Jakarta (ANTARA News) - Kesetaraan. Sepotong kata itu laiknya mantra yang mengiringi sepak terjang seorang Dino Patti Djalal dalam ranah politik luar negeri.
Diplomat karir kelahiran 10 September 1965 itu menilai sudah waktunya satu babak sejarah dunia yang menempatkan Indonesia satu tingkat di bawah sejumlah negara tertentu dalam tataran global ditutup.
Di temui seusai ditasbihkan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Amerika Serikat yang berkedudukan di Washington, Dino menegaskan komitmen kuatnya untuk membawa Indonesia dalam hubungan kerjasama yang bernafaskan kesetaraan dengan negara adidaya itu.
"Inilah yang saya akan jaga, bagaimana menjalin hubungan dengan Amerika Serikat atas dasar kesetaraan dan juga melihat ke depan. Tidak selalu dirundung trauma masa lalu, yang penting hubungan yang berdasarkan pada kepentingan nasional dan juga bermanfaat bagi rakyat kita," kata mantan juru bicara kepresidenan bidang luar negeri itu.
Mewujudkan suatu hubungan yang setara dengan salah satu negara kuat di dunia itu tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan, tapi Dino mengaku memiliki kiat tersendiri. Ia menegaskan bahwa cita-citanya itu bukan mimpi.
"Yang paling penting menurut saya, adalah bagaimana merealisasikan (kesepakatan) `comprehensive partnership`, (karena) Kita harus mempunyai hubungan konstruktif dengan negara-negara besar, termasuk Amerika Serikat," kata ayah tiga anak itu.
Di tengah hiruk pikuk acara pelantikan 24 Duta Besar LBBP RI untuk sejumlah negara sahabat oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara, Selasa (10/8), dengan penuh percaya diri Dino menuturkan komitmennya untuk memberi warna baru dalam hubungan Indonesia-Amerika Serikat.
Ia menilai, sikap percaya diri adalah suatu keharusan karena saat ini politik luar negeri Indonesia telah memasuki era baru dengan masuknya Indonesia dalam G-20 --kelompok 20 negara ekonomi berpengaruh di dunia.
"Kita bukan sebagai penonton di luar, tapi sebagai aktor dalam suatu forum utama ekonomi dunia. Dan kita sekarang bukan hanya dunia ketiga tapi sudah menjadi ekonomi baru. Dan kita perlu untuk menjaga keunggulan bangsa kita di abad 21," tegasnya.
Sambil sesekali menyelipkan istilah dalam bahasa Inggris dalam percakapan, Dino mengatakan akan mendorong kerjasama di bidang pendidikan dan pariwisata, selain upaya menarik investor.
"Jumlah mahasiswa Indonesia di AS dulu 14.000 sewaktu saya sekolah di sana, sekarang sudah menurun menjadi 7.000. Padahal sumber dayanya makin banyak, dan orang China dan India yang belajar di Amerika juga makin banyak. Jadi itu yang akan saya kejar, hubungan pendidikan, IPTEK," katanya.
Orang Dekat Presiden
Anak dari diplomat dan pakar hukum laut internasional Hasjim Djalal tersebut tercatat sebagai juru bicara kepresidenan terlama dalam sejarah modern. Sejak era kuartet Wimar Witoelar, Adhie Massardi, Yahya C Staquf dan Wahyu Muryadi di masa pemerintah Presiden Abdurrahman Wahid, belum ada juru bicara kepresidenan yang menjabat hingga enam tahun lamanya sebagaimana Dino.
"Sewaktu saya ditarik Presiden tahun 2004, mungkin saya merasa hanya setahun dua tahun, atau tiga tahun, tapi kemudian jadi enam tahun. Kemarin saya mendapat penghargaan MURI sebagai juru bicara presiden terlama di sejarah Indonesia," tuturnya sambil tersenyum.
Enam tahun menjadi salah satu orang terdekat Presiden ternyata memberi banyak kenangan dan pelajaran bagi Dino, yang mengaku bahwa karirnya sebagai juru bicara kepresidenan merupakan hal yang paling spesial sepanjang karir dan hidupnya.
Menurutnya, adalah suatu kehormatan menjadi bagian dari salah satu era terpenting dalam sejarah modern Indonesia dan bekerja di bawah bimbingan Presiden Yudhoyono.
Ia menilai Presiden Yudhoyono adalah seorang presiden yang memberikan perhatian besar bagi masalah politik luar negeri.
"Dan karena itulah memang saya beruntung bisa turut berpartisipasi mengembangkan apa yang dinamakan beliau, `all directions foreign policy dan million friends and zero enemy`," katanya.
Ayah dari Alexa, Keanu dan Chloe itu juga mengaku bahwa Presiden Yudhoyono akan selalu menjadi mentornya, sekalipun saat ini ia tidak lagi menjabat sebagai juru bicara kepresidenan.
"Tentu Pak Presiden Yudhoyono selalu menjadi mentor saya kemana pun saya pergi," ujarnya.
Ia mengatakan akan tetap menjaga hubungan kekeluargaan dan profesional dengan presiden.
"Beliau sudah bilang, Din, kemana pun kamu pergi, kamu hanya satu email jaraknya dari saya," katanya merujuk perkataan Presiden.
Bukan Orang Baru
Dalam jajaran diplomat Indonesia, Dino bukan orang luar. Dia telah bergabung dengan Kementerian Luar Negeri di Pejambon sejak 1987 dan termasuk dalam barisan diplomat muda Indonesia dengan catatan prestasi yang menonjol.
Tahun-tahun awal karir Dino sebagai asisten Direktur Jenderal untuk Urusan Politik Wiryono Sastrohandoyo, membuat dia terlibat dalam penyelesaian konflik Kamboja, konflik Moro di Filipina, sengketa Laut China Selatan, dan konflik Timor Timur. Sebelum menjabat sebagai juru bicara kepresidenan dia adalah Direktur Urusan Amerika Utara (2002-2004).
Di tingkat internasional nama Dino pertama kali muncul saat bertugas sebagai juru bicara Satuan Tugas untuk Pelaksanaan Jajak Pendapat di Timor Timur pada 1999.
Dia juga bertugas sebagai penghubung informal antara Menteri Luar Negeri Ali Alatas dan pemimpin perlawanan Kay Rala Xanana Gusmao. Dalam laman pribadinya, Dino menyebut Jose Ramos Horta dan Xanana Gusmao sebagai teman baik.
Pada 2001, Dino bersama dengan Robert Scher dari Pentagon adalah penggagas dari "US-Indonesia Security Dialog", konsultasi bilateral tahunan untuk masalah-masalah keamanan dan pertahanan.
Kemudian setelah menjadi juru bicara kepresidenan, Dino merupakan salah satu penggagas "Kehutanan-11" --proses konsultatif yang melibatkan negara hutan hujan tropis di Asia, Afrika dan Amerika Latin--, "Global Inter-Media Dialog" --proses yang disponsori Indonesia dan Norwegia untuk mempromosikan kebebasan pers serta toleransi agama dan budaya--, dan "Presiden Visitor`s Program" --sebuah program tahunan untuk mengundang "Friends of Indonesia" dari seluruh dunia untuk mengunjungi Indonesia selama waktu perayaan kemerdekaan pada pertengahan Agustus.
Sebagai salah satu tokoh muda, ia dikenal memiliki pandangan terbuka. Pidato-pidatonya acap kali mengambil tema nasionalisme dan internasionalisme. Ia juga aktif menyeru generasi muda untuk menghindari dogmatisme kaku, warisan pendidikan intelektual di masa lalu.
Namun apabila melihat perjalanan Dino menuntut ilmu, kiranya tidak heran jika diplomat tersebut berpola pikir internasionalisme karena semenjak lepas sekolah menengah pertama, Dino menghabiskan waktunya menuntut ilmu di Amerika Serikat, Kanada dan Inggris.
Akan tetapi, hal itu tidak berarti mengikis nasionalismenya. Menurut Dino, nasionalisme (yang sehat) adalah satu hal yang tidak dapat dipisahkan dari dirinya. Ia menyebut pengalamannya dilahirkan di negara yang sekarang tidak lagi ada --Beograd, Yugoslavia-- selalu mengingatkan dia tentang pentingnya mempertahankan persatuan nasional untuk multi-budaya Indonesia.
Jejak pencapaian Dino dalam sejarah politik luar negeri Indonesia bukan tak sedikit, namun sebuah pengakuan akan kembali disematkan ke dadanya apabila ayah tiga anak itu berhasil membuat Presiden AS Barack Obama --yang telah tiga kali menunda kedatangannya-- sungguh menepati janji untuk ke Indonesia dan mendeklarasikan "Kemitraan Komprehensif Indonesia-AS".(*)
G003/T010
Tentang Dino Patti Djalal
12 Agustus 2010 11:23 WIB
Dino Patti Djalal (ANTARA)
Oleh Gusti Nc Aryani
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010
Tags: