Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi III DPR RI, Bambang Soesatyo, meminta Presiden Susilo Bambang Yudhono membuat strategi nyata untuk mencapai tujuan reformasi gelombang kedua.

Bambang di Jakarta, Senin, menilai bahwa target-target strategis dari reformasi gelombang kedua yang dipaparkan dalam pidato kenegaraan Presiden sangat sulit diwujudkan.

"Saya melihat Presiden sesungguhnya terkesan tidak punya strategi untuk mewujudkan target-target itu. Katakanlah kalau Presiden punya strategi, maka strategi itu tidak diimplementasikan dengan konsisten," ujarnya.

Idealnya, menurut Bambang, upaya mewujudkan semua target reformasi gelombang kedua itu termuat dan tercerminkan dalam seluruh kebijakan dan langkah Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat ini.

"Nyatanya, kita merasa bahwa arah reformasi dan arah pembangunan nasional kita tak jelas, karena ketiadaan strategi yang konkret pula. Itu sebabnya saya menilai pidato Presiden tadi tidak lebih dari janji yang sangat tidak realistis," tandasnya.

Bambang lalu menunjuk beberapa alinea pidato yang dianggapnya sebagai pernyataan agak tidak jelas, kurang memberi kepastian.

"Simaklah berapa kali Presiden berulangkali menggunakan ungkapan `masih harus` ini - itu, ketika memaparkan target-targetnya, terutama sejalan dengan arah pembangunan nasional yang bertumpu pada tiga pilar utama, yakni kesejahteraan, demokrasi dan keadilan," ungkapnya.

Bambang lalu mengajak menyimak aspek kesejahteraan bagi 237,6 juta jiwa rakyat Indonesia yang menjadi pilar pertama dari target Presiden.

"Hanya ditegaskan bahwa pokoknya pembangunan untuk rakyat. Maka untuk itu, hingga tahun 2014, Pemerintahan SBY mengalokasi Rp100 triliun, atau Rp20 triliun per tahun berupa kredit untuk rakyat (KUR), dan membuka 10,7 juta lapangan kerja baru," paparnya.

Yang jadi pertanyaan berikutnya, lanjut Bambang, "Apa strategi Presiden untuk mewujudkan target ini."

"Menurut saya, tidak ada. Rakyat tak akan mau menyerap kredit yang disediakan jika suku bunga masih sangat tinggi seperti sekarang," katanya.

Menciptakan lapangan kerja pun, menurutnya, sangat sulit jika Presiden tidak segera mengubah kebijakan tentang biaya produksi di dalam negeri.

"Sulit mengharapkan hadirnya investasi baru, jika biaya produksi di dalam negeri sangat mahal seperti sekarang. Belum lagi masalah minimnya infrastruktur," ungkapnya.

Ia juga mengajak menyimak pidato Presiden yang menyinggung masalah lambannya penyerapan anggaran.

"Sayangnya, Presiden tidak mengindikasikan apa yang akan dilakukan Pemerintah untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan anggaran," ujarnya menambahkan.
(T.M036/U002/P003)