Epidemiolog: Pemerintah perlu evaluasi manajemen pengendalian pandemi
18 Mei 2021 21:56 WIB
Ahli epidemiologi Universitas Gadjah Mada (UGM) dr Riris Andono Ahmad (kiri) bersama Wakil Ketua Sekretariat Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 DIY Biwara Yuswantana. (ANTARA/HO-Humas Pemda DIY)
Yogyakarta (ANTARA) - Pakar Epidemiologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Riris Andono Ahmad mendorong pemerintah mengevaluasi manajemen pengendalian pandemi, terutama terhadap peningkatan kasus kematian akibat COVID-19 di Tanah Air.
Riris melalui keterangan tertulis di Yogyakarta, Selasa, menyebutkan dengan evaluasi manajemen pengendalian diharapkan segera diketahui faktor mana saja yang berkontribusi besar terhadap angka kematian akibat COVID-19.
"Sekarang titik letaknya ada di mana? Bisa saja, misalnya terkait akses di mana pasien COVID-19 berat berasal dari sosial ekonomi menengah ke bawah dan akses mendapatkan layanan kesehatan lebih sulit sehingga sampai ke layanan kesehatan lambat sehingga kemungkinan terjadi kematian sangat besar," kata dia.
Berdasar data yang dihimpun Satgas COVID-19, pada 15 Mei 2021 angka kematian akibat COVID-19 di Tanah Air sebesar 2,76 persen yang meningkat dari sebelumnya per Februari 2021 sebesar 2,75 persen, sedangkan persentase kasus angka kematian akibat COVID-19 di dunia sebesar 2,07 persen.
Baca juga: Pakar: Perkuat penegakan hukum dalam pelaksanaan PPKM
Ia mengatakan penyebab pasti kematian akibat COVID-19 tidak bisa diketahui tanpa adanya audit kematian.
Banyak faktor yang menurut dia bisa memengaruhi hal tersebut, salah satunya terkait akses layanan kesehatan serta terkait bagaimana layanan kesehatan mampu mengelola kasus yang ada secara kuat dan bermutu.
Selain itu, lanjut dia, peningkatan kasus kematian bisa saja terkait dengan sistem rujukan.
Meskipun saat ini telah ada sistem rujukan, Riris mengatakan sistem yang ada belum disesuaikan situasi pandemi saat ini yang membutuhkan kecepatan penanganan.
Karena tidak adanya sistem rujukan yang cepat, kata dia, menjadikan layanan terhadap pasien COVID-19 kategori berat berjalan lambat sehingga memperbesar kemungkinan terjadinya kematian.
"Faktor lain adanya varian baru COVID-19 yang dikabarkan memiliki tingkat penularan lebih tinggi. Namun, ini semua hipotetikal, mana yang memengaruhi secara riil di lapangan belum diketahui secara pasti," ujar dia.
Untuk menekan angka kasus kematian akibat COVID-19, katanya, tidak cukup hanya dilakukan oleh pemerintah dengan mengevaluasi manajemen kasus terhadap kematian akibat COVID-19 di Tanah Air.
Masyarakat, kata dia, juga diharapkan dapat mengambil bagian dengan disiplin menjalankan protokol kesehatan dengan mematuhi 5M, yaitu memakai masker, mencuci tangan dengan sabun di air mengalir, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan mengurangi mobilitas.
"Masyarakat harus tetap menjalankan prokes, 5M, yang menjadi senjata unggulan untuk mencegah COVID-19," kata dia.
Baca juga: Pakar: Sekolah tatap muka perlu perhatikan epidemiologi terkini
Baca juga: Epidemiologi : masyarakat perlu dijelaskan manfaat vaksinasi COVID-19
Riris melalui keterangan tertulis di Yogyakarta, Selasa, menyebutkan dengan evaluasi manajemen pengendalian diharapkan segera diketahui faktor mana saja yang berkontribusi besar terhadap angka kematian akibat COVID-19.
"Sekarang titik letaknya ada di mana? Bisa saja, misalnya terkait akses di mana pasien COVID-19 berat berasal dari sosial ekonomi menengah ke bawah dan akses mendapatkan layanan kesehatan lebih sulit sehingga sampai ke layanan kesehatan lambat sehingga kemungkinan terjadi kematian sangat besar," kata dia.
Berdasar data yang dihimpun Satgas COVID-19, pada 15 Mei 2021 angka kematian akibat COVID-19 di Tanah Air sebesar 2,76 persen yang meningkat dari sebelumnya per Februari 2021 sebesar 2,75 persen, sedangkan persentase kasus angka kematian akibat COVID-19 di dunia sebesar 2,07 persen.
Baca juga: Pakar: Perkuat penegakan hukum dalam pelaksanaan PPKM
Ia mengatakan penyebab pasti kematian akibat COVID-19 tidak bisa diketahui tanpa adanya audit kematian.
Banyak faktor yang menurut dia bisa memengaruhi hal tersebut, salah satunya terkait akses layanan kesehatan serta terkait bagaimana layanan kesehatan mampu mengelola kasus yang ada secara kuat dan bermutu.
Selain itu, lanjut dia, peningkatan kasus kematian bisa saja terkait dengan sistem rujukan.
Meskipun saat ini telah ada sistem rujukan, Riris mengatakan sistem yang ada belum disesuaikan situasi pandemi saat ini yang membutuhkan kecepatan penanganan.
Karena tidak adanya sistem rujukan yang cepat, kata dia, menjadikan layanan terhadap pasien COVID-19 kategori berat berjalan lambat sehingga memperbesar kemungkinan terjadinya kematian.
"Faktor lain adanya varian baru COVID-19 yang dikabarkan memiliki tingkat penularan lebih tinggi. Namun, ini semua hipotetikal, mana yang memengaruhi secara riil di lapangan belum diketahui secara pasti," ujar dia.
Untuk menekan angka kasus kematian akibat COVID-19, katanya, tidak cukup hanya dilakukan oleh pemerintah dengan mengevaluasi manajemen kasus terhadap kematian akibat COVID-19 di Tanah Air.
Masyarakat, kata dia, juga diharapkan dapat mengambil bagian dengan disiplin menjalankan protokol kesehatan dengan mematuhi 5M, yaitu memakai masker, mencuci tangan dengan sabun di air mengalir, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan mengurangi mobilitas.
"Masyarakat harus tetap menjalankan prokes, 5M, yang menjadi senjata unggulan untuk mencegah COVID-19," kata dia.
Baca juga: Pakar: Sekolah tatap muka perlu perhatikan epidemiologi terkini
Baca juga: Epidemiologi : masyarakat perlu dijelaskan manfaat vaksinasi COVID-19
Pewarta: Luqman Hakim
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2021
Tags: