Mandiri ungkap untung rugi AS dan China tumbuh lebih cepat bagi RI
19 Mei 2021 13:12 WIB
Tangkapan layar Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro saat memberikan paparan dalam sebuah diskusi daring di Jakarta, Kamis (24/9/2020). ANTARA/Citro Atmoko.
Jakarta (ANTARA) - Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro mengungkapkan beberapa keuntungan sekaligus kerugian terjadinya pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) dan China yang lebih cepat bagi pemulihan di Indonesia.
“Jadi pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat dan China itu sebenarnya memberikan efek positif buat Indonesia,” katanya dalam acara daring Economic Outlook and Industry 2021 di Jakarta, Rabu.
Andry mengatakan dua perekonomian terbesar dunia yaitu AS dan China mencatat pertumbuhan positif pada triwulan I-2021 yaitu masing-masing 0,4 persen (yoy) dan 18,3 persen (yoy).
Ekonomi AS tumbuh 0,4 persen (yoy) didukung meningkatnya aktivitas seiring dilonggarkannya restriksi dengan semakin meluasnya distribusi vaksin serta tambahan stimulus yang diperkirakan dapat menopang laju pemulihan ke depan.
Ia mengatakan jika ekspektasi pertumbuhan ekonomi AS naik maka akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia salah satunya melalui ekspor industri manufaktur ke AS yang juga meningkat.
“Kita bicara top limanya adalah tekstil dan produk tekstil, kemudian ada perikanan dan yang berikutnya adalah rubber dan produk olahannya,” ujarnya.
Sementara pertumbuhan ekonomi China yang meningkat tajam sebesar 18,3 persen (yoy) terjadi seiring terkendalinya penyebaran COVID-19.
Menurutnya, pertumbuhan ekonomi China yang melonjak tajam akan memberikan dampak positif bagi Indonesia yaitu pertumbuhan ekspor yang relatif meningkat terutama batubara.
Di sisi lain, Andry menyatakan pertumbuhan ekonomi AS yang lebih cepat berpotensi terjadinya perubahan cycle kebijakan moneter dan fiskal secara global.
Pertumbuhan ini menimbulkan kekhawatiran pada pasar keuangan global karena berpotensi terjadi kenaikan inflasi yang cepat di AS meski The Fed memastikan kebijakan moneter yang longgar untuk mengiringi pemulihan ekonomi agar berjalan lancar.
“Tantangannya adalah kalau recovery lebih cepat dan inflasi meningkat maka akan ada perubahan cycle kebijakan moneter yang bisa lebih cepat dari trajectory yang sudah disampaikan The Fed,” jelasnya.
Ia menjelaskan pemulihan ekonomi AS lebih cepat dapat memicu penarikan stimulus moneter yang lebih cepat juga sehingga berdampak negatif pada pasar keuangan global termasuk pasar keuangan domestik.
“The Fed masih akan mempertahankan suku bunga acuannya di 0,25 persen sampai 2023. Kalau ekonomi AS pulih lebih cepat apa tidak mungkin itu lebih awal lagi,” tegasnya.
Baca juga: Bank Mandiri: Meski terkontraksi, tren pemulihan ekonomi RI berlanjut
Baca juga: Mandiri ungkap tiga risiko pengaruhi pemulihan ekonomi global
Baca juga: Indef: Perkiraan awal ekonomi RI tumbuh 2 persen pada triwulan II
“Jadi pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat dan China itu sebenarnya memberikan efek positif buat Indonesia,” katanya dalam acara daring Economic Outlook and Industry 2021 di Jakarta, Rabu.
Andry mengatakan dua perekonomian terbesar dunia yaitu AS dan China mencatat pertumbuhan positif pada triwulan I-2021 yaitu masing-masing 0,4 persen (yoy) dan 18,3 persen (yoy).
Ekonomi AS tumbuh 0,4 persen (yoy) didukung meningkatnya aktivitas seiring dilonggarkannya restriksi dengan semakin meluasnya distribusi vaksin serta tambahan stimulus yang diperkirakan dapat menopang laju pemulihan ke depan.
Ia mengatakan jika ekspektasi pertumbuhan ekonomi AS naik maka akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia salah satunya melalui ekspor industri manufaktur ke AS yang juga meningkat.
“Kita bicara top limanya adalah tekstil dan produk tekstil, kemudian ada perikanan dan yang berikutnya adalah rubber dan produk olahannya,” ujarnya.
Sementara pertumbuhan ekonomi China yang meningkat tajam sebesar 18,3 persen (yoy) terjadi seiring terkendalinya penyebaran COVID-19.
Menurutnya, pertumbuhan ekonomi China yang melonjak tajam akan memberikan dampak positif bagi Indonesia yaitu pertumbuhan ekspor yang relatif meningkat terutama batubara.
Di sisi lain, Andry menyatakan pertumbuhan ekonomi AS yang lebih cepat berpotensi terjadinya perubahan cycle kebijakan moneter dan fiskal secara global.
Pertumbuhan ini menimbulkan kekhawatiran pada pasar keuangan global karena berpotensi terjadi kenaikan inflasi yang cepat di AS meski The Fed memastikan kebijakan moneter yang longgar untuk mengiringi pemulihan ekonomi agar berjalan lancar.
“Tantangannya adalah kalau recovery lebih cepat dan inflasi meningkat maka akan ada perubahan cycle kebijakan moneter yang bisa lebih cepat dari trajectory yang sudah disampaikan The Fed,” jelasnya.
Ia menjelaskan pemulihan ekonomi AS lebih cepat dapat memicu penarikan stimulus moneter yang lebih cepat juga sehingga berdampak negatif pada pasar keuangan global termasuk pasar keuangan domestik.
“The Fed masih akan mempertahankan suku bunga acuannya di 0,25 persen sampai 2023. Kalau ekonomi AS pulih lebih cepat apa tidak mungkin itu lebih awal lagi,” tegasnya.
Baca juga: Bank Mandiri: Meski terkontraksi, tren pemulihan ekonomi RI berlanjut
Baca juga: Mandiri ungkap tiga risiko pengaruhi pemulihan ekonomi global
Baca juga: Indef: Perkiraan awal ekonomi RI tumbuh 2 persen pada triwulan II
Pewarta: Astrid Faidlatul Habibah
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2021
Tags: