Jakarta (ANTARA) - Tujuh orang pegawai KPK yang merupakan bagian dari 75 orang pegawai yang dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) untuk menjadi aparatur sipil negara (ASN) melayangkan surat keberatan kepada pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.

"Surat sudah disampaikan ke pimpinan KPK tadi pagi," kata Kepala Satuan Tugas Pembelajaran Internal KPK Hotman Tambunan di Jakarta, Senin.

Seperti diketahui pengumuman hasil Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) pada 5 Mei 2021 menyatakan dari 1.351 pegawai KPK yang mengikuti TWK hanya ada 1.274 orang pegawai yang memenuhi syarat sedangkan 75 orang pegawai Tidak Memenuhi syarat (TMS).

Ketujuh pegawai tersebut adalah Direktur Pembinaan Jaringan Antarkomisi KPK Sujanarko, Kepala Satuan Tugas Pembelajaran Internal KPK Hotman Tambunan, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK Giri Supradiono, pegawai KPK Samuel Fajar HTS, Novariza, Benydictus S dan Tri Artining Putri.

Baca juga: Ketua WP dukung penuh perintah Jokowi terkait polemik 75 pegawai KPK
Baca juga: Indriyanto Seno Adji maklumi dilaporkan ke Dewas KPK
Baca juga: Presiden Jokowi: TWK bukan dasar pemberhentian 75 pegawai KPK


"Kami meminta agar pimpinan segera mencabut SK 652. Lebih dari itu, perhatian dan komitmen terhadap upaya pembarantasan korupsi semestinya menjadi prioritas kita bersama karenanya proses alih status pegawai KPK sebagai konsekuensi berlakunya UU No 19 tahun 2019 seharusnya hanya ditujukan untuk penguatan upaya pemberantasan korupsi dan bukan sebaliknya," demikian tertulis dalam surat keberatan tersebut.

Pada 7 Mei 2021, pimpinan KPK menerbitkan SK Nomor 652 tahun 2021 tentang Hasil Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan Pegawai yang Tidak Memenuhi Syarat dalam Rangka Pengalihan Pegawai KPK menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara.

Terdapat sejumlah pertimbangan yang menjadi dasar keberatan para pegawai tersebut.

Pertama, ketentuan Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 hanya mengatur bahwa KPK bekerja sama dengan BKN melaksanakan asesmen tes wawasan kebangsaan dan tidak pernah mensyaratkan kriteria dan menuntut kewajiban hukum pegawai untuk lulus maupun tidak lulus asesmen tes wawasan kebangsaan, demikian pula tidak mengatur konsekuensi apapun dari lulus maupun tidak lulus asesmen tes wawasan kebangsaan.

"Singkatnya, ketentuan pasal 5 ayat (4) Peraturan KPK No. 1 Tahun 2021 hanya mewajibkan pegawai KPK hadir dan mengikuti asesmen wawasan kebangsaan yang diselenggarakan oleh KPK bekerja sama dengan BKN sehingga seluruh keputusan dan tindakan administratif yang diterbitkan di luar ketentuan Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021, termasuk penetapan SK 652 Tahun 2021 jelas tidak berdasarkan hukum," demikian surat tersebut.

Kedua, saat para pegawai menanyakan "Apa konsekuensinya jika pegawai tidak lulus asesmen wawasan kebangsaan?" Berulang kali dijawab oleh Biro SDM, Kepala Biro Hukum maupun Pimpinan KPK "Tidak perlu khawatir mengenai asesmen wawasan kebangsaan", "semua pegawai KPK pasti bisa mengerjakan asesmen wawasan kebangsaan" sehingga tidak pernah sekalipun disebutkan adanya konsekuensi tidak lulus.

"Pernyataan Pimpinan, Biro SDM dan Kepala Biro Hukum pada sosialisasi tersebut jelas menegaskan seolah tidak akan ada konsekuensi yang merugikan bagi pegawai yang mengikuti asesmen wawasan kebangsaan, namun faktanya Pimpinan justru menerbitkan SK 652 yang berdampak merugikan bagi pegawai. Sikap ini mencerminkan ketidaksesuaian antara kata-kata dan tindakan yang semestinya tidak boleh terjadi di lembaga anti korupsi," demikian surat tersebut.

Ketiga, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi pada 4 Mei 2021 dalam perkara No 70/PUUXVII/2019 menyatakan: "Mahkamah perlu menegaskan bahwa dengan adanya pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN sebagaimana telah ditentukan mekanismenya sesuai dengan maksud adanya Ketentuan Peralihan UU 19/2019 maka dalam pengalihan tersebut tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN dengan alasan apapun di luar desain yang telah ditentukan tersebut. Sebab, para pegawai KPK selama ini telah mengabdi di KPK dan dedikasinya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi tidak diragukan.".

Konsekuensi hukum dari putusan tersebut adalah (1) desain pengalihan status pegawai KPK adalah menjadi ASN, (2) pengalihan status tersebut tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN, (3) tidak ada alasan apapun yang dapat dibenarkan jika terdapat tindakan atau keputusan yang merugikan pegawai KPK sehingga tidak dapat beralih menjadi pegawai ASN, (4) Pengabdian dan dedikasi para pegawai KPK selama ini harus diyakini sebagai kenyataan hukum yang tidak terbantahkan,.

Apalagi butir kedua SK 652 memerintahkan kepada pegawai yang diyatakan tidak lulus asesmen kebangsaan untuk menyerahkan tugas dan tanggungjawab secara paksa dan dalam waktu singkat kepada atasan merupakan prosedur penjatuhan hukuman yang umumnya dikenakan terhadap pegawai yang melakukan pelanggaran disiplin dan etik.

"Perlakuan terhadap pegawai yang tidak lulus jelas tidak dapat dipersamakan dengan pegawai yang melakukan pelanggaran hukum maupun etik, apalagi mengingat Pimpinan sampai saat ini belum dapat menentukan kebijakan apa yang akan dilakukan terhadap mereka dinyatakan tidak lulus sebagaimana disebutkan dalam butir kedua SK 652, dengan demikian ketentuan butir kedua SK 652 tidak berdasarkan hukum dan kepatutan," demikian surat tersebut.