Jakarta (ANTARA News) - Lebih dari empat dasawarsa Perhimpunan Negara-Negara Asia Tenggara (ASEAN) memayungi negara-negara di Asia Tenggara. Pekan ini, organisasi itu telah memasuki usia 43 tahun.

Sejauh ini ASEAN tampaknya tetap berusaha untuk bertahan menjawab semua tantangan perubahan jaman dengan segala hiruk pikuk ancaman krisis yang mengintai.

Pertemuan puncak tingkat kepala negara makin sering digelar guna membahas isu-isu penting dan mendesak.

Dua tahun terakhir --tepatnya semenjak disepakati bersama Piagam ASEAN untuk menjadi aturan hukum mengikat 10 negara Asia Tenggara-- ASEAN bahkan terlihat cukup bersemangat untuk mengukuhkan perannya sebagai "penguasa" kawasan dengan aktif merangkul mitranya dari berbagai belahan dunia.

Hal itu ditandai dengan penetapan duta besar khusus untuk ASEAN oleh negara-negara mitra ASEAN, antara lain 27 negara Uni Eropa, dan negara-negara anggota ASEAN+3, dan Forum Kawasan ASEAN (ARF).

Dan tidak tanggung-tanggung, setelah sempat bersikeras untuk menolak Rusia dan Amerika Serikat bergabung dan "East Asia Summit" (EAS) beberapa tahun lalu, kali ini ASEAN juga terlihat cukup bersemangat untuk menjungkirbalikkan keputusan lamanya.

Di Hanoi, Vietnam, Juli lalu, para menteri luar negeri ASEAN terlihat menunjukkan sinyal positif atas masuknya dua negara kekuatan dunia itu dalam EAS.

Terhadap fenomena itu, Sekretaris Jenderal ASEAN Surin Pitsuwan menilainya sebagai kembalinya sentralitas ASEAN. "Dunia telah kembali ke ASEAN," kata Surin seusai pertemuan ke-43 tingkat menteri ASEAN di Hanoi, bulan lalu.

Menurut dia, ASEAN, kawasan dan masyarakat global telah kembali kepada (forum) ASEAN untuk berbagi pandangan, konsultasi serta membahas isu-isu yang menjadi perhatian bersama, agenda nasional dan agenda global.

Minat Amerika Serikat dan Rusia itu dinilai sebagai peningkatkan kapasitas kawasan Asia Tenggara untuk menarik perhatian dari kekuatan-kekuatan besar dunia.

Pernyataan Surin tersebut tidak berlebihan apabila melihat sejumlah agenda mendesak internasional yang melibatkan kawasan ini, sebut saja ketegangan baru di Semenanjung Korea pascainsiden tenggelamnya kapal perang Korea Selatan, isu nuklir Korea Utara yang belum usai, janji demokrasi Myanmar dan upaya kawasan ini mengejar target Tujuan Pembangunan Milenium (MDG`s).

Apabila mengingat banyaknya perbedaan dan potensi konflik di kawasan, keberhasilan ASEAN untuk tetap menjaga harmonisasi di antara anggotanya --Indonesia, Filipina, Thailand, Malaysia, Singapura, Brunei, yang kemudian disusul dengan Kamboja, Laos, Vietnam dan Myanmar-- cukup mengagumkan.

Setidaknya dalam empat dasawarsa terakhir tidak muncul suatu konflik terbuka yang menyumbang permasalahan baru bagi dunia internasional, seperti sejumlah kawasan lain di dunia yang cukup rawan konflik.

Walaupun apabila berbicara masalah perlindungan hak asasi manusia, tak banyak yang dapat dibanggakan oleh 10 negara ASEAN, selain terbentuknya suatu Badan HAM antarpemerintah ASEAN yang lebih berfungsi sebagai organisasi promosi HAM daripada proteksi.

Mungkin itulah sebabnya Indonesia, salah satu pendiri ASEAN merasa perlu menegaskan komitmennya bagi satu-satunya organisasi kawasan yang menaungi seluruh Asia Tenggara itu.

Seiring peran Indonesia yang meningkat dalam forum kelompok G20, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan, Indonesia tidak akan pernah meninggalkan ASEAN.

"Memang saya mendengar kekhawatiran kalau-kalau Indonesia sudah punya klub baru, rumah baru, yaitu G20, lantas tidak lagi menjadikan ASEAN sebagai rumah utamanya," kata Presiden.

Sebagai salah satu negara pendiri ASEAN, Presiden menjelaskan, Indonesia tetap akan berperan aktif dan menjadi bagian penting dari ASEAN, terutama untuk mewujudkan cita-cita Komunitas ASEAN pada 2015.

Disparitas Internal

Ketika lima tokoh negara Asia Tenggara --Adam Malik (Indonesia), Sinnathamby Rajaratnam (Singapura), Tun Abdul Razak (Malaysia), Thanat Khoman (Thailand) dan Narcisco Ramos (Filipina)-- berkumpul di Bangkok 43 tahun lalu, mereka memimpikan suatu kawasan yang makmur, aman dan sejahtera.

Mimpi itu pula yang kemudian mereka tawarkan kepada lima negara yang tersisa di kawasan --Brunei, Laos, Vietnam, Kamboja dan Myanmar-- negara-negara yang terbilang relatif lebih "tertinggal" dibanding lima yang lain dalam hal kehidupan politik, sosial maupun ekonomi saat mulai bergabung pertama kali, kecuali Brunei.

Keputusan berani ASEAN untuk menggandeng anggota-anggota baru itu tampaknya menggarisbawahi betapa kuatnya keperluan untuk menyatukan seluruh Asia Tenggara dalam satu payung guna menghindari konflik terbuka.

Suatu keputusan yang lebih bernuansa politik keamanan daripada ekonomi.

Dan terbukti selama beberapa dasawarsa kemudian ASEAN terlihat lebih fokus pada upaya menjaga stabilitas keamanan dan politik di kawasan.

Disparitas ekonomi yang cukup besar antar masing-masing anggota juga membuat upaya-upaya bersama untuk mendorong integrasi ekonomi ASEAN tidak berlangsung secepat yang diharapkan.

Perdagangan internal ASEAN juga relatif tidak besar apalagi jika dibandingkan dengan kegiatan ekonomi yang dilakukan ASEAN dengan sejumlah negara lain di dunia.

Laporan Forum Ekonomi Dunia menyebutkan jika ekspor intra ASEAN dalam satu dasawarsa terakhir hanya meningkat empat persen, dari 19 menjadi 23 persen.

Selain disparitas ekonomi, diantara 10 negara ASEAN juga terdapat perbedaan mencolok dibidang demokrasi dan pengakuan atas hak asasi manusia.

Namun, seiring waktu berjalan 10 negara Asia Tenggara menyepakati berbagai komitmen untuk mempersempit kesenjangan guna mewujudkan suatu masyarakat tunggal ASEAN.

Suatu cita-cita yang menanti mewujud pada 2015, tepat di usia ASEAN yang ke-48.

Lebih empat dasawarsa berlalu dan ASEAN sejauh ini terbukti mampu bertahan. Dan boleh jadi makin percaya diri dengan peran dan tempatnya di tataran global seraya memastikan mencapai cita-cita kemakmuran rakyatnya.

(G003/T010/S026)