Jakarta (ANTARA News) - Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan, Tjahjo Kumolo, mengatakan usulan "Center for Information and Development Studies" (Cides) mengenai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai "Bapak Kesejahteraan" sebaiknya sesudah kepemimpinnya berakhir.

"Saya kira akan lebih objektif jika pernilaiannya dilakukan setelah rakyat mengevaluasi kiprah kepemimpinannya selama dua periode atau selang 10 tahun," katanya kepada ANTARA di Jakarta, Jumat.

Bagi PDI Perjuangan, menurut dia, usulan Cides itu sah-sah saja, sebagai hak setiap masyarakat mengusulkan sesuatu mengenai apa pun.

"Namun saya kira juga Bapak Presiden SBY juga masih belum berkenan, ya? Ini karena peningkatan kesejahteraan rakyat sebagaimana janjinya kampanye pada Pemilu Presiden dan dipertegas pada Pidato Pelantikan Presiden periode kedua, sampai sekarang belum menunjukkan hasil optimal," ungkap Tjahjo Kumolo.

Sebagaimana diberitakan ANTARA sebelumnya, Ketua Dewan Direktur Cides, Ricky Rachmadi mengusulkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bisa menghasilkan sesuatu yang dapat dijadikan "legasi" (karya-karya besar) untuk ditinggalkan agar dikenang sepanjang masa.

"Seperti misalnya sebagai Bapak Kesejahteraan karena berbagai programnya yang propeningkatan kesejahteraan rakyat, di antaranya pemberian dana bantuan langsung tunai (BLT), skim investasi untuk rakyat kecil, seperti PNPM dan KUR, dan seterusnya," katanya


Angka Kemiskinan Tinggi

Tjahjo Kumolo lalu menyorot angka kemiskinan yang masih cukup tinggi sebagai salah satu faktor usulan ini bisa belum diterima Presiden SBY.

"Angka kemiskinan masih cukup tinggi dan angka pengangguran pun belum menunjukkan perbaikan atau penurunan yang signifikan. Begitu pula, soal utang negara juga masih cukup tinggi," ujarnya.

Sementara itu, lanjut dia, program-program kesejahteraan rakyat seperti PNPM dan BOS, masih menggunakan uang hasil utang, atau belum merupakan dana penerimaan mandiri.

"Karena itu, saya kira usul tersebut bisa disampaikan lagi saat berakhirnya jabatan beliau pada tahun 2014, sambil kita mengevaluasi kembali keberhasilannya selama 10 tahun memimpin pemerintahannya ke depan," tegas Tjahjo Kumolo lagi.


Contohi Bung Karno

Secara terpisah, Ricky Rachmadi juga mengatakan, hasil pertemuan Bogor pekan lalu (yang antara lain melibatkan para menteri dan gubernur se-Indonesia), seyogianya harus bisa dijadikan momentun menghasilkan langkah konkret dan "legasi" (karya-karya besar).

"Terutama `legasi` yang berkaitan dengan usaha-usaha peningkatan kesejahteraan rakyat yang bisa ditinggal (hasil karya) kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono nanti yang terus dapat dikenang sepanjang masa sebagi puncak prestasi," katanya lagi.

Apalagi, menurut dia, Presiden Yudhoyono sudah memasuki periode keduanya dengan nilai 60 persen dukungan rakyat.

"Hal tersebut (dukungan mayoritas tersebut) menurut saya didasarkan pada puncak prestasi kepemimpinan Presiden Indonesia yang lalu (periode sebelumnya). Makanya, sekaranglah kesempatan beliau mencetak sebuah `legasi` atau puncak prestasi yang bakal terus dikenal rakyat Indonesia ke depan," ujarnya.

Ricky Rachmadi kemudian mencontohkan prestasi spektakuler Bung Karno (Presiden I Republik Indonesia) yang hingga kini, dan sampai kapan pun terus dikenang sebagai Bapak (Proklamator) Kemerdekaan, Penggali Ideologi Negara Pancasila, Bapak Pemersatu Bangsa.

"Juga ada yang baik dari Pak Harto (Presiden II Republik Indonesia) sebagai Bapak Pembangunan. Begitu pula, walaupun pendek usia kekuasaan Pak Habibie (Presiden III Republik Indonesia), dapat dikenang sebagai Bapak Reformasi yang memberikan kebebasan pers," ungkapnya.

Begitu pula, Gus Dur (Presiden IV RI) sebagai "Bapak Pluralisme", lalu Ibu Mega (Presiden V RI) selaku "Ibu Wong Cilik".

Karena itu, lanjut dia, bila sampai akhir jabatannya nanti, tidak ada yang bisa ditinggalkan sebagai "legasi", patut disayangkan.

"Nanti apa `legasi` Presiden SBY. Padahal kan beliau tak kalah populer ketimbang para pendahulunya pada masa masing-masing," ujarnya.

Ricky Rachmadi yang juga Wakil Sekjen DPP Partai Golkar lalu mengusulkan agar "legasi" Presiden SBY dalam kepemimpinannya bisa diarahkan kepada dua hal.

"Saya menilai, ada dua kekuatan (Presiden SBY) yang harus dipilih sebagai kekuatan arus utama, yaitu demokrasi atau kesejahteraan," katanya.

Dengan begitu, menurut dia, di akhir masa jabatannya yang tinggal kurang lebih sembilan semester lagi, Presiden SBY bisa dikenang sebagai "Bapak Demokrasi" atau "Bapak Kesejahteraan".

Proses pematangan, lanjut dia, mulai dari sekarang dengan mengambil momentum "Pertemuan Bogor". "Kan banyak yang masih bisa dikerjakan, terutama berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan rakyat (kesra) sehingga beliau cocok dikenang sebagai Bapak Kesejahteraan," katanya menegaskan.

Selain itu, kata Ricky Rachmadi, bisa pula melakukan berbagai manuver strategis dalam peningkatan demokratisasi, termasuk reformasi birokrasi sehingga SBY dapat dikenang pula sebagai "Bapak Demokrasi".
(M036/K004)