CIPS: Masalah lahan dan birokrasi hambat investasi pertanian
30 April 2021 20:20 WIB
Seorang operator mengoperasikan mesin panen padi kombinasi di area persawahan Kabila, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, Senin (26/4/2021). ANTARA FOTO/Adiwinata Solihin/hp.
Jakarta (ANTARA) - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai permasalahan lahan, birokrasi, dan infrastruktur, yang belum memadai menjadi penghambat masuknya investasi sektor pertanian di Indonesia.
Associate Researcher CIPS Donny Pasaribu dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat, mengatakan reformasi secara meluas diperlukan untuk membereskan berbagai hambatan masuknya investasi swasta ke sektor hulu pertanian itu.
Selain permasalahan lahan, penelitian CIPS menemukan perlunya perbaikan dan ketersediaan infrastruktur, termasuk jalan, pelabuhan, dan listrik di luar Pulau Jawa, yang masih tersedia lahan berskala besar untuk sektor pertanian.
Donny menyebutkan meskipun beberapa investor bersedia untuk membangun infrastruktur yang dibutuhkan, namun margin keuntungan yang tidak terlalu besar dari hasil panen tanaman pangan tidak bisa membenarkan investasi tersebut.
Menurutnya, reformasi yang lebih luas di luar permasalahan lahan dan infrastruktur, termasuk yang berkaitan dengan keterbukaan perdagangan dan peran BUMN dalam mencapai tujuan swasembada, juga diperlukan untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif di sektor pertanian.
Dengan mengutamakan BUMN untuk mencapai swasembada, pemerintah sebenarnya mendorong realokasi pendanaan dan sumber daya ke subsektor yang kurang produktif dan mahal atau mungkin kurang relevan. Risiko politik terkait investasi di sektor pertanian juga membuat investor takut menanamkan dananya di bidang ini.
"Perdagangan terbuka dapat menjadi solusi, tidak hanya akan membuat pangan lebih terjangkau, tetapi juga akan memperbaiki dampak gangguan kebijakan terdahulu di sektor ini. Hal ini akan membuat petani dan investor bisa mengalokasikan sumber dayanya sejalan dengan tujuan keuntungan dan peningkatan produktivitas mereka," jelas Donny.
Donny mengatakan pemerintah sebenarnya sudah merespons urgensi reformasi kebijakan melalui deregulasi lewat UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Namun, masih dibutuhkan sejumlah penyesuaian pada peraturan turunan dan teknis untuk mengatasi rumitnya proses serta persyaratan untuk mendapatkan izin investasi, serta transparansi dan konsistensi pelaksanaan kebijakan.
Menurut Donny, kapasitas kelembagaan terutama bagi kementerian dan lembaga pemerintah yang terkait perdagangan dan investasi sektor pertanian serta pemerintah daerah, juga perlu ditingkatkan agar lebih siap mengakomodasi penanaman modal asing (PMA).
Upaya memangkas birokrasi, seperti yang diukur melalui peringkat Indonesia dalam indeks kemudahan berbisnis Bank Dunia (ease of doing business index), juga tetap perlu terus dilanjutkan.
Pada 2020, Indonesia menduduki peringkat 72 dari 190 dalam EoDB Bank Dunia. Namun pada indikator lainnya, peringkat Indonesia tidak terlalu baik.
Indonesia berada di peringkat 146 dalam hal pelaksanaan kontrak, peringkat 139 dalam hal pembukaan usaha, peringkat 117 dalam hal perdagangan lintas negara, peringkat 111 dalam hal penanganan izin konstruksi, dan peringkat 107 dalam hal pendaftaran properti.
Baca juga: Kemenperin rancang aturan pedoman wasdal untuk kepastian usaha
Baca juga: Dunia usaha harap Kementerian Investasi beri kelancaran perizinan
Baca juga: KPK ingatkan pelaku usaha faktor internal-eksternal terjadinya korupsi
Associate Researcher CIPS Donny Pasaribu dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat, mengatakan reformasi secara meluas diperlukan untuk membereskan berbagai hambatan masuknya investasi swasta ke sektor hulu pertanian itu.
Selain permasalahan lahan, penelitian CIPS menemukan perlunya perbaikan dan ketersediaan infrastruktur, termasuk jalan, pelabuhan, dan listrik di luar Pulau Jawa, yang masih tersedia lahan berskala besar untuk sektor pertanian.
Donny menyebutkan meskipun beberapa investor bersedia untuk membangun infrastruktur yang dibutuhkan, namun margin keuntungan yang tidak terlalu besar dari hasil panen tanaman pangan tidak bisa membenarkan investasi tersebut.
Menurutnya, reformasi yang lebih luas di luar permasalahan lahan dan infrastruktur, termasuk yang berkaitan dengan keterbukaan perdagangan dan peran BUMN dalam mencapai tujuan swasembada, juga diperlukan untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif di sektor pertanian.
Dengan mengutamakan BUMN untuk mencapai swasembada, pemerintah sebenarnya mendorong realokasi pendanaan dan sumber daya ke subsektor yang kurang produktif dan mahal atau mungkin kurang relevan. Risiko politik terkait investasi di sektor pertanian juga membuat investor takut menanamkan dananya di bidang ini.
"Perdagangan terbuka dapat menjadi solusi, tidak hanya akan membuat pangan lebih terjangkau, tetapi juga akan memperbaiki dampak gangguan kebijakan terdahulu di sektor ini. Hal ini akan membuat petani dan investor bisa mengalokasikan sumber dayanya sejalan dengan tujuan keuntungan dan peningkatan produktivitas mereka," jelas Donny.
Donny mengatakan pemerintah sebenarnya sudah merespons urgensi reformasi kebijakan melalui deregulasi lewat UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Namun, masih dibutuhkan sejumlah penyesuaian pada peraturan turunan dan teknis untuk mengatasi rumitnya proses serta persyaratan untuk mendapatkan izin investasi, serta transparansi dan konsistensi pelaksanaan kebijakan.
Menurut Donny, kapasitas kelembagaan terutama bagi kementerian dan lembaga pemerintah yang terkait perdagangan dan investasi sektor pertanian serta pemerintah daerah, juga perlu ditingkatkan agar lebih siap mengakomodasi penanaman modal asing (PMA).
Upaya memangkas birokrasi, seperti yang diukur melalui peringkat Indonesia dalam indeks kemudahan berbisnis Bank Dunia (ease of doing business index), juga tetap perlu terus dilanjutkan.
Pada 2020, Indonesia menduduki peringkat 72 dari 190 dalam EoDB Bank Dunia. Namun pada indikator lainnya, peringkat Indonesia tidak terlalu baik.
Indonesia berada di peringkat 146 dalam hal pelaksanaan kontrak, peringkat 139 dalam hal pembukaan usaha, peringkat 117 dalam hal perdagangan lintas negara, peringkat 111 dalam hal penanganan izin konstruksi, dan peringkat 107 dalam hal pendaftaran properti.
Baca juga: Kemenperin rancang aturan pedoman wasdal untuk kepastian usaha
Baca juga: Dunia usaha harap Kementerian Investasi beri kelancaran perizinan
Baca juga: KPK ingatkan pelaku usaha faktor internal-eksternal terjadinya korupsi
Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2021
Tags: