Akademisi sebut COVID-19 jadi transisi hegemoni dari AS ke China
20 Mei 2021 19:20 WIB
Pekerja kargo melakukan bongkar muat vaksin COVID-19 jenis Sinovac dari badan pesawat Garuda Indonesia setibanya dari China di Terminal Cargo Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Jumat (30/4/2021). ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/foc. (ANTARA FOTO/MUHAMMAD IQBAL)
Jakarta (ANTARA) - Akademisi sekaligus pengamat politik Filipina Walden Bello mengatakan dampak dari pandemi COVID-19 menjadikan transisi hegemoni yang sebelumnya dikuasai oleh Amerika Serikat beralih ke China seiring ekonominya tumbuh melesat tanpa menderita resesi pada krisis ekonomi tahun lalu.
"Ekonomi China memang sempat terpukul pada awal tahun 2020, namun China jadi negara yang ekonominya berhasil tumbuh positif di saat sebagian besar negara mengalami resesi," kata Walden dalam webinar tentang pandemi COVID-19 dan lumpuhnya sistem ekonomi yang dipantau di Jakarta, Kamis.
Menurutnya, saat ini sedang terjadi transisi hegemoni dari Amerika Serikat yang selama ini menjadi kekuatan ekonomi global, mengarah pada China yang menjadi pusat akumulasi modal secara global yang terus bertumbuh meskipun di tengah pandemi COVID-19.
Baca juga: Menjaga Jawa tetap landai penyebaran COVID-19 pascalebaran
Walden mengatakan pada awal dekade abad 21 China sama sekali bukan apa-apa dan belum menjadi kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia. Namun China menjadi pusat akumulasi modal global atau disebut sebagai "lokomotif ekonomi dunia" dengan 28 persen pertumbuhan secara lima tahun berturut-turut sejak 2013 hingga 2018.
Menurut Walden, China memiliki keistimewaan sejak terjadi krisis legitimasi di negara tersebut pada 1970. Dia menyebut China memiliki sumber daya manusia yang sangat besar yang menjadi pekerja dan dibayar dengan upah rendah yang berdampak pada keputusan kebijakan investasi. Pada awal abad 21, China memiliki 121 pekerja di sektor manufaktur dan jasa.
Selain itu, China juga memiliki pekerja yang sangat banyak yang berasal dari daerah untuk bekerja di wilayah perkotaan. Pada dekade 2000-an, lebih dari 80 juta orang daerah pergi ke kota untuk bekerja.
Baca juga: China dukung pembicaraan tentang penghapusan paten vaksin COVID-19
Dengan pekerja sektor manufaktur yang masif dan upah rendah, China mengekspor produknya secara besar-besaran ke seluruh penjuru dunia yang dijual dengan harga yang bersaing untuk merebut pangsa pasar global.
Selain itu, kebijakan fiskal yang mendukung industri di China juga memungkinkan produsen bisa mendapatkan margin keuntungan yang lebih tinggi meski menjual produk dengan harga yang rendah. Menurutnya, berbagai aspek tersebut menjadi satu kesatuan yang saling menguntungkan sehingga bisa meningkatkan ekonomi.
Menurut dia, China menekan upah rendah pada para pekerjanya agar bisa meningkatkan sektor investasi dan teknologi yang dapat membuat ekonomi berkembang.
Walden mengatakan di saat China sedang gencar-gencarnya dalam industrialisasi, terjadi deindustrialisasi di AS yang dimulai sejak terjadi krisis tahun 2008. "Jauh sebelum perbankan di AS runtuh pada 2008, industri kunci di AS seperti mesin, elektronik, suku cadang, furnitur, telekomunikasi, dan banyak lainnya yang mendominasi pangsa pasar global sudah menderita sebelumnya. Meski tidak semuanya berpindah ke China, tapi menjadikan China jadi pusat dari deindustrialisasi di AS," kata dia.
"Ekonomi China memang sempat terpukul pada awal tahun 2020, namun China jadi negara yang ekonominya berhasil tumbuh positif di saat sebagian besar negara mengalami resesi," kata Walden dalam webinar tentang pandemi COVID-19 dan lumpuhnya sistem ekonomi yang dipantau di Jakarta, Kamis.
Menurutnya, saat ini sedang terjadi transisi hegemoni dari Amerika Serikat yang selama ini menjadi kekuatan ekonomi global, mengarah pada China yang menjadi pusat akumulasi modal secara global yang terus bertumbuh meskipun di tengah pandemi COVID-19.
Baca juga: Menjaga Jawa tetap landai penyebaran COVID-19 pascalebaran
Walden mengatakan pada awal dekade abad 21 China sama sekali bukan apa-apa dan belum menjadi kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia. Namun China menjadi pusat akumulasi modal global atau disebut sebagai "lokomotif ekonomi dunia" dengan 28 persen pertumbuhan secara lima tahun berturut-turut sejak 2013 hingga 2018.
Menurut Walden, China memiliki keistimewaan sejak terjadi krisis legitimasi di negara tersebut pada 1970. Dia menyebut China memiliki sumber daya manusia yang sangat besar yang menjadi pekerja dan dibayar dengan upah rendah yang berdampak pada keputusan kebijakan investasi. Pada awal abad 21, China memiliki 121 pekerja di sektor manufaktur dan jasa.
Selain itu, China juga memiliki pekerja yang sangat banyak yang berasal dari daerah untuk bekerja di wilayah perkotaan. Pada dekade 2000-an, lebih dari 80 juta orang daerah pergi ke kota untuk bekerja.
Baca juga: China dukung pembicaraan tentang penghapusan paten vaksin COVID-19
Dengan pekerja sektor manufaktur yang masif dan upah rendah, China mengekspor produknya secara besar-besaran ke seluruh penjuru dunia yang dijual dengan harga yang bersaing untuk merebut pangsa pasar global.
Selain itu, kebijakan fiskal yang mendukung industri di China juga memungkinkan produsen bisa mendapatkan margin keuntungan yang lebih tinggi meski menjual produk dengan harga yang rendah. Menurutnya, berbagai aspek tersebut menjadi satu kesatuan yang saling menguntungkan sehingga bisa meningkatkan ekonomi.
Menurut dia, China menekan upah rendah pada para pekerjanya agar bisa meningkatkan sektor investasi dan teknologi yang dapat membuat ekonomi berkembang.
Walden mengatakan di saat China sedang gencar-gencarnya dalam industrialisasi, terjadi deindustrialisasi di AS yang dimulai sejak terjadi krisis tahun 2008. "Jauh sebelum perbankan di AS runtuh pada 2008, industri kunci di AS seperti mesin, elektronik, suku cadang, furnitur, telekomunikasi, dan banyak lainnya yang mendominasi pangsa pasar global sudah menderita sebelumnya. Meski tidak semuanya berpindah ke China, tapi menjadikan China jadi pusat dari deindustrialisasi di AS," kata dia.
Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2021
Tags: