi sektor di tingkat nasional maupun aspirasi daerah untuk dibawa di forum internasional. Suatu pekerjaan rumah dan tantangan yang tidak mudah mengingat beragamnya kepentingan sektor dan daerah di seluruh penjuru Indonesia. Namun tantangan tidak menyurutkan langkah Rachmat yang sejak era 1970-an telah malang melintang di dunia politik Indonesia.

Komitmen kuat Rachmat dalam mendorong seluruh negara di dunia peduli pada dampak perubahan iklim dan penamasan global didasari pada keyakinannya, bahwa problem degradasi lingkungan telah menjadi masalah semua negara dan melintasi batas wilayah mengingat kerusakan lingkungan di suatu negara secara otomatis akan mempengaruhi negara lain yang kemudian secara global dapat mengancam dunia.

Oleh karena itu, mantan duta besar LBBP Indonesia untuk Rusia dan Mongolia itu tidak kenal lelah mendorong terwujudnya suatu kesepakatan bersama dalam pertemuan-pertemuan lanjutan UNFCCC baik di Polandia maupun Denmark, dan Meksiko pada ujung 2010.

Sebelum UNFCCC di Bali, Rachmat mengatakan kerjasama mengatasi perubahan iklim adalah keniscayaan apabila ingin bumi dan segala isinya tetap bertahan.

Ia menilai jika kondisi lingkungan seperti saat ini terus berlangsung maka dalam waktu kurang dari 70 sampai 100 tahun, dunia tidak lagi bisa dihuni.

"Data-data ilmiah yang mutakhir dalam kurun satu tahun ini menunjukkan bahwa keadaan dunia akan menjadi sangat kritis dalam waktu yang singkat," katanya.

Menurut dia, 40 tahun yang lalu ketika teknologi bisa mengukur, maka terpantau jika keadaannya seperti sekarang ini, maka berangsur-angsur akan terjadi pemanasan bumi yang diakibatkan perubahan iklim.

"Pemanasan tiap derajat memberikan efek yang sangat fatal. Kalau suhu berkurang rata-rata empat derajat, maka yang terjadi adalah zaman es yang kita alami itu," katanya.

Sekarang, katanya, suhu bumi naik sekitar 1,5 derajat, sehingga telah nampak pergeserannya.

Berbuat Lebih

Dan komitmen Rachmat untuk mencegah perubahan iklim tidak hanya terhenti di meja-meja perundingan, dalam kehidupan sehari-hari pria kelahiran 2 Juni 1941 itu pun mengaku memegang teguh komitmennya, yang salah satunya tercermin dari pilihannya untuk menggunakan kendaraan berteknologi hibrida untuk mengurangi emisi karbon dioksida.

Walau sayangnya, kendaraan dengan teknologi hibrida yang juga mampu menghemat bahan bakar harganya masih cukup mahal untuk masyarakat kebanyakan di Indonesia.

Petang itu didampingi istri tercintanya, Rachmat berjalan perlahan menuruni tangga Istana Merdeka bagian barat. Dengan selempang merah tersandang di bahunya, arsitek lulusan ITB tersebut tersenyum meladeni permintaan para wartawan foto yang ingin mengabadikan gambarnya.

Rona kebahagiaan tak dapat disembunyikan oleh tokoh senior itu. Ketika ditanya mengenai perasaannya menerima tanda kehormatan tersebut Rachmat menjawab bahwa ia merasa apa yang telah ia baktikan kepada negara dihargai.

Ia juga optimistis perjuangannya dari hari ke hari akan makin ringan karena saat ini masyarakat Indonesia sudah banyak yang peduli dengan masalah lingkungan.

Di dunia internasional, katanya, nama Indonesia juga sudah banyak dikenal dan dihormati sebagai negara yang peduli pada lingkungan hidup.

Dengan atau tanpa Bintang Mahaputra Adipradana, seorang Rachmat Witoelar tentu akan terus memperjuangkan mimpinya mewariskan suatu bumi yang layak bagi anak cucunya. Namun sebuah penghargaan atas kerja kerasnya, ia akui membuatnya tertantang untuk berbuat lebih banyak lagi.
(G003/H-KWR)