Investasi sektor pertanian dinilai bisa dorong ketahanan pangan
30 April 2021 20:35 WIB
Dokumentasi. Petani memanen padi di Rajeg, Kabupaten Tangerang, Banten, Senin (13/4/2020). Center for Indonesia Policy Studies (CIPS) memperkirakan produksi pertanian akan turun 1,64 hingga 6,2 persen akibat terganggunya rantai pasokan seiring adanya pengurangan aktivitas sosial akibat wabah COVID-19. ANTARA FOTO/Fauzan/hp. (ANTARA FOTO/FAUZAN)
Jakarta (ANTARA) - Peningkatan investasi di sektor pertanian, terutama melalui penanaman modal asing (PMA), dinilai perlu untuk mendorong perbaikan ketahanan pangan di Indonesia, demikian penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS).
“PMA di sektor pertanian penting karena bisa membawa teknologi baru, kapasitas manajerial, dan pengetahuan serta koneksi ke pasar global. Mengatasi tantangan untuk menyediakan pangan berkualitas tinggi yang terjangkau membutuhkan komitmen akan keterbukaan perdagangan dan niat untuk melakukan perubahan kebijakan untuk meningkatkan iklim investasi di sektor pertanian Indonesia,” kata Associate Researcher CIPS Donny Pasaribu dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Jumat.
Posisi Indonesia dalam Indeks Ketahanan Pangan Global 2020 (Global Food Security Index 2020) turun dari posisi 62 ke posisi 65, dari total 113 negara. Indonesia berada di posisi ke-55 pada indikator keterjangkauan, ke-34 pada kategori ketersediaan serta posisi ke-89 pada kategori kualitas dan keamanan jauh tertinggal dari Singapura, Malaysia, Thailand dan Vietnam.
Hingga saat ini, realisasi PMA di sektor pertanian hanya 3 persen sampai 7 persen dari total realisasi PMA antara 2015 dan 2019, data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) 2020 memperlihatkan.
Hingga tahun 2020, peraturan membatasi kepemilikan asing di sektor hortikultura, salah satu sektor yang paling tertutup, hanya sampai 30 persen dan secara tegas membatasi jumlah tenaga kerja asing yang diizinkan dalam sebuah perusahaan milik asing. Kondisi tersebut berubah dengan implementasi UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan peraturan pelaksanaannya yang menghapuskan batas kepemilikan asing pada sektor ini.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS, 2020), inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) pangan Indonesia antara Januari 2010 dan Desember 2019 yaitu sebesar 258%. Angka inflasi pangan di Malaysia dan Singapura pada periode yang sama adalah 38 persen dan 24 persen.
Indeks Bulanan Rumah Tangga (Bu RT) yang diterbitkan CIPS memperlihatkan bahwa harga domestik rata-rata untuk ayam, bawang merah dan bawang putih pada November 2020 adalah 34 persen, 138 persen dan 68 persen lebih tinggi daripada di Malaysia.
Ketimpangan harga pangan antara Indonesia dengan Malaysia dan Singapura ini mengindikasikan kesejahteraan konsumen pangan di Indonesia relatif tidak sebaik konsumen di negara tetangga tersebut.
Donny menambahkan, masalah kejelasan kepemilikan lahan, terutama di pedesaan, serta potensi konflik agraria antara warga setempat dan investor, merupakan risiko investasi yang signifikan bagi investor dan mempengaruhi keengganan mereka menanamkan dana di hulu sektor pertanian Indonesia.
Selain itu, meningkatkan daya tarik investasi pada sektor ini dapat juga dilakukan dengan memperbaiki dan menyediakan infrastruktur yang memadai, termasuk jalan raya, pelabuhan, dan akses listrik di luar Pulau Jawa.
Lahan berskala besar untuk usaha pertanian hanya tersedia di luar Pulau Jawa, dimana infrastruktur masih sangat kurang. Beberapa investor memang bersedia untuk membangun sendiri infrastruktur yang dibutuhkan untuk mendukung usaha mereka, namun margin yang tidak terlalu besar pada budidaya kebanyakan tanaman pangan biasanya berujung kepada keputusan untuk akhirnya tidak berinvestasi di sektor ini.
Baca juga: CIPS: Masalah lahan dan birokrasi hambat investasi pertanian
Baca juga: BKPM: Investasi asing di sektor pertanian didominasi perkebunan sawit
Baca juga: CIPS: Lahan hingga dominasi BUMN hambat masuknya investasi pertanian
“PMA di sektor pertanian penting karena bisa membawa teknologi baru, kapasitas manajerial, dan pengetahuan serta koneksi ke pasar global. Mengatasi tantangan untuk menyediakan pangan berkualitas tinggi yang terjangkau membutuhkan komitmen akan keterbukaan perdagangan dan niat untuk melakukan perubahan kebijakan untuk meningkatkan iklim investasi di sektor pertanian Indonesia,” kata Associate Researcher CIPS Donny Pasaribu dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Jumat.
Posisi Indonesia dalam Indeks Ketahanan Pangan Global 2020 (Global Food Security Index 2020) turun dari posisi 62 ke posisi 65, dari total 113 negara. Indonesia berada di posisi ke-55 pada indikator keterjangkauan, ke-34 pada kategori ketersediaan serta posisi ke-89 pada kategori kualitas dan keamanan jauh tertinggal dari Singapura, Malaysia, Thailand dan Vietnam.
Hingga saat ini, realisasi PMA di sektor pertanian hanya 3 persen sampai 7 persen dari total realisasi PMA antara 2015 dan 2019, data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) 2020 memperlihatkan.
Hingga tahun 2020, peraturan membatasi kepemilikan asing di sektor hortikultura, salah satu sektor yang paling tertutup, hanya sampai 30 persen dan secara tegas membatasi jumlah tenaga kerja asing yang diizinkan dalam sebuah perusahaan milik asing. Kondisi tersebut berubah dengan implementasi UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan peraturan pelaksanaannya yang menghapuskan batas kepemilikan asing pada sektor ini.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS, 2020), inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) pangan Indonesia antara Januari 2010 dan Desember 2019 yaitu sebesar 258%. Angka inflasi pangan di Malaysia dan Singapura pada periode yang sama adalah 38 persen dan 24 persen.
Indeks Bulanan Rumah Tangga (Bu RT) yang diterbitkan CIPS memperlihatkan bahwa harga domestik rata-rata untuk ayam, bawang merah dan bawang putih pada November 2020 adalah 34 persen, 138 persen dan 68 persen lebih tinggi daripada di Malaysia.
Ketimpangan harga pangan antara Indonesia dengan Malaysia dan Singapura ini mengindikasikan kesejahteraan konsumen pangan di Indonesia relatif tidak sebaik konsumen di negara tetangga tersebut.
Donny menambahkan, masalah kejelasan kepemilikan lahan, terutama di pedesaan, serta potensi konflik agraria antara warga setempat dan investor, merupakan risiko investasi yang signifikan bagi investor dan mempengaruhi keengganan mereka menanamkan dana di hulu sektor pertanian Indonesia.
Selain itu, meningkatkan daya tarik investasi pada sektor ini dapat juga dilakukan dengan memperbaiki dan menyediakan infrastruktur yang memadai, termasuk jalan raya, pelabuhan, dan akses listrik di luar Pulau Jawa.
Lahan berskala besar untuk usaha pertanian hanya tersedia di luar Pulau Jawa, dimana infrastruktur masih sangat kurang. Beberapa investor memang bersedia untuk membangun sendiri infrastruktur yang dibutuhkan untuk mendukung usaha mereka, namun margin yang tidak terlalu besar pada budidaya kebanyakan tanaman pangan biasanya berujung kepada keputusan untuk akhirnya tidak berinvestasi di sektor ini.
Baca juga: CIPS: Masalah lahan dan birokrasi hambat investasi pertanian
Baca juga: BKPM: Investasi asing di sektor pertanian didominasi perkebunan sawit
Baca juga: CIPS: Lahan hingga dominasi BUMN hambat masuknya investasi pertanian
Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2021
Tags: