Bandung (ANTARA News) - Sidang hari ketiga "6th Annuar Meeting IDB-Self Reliance in Vaccine Production (SRVP) Program" di Bandung, Minggu, mengkritisi regulasi prakualifikasi (PQ) WHO yang menjadi kendala bagi produsen vaksin negara-negara berkembang.

Delegasi dari Iran, Keivan Sokhrae mendesak agar WHO memfasilitasi percepatan prakualifikasi produk vaksin negara-negara berkembang yang saat ini sulit mendapatkan pengakuan produk dari lembaga kesehatan dunia itu.

Menurut Keivan, meski produk vaksin negaranya belum mendapatkan prakualifikasi WHO, namun pihaknya terus melakukan produksi untuk memenuhi kebutuhan vaksin negara itu dan juga negara kawasannya.

"Produksi vaksin kami dilakukan dengan baik dan mampu melindungi masyarakat, itu sudah bagus. Namun kami berharap WHO lebih mendukung program kemandirian itu melalui prakualifikasi produk vaksin negara berkembang," kata delegasi Iran itu.

Sementara itu Dr. Houda Langar, Regional Advisor Essential Vaccine Biological Policies WHO-EMRO menyatakan, prakualifikasi mutlak dilakukan melalui tahapan yang ada. WHO tidak bisa melakukan hal di luar prosedur baku dalam penetapan prakualifikasi produk vaksin.

"WHO memiliki prosedur dan tahapan yang harus diikuti oleh siapapun negara dan produsen vaksin dalam mendapatkan prakualifikasi," kata Houda Langar.

Houda Langar terlibat debat dengan Keivan dan beberapa anggota delegasi lainnya terkait proses prakualifikasi bagi produk vaksin negara-negara berkembang khususnya negara-negara Islam.

Namun di lain pihak disebutkan, WHO saat ini tengah mengumpulkan masukan dari negara-negara dan produsen vaksin di dunia, termasuk dari dunia Islam untuk melakukan revisi regulasi terkait prosedur dan pengajuan proposal prakualifikasi produk vaksin.

"WHO sama sekali tidak mempersulit proses prakualifikasi, namun ada tahapan yang harus diikuti dan ada beberapa kendala terutama terkait `good manufacturing practise` (GMP). Standar MGP dari tahun ke tahun semakin tinggi sehingga sulit diikuti oleh negara berkembang," kata Direktur Produksi PT Bio Farma Mahendra Suhardono yang juga menyampaikan presentasinya pada pertemuan itu.

Menurut Mahendra, adanya rencana WHO melakukan revisi prosedur dan persyaratan minimal GMP merupakan angin segar bagi produsen vaksin di negara berkembang terutama di negara-negara Islam.

"Pertemuan di Bandung ini salah satunya untuk mendorong resolusi sekaligus usulan dalam proses rencana revisi regulasi WHO terkait standar prakualifikasi vaksin," kata Mahendra.

Ia mengakui, perlu adanya standar GMP minimal yang diprasyaratkan untuk prakualifikasi produk vaksin. Sehingga bisa dicapai oleh produsen vaksin di negara-negara berkembang.

Mahendra menyatakan bahwa GMP yang dibuat oleh WHO semata-mata untuk melindungi keselamatan pasien. Ia membantah anggapan bahwa WHO mendapat tekanan dari dunia Barat sehingga tidak mudah dalam membuat pengakuan atas produk vaksin dari dunia Islam.

"Bukan tekanan, saya tidak melihatnya dari sana. Kita bicara standar saja," katanya.

Mahendra menyebutkan dari 23 negara Islam penghasil vaksin hanya Bio Farma dari Indonesia yang produknya telah memenuhi standar dari WHO, dan Indonesia merupakan salah satu dari sedikit negara berkembang yang mendapat pengakuan dari WHO atas produk vaksinnya.(*)
(S033/Z003/R009)