"Orang-orang yang sudah mendapat dosis pertama akan mengalami kesulitan jika mereka tidak menerima dosis kedua dalam waktu yang ditentukan," kata Samir Adhikari, pejabat senior Kementerian Kesehatan dan Kependudukan Nepal di Ibu Kota Kathmandu.
Pada Senin (3/5), Perdana Menteri K.P. Sharma Oli mendesak donor asing untuk memasok vaksin dan obat-obatan perawatan kritis untuk mencegah runtuhnya infrastruktur kesehatan negara kecil itu.
Nepal, terjepit di antara China dan India, telah melakukan vaksinasi pada lebih dari dua juta orang dengan vaksin AstraZeneca, yang disediakan oleh India dan Sinopharm China.
Namun, pihak berwenang terpaksa menghentikan program vaksinasi pada April setelah negara itu gagal mendapatkan pengiriman baru vaksin dari India dan China.
"Saya ingin meminta tetangga kami, negara sahabat dan organisasi internasional untuk membantu kami dengan vaksin dan obat-obatan perawatan kritis untuk mendukung upaya berkelanjutan untuk memerangi pandemi," kata PM Oli dalam pidato yang disiarkan televisi.
Oli mengatakan para pejabat telah menghubungi China dan Rusia serta produsen lain untuk segera mengamankan vaksin.
Oli, yang telah dikritik karena tidak berbuat banyak untuk mengatasi pandemi, mengatakan vaksin dan obat-obatan perawatan kritis adalah "barang global" dan setiap orang harus memiliki akses.
Pada Senin, kasus COVID-19 Nepal meningkat 7.388 dan kematian sebanyak 37, lonjakan tertinggi dalam 24 jam sejak pandemi dimulai.
Nepal sejauh ini telah mencatat total 343.418 kasus dan 3.362 kematian akibat COVID, menurut data resmi.
Kerabat yang menangis memberikan penghormatan terakhir kepada orang-orang yang mereka cintai saat pekerja krematorium mengangkat jenazah-jenazah untuk kremasi di udara terbuka di tepi Sungai Bagmati dekat Kuil Pashupatinath, kuil Hindu terbesar di Kathmandu.
Sumber: Reuters
Baca juga: Nepal mulai laksanakan vaksinasi COVID-19 atas sumbangan India
Baca juga: Nepal setujui penggunaan darurat vaksin COVID AstraZeneca
Baca juga: Nepal akan gratiskan tes dan perawatan COVID-19 saat kasus melonjak