Laporan dari London
Indonesia berpeluang menjadi pemain kunci ekonomi halal dunia
29 April 2021 14:30 WIB
Umar Hadi, Duta Besar RI untuk Belgia, Luksemburg, dan Uni Eropa dalam acara pengajian virtual dengan KPMI Belgia pada Minggu, 25 April 2021. (ANTARA/Munawir Aziz)
Belgia (ANTARA) - Indonesia memiliki peluang untuk menjadi pemain penting dalam bisnis dan industri halal di tingkat dunia sehingga hendaknya pemerintah Indonesia lebih aktif untuk mendorong kebijakan nasional terkait ekonomi halal.
“Pemerintah Indonesia harus sangat aktif, ini peluang yang sangat luar biasa,” kata Ayang Utriza Yakin, Ph.D, dosen tamu di Universitas Ghent dan peneliti di Université Catholique de Louvain, Belgia, dan Sciences-Po Bordeaux, Prancis kepada ANTARA, Rabu (28/04).
Menurut Ayang, pemerintah Indonesia harus menyiapkan berbagai strategi khusus dan kebijakan untuk mendorong penguatan ekonomi bidang halal. Selain itu, pemerintah bisa memaksimalkan potensi diaspora muslim Indonesia yang saat ini tersebar di berbagai kawasan di dunia.
“Indonesia belum memainkan peranan penting. Nah, agar menguasai industri halal dunia, maka halal harus menjadi kebijakan nasional. Kalau konsep halal menjadi kebijakan negara, maka akan mendatangkan keuntungan dan pemasukan bagi keuangan negara yang luar biasa,” kata Ayang yang baru saja meluncurkan buku ‘Rethinking Halal. Genealogy, Current Trend and New Interpretations’.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan, kerja sama pemerintah dengan diaspora muslim di luar negeri, menjadi penting. “Masyarakat muslim Indonesia yang ada di Eropa, bisa membuka lembaga sertifikasi halal yang selama ini dipegang orang luar yang keuntungannya untuk individu. Nah, seandainya orang-orang Islam Indonesia diaspora yang misalnya ada di Belgia, Prancis, Inggris dan beberapa negara Eropa lain mendirikan lembaga sertifikasi halal, serta terakreditasi oleh BPJH Indonesia, ini akan luar biasa,” katanya.
Ia menyampaikan, banyak perusahaan-perusahaan Eropa yang membutuhkan sertifikasi halal untuk kepentingan ekspor-impor ke Indonesia maupun negara-negara Asia Tenggara.
“Jika skema sertifikasi ada, maka semua perusahaan-perusahaan yang akan mengimpor atau ekspor barang-barang dari negara-negara itu dari atau ke Indonesia, harus melalui lembaga sertifikasi tersebut. Nah, itu kan nanti ada biayanya, biaya itu menjadi pemasukan bagi lembaga tersebut, yang keuntungannya luar biasa. Keuntungannya bisa untuk pemasukan bagi negara, juga untuk kesejahteraan masyarakat kita,” katanya.
Pada kesempatan itu ia juga menjelaskan bahwa ada ketidakseimbangan informasi terkait wacana halal di Eropa. “Warga Eropa umumnya, mengkritik praktik sembelihan untuk makanan halal dan khoser. Jadi, ketika berbicara mengenai halal, itu melulu tentang ritual penyembelihan," katanya.
Ia menyampaikan bahwa di Prancis, halal sudah menjadi bagian tak terpisahkan kehidupan warga muslim terutama imigran Maroko, Aljazair dan beberapa negara lain. Sementara, di Belgia ada sedikit kekhawatiran terkait menguatnya ekonomi dan industri halal.
“Orang-orang di Belgia itu merasa takut, mereka beranggapan kalau mereka beli produk halal, mereka memberikan sumbangsih keuangan (semacam pajak) untuk halal itu. Mereka juga menolak makanan yang diberkahi atau yang didoakan. Bagi mereka, halal itu telah mengundang komunitarisme, atau pola hidup berkelompok, bukan secara bersama,” kata Ayang yang merupakan doktor bidang sejarah dan filologi dari EHESS Paris itu.
Dalam penelitiannya tentang halal di Eropa, ia mengungkapkan bahwa persoalan bahasa juga menentukan. “Ketika ada kata-kata halal dari bahasa Arab, itu menjadi antipati orang, ternyata. Jadi, Arab disamakan dengan Islam. Ketika kita orang Indonesia mengatakan bahwa kita beragama Islam, maka, orang-orang Prancis dan Belgia, juga Eropa secara umum, itu kaget: ooh, ternyata ada juga orang muslim, tapi bukan orang Arab,” jelasnya.
Sementara itu Duta Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Belgia, Luksemburg, dan Uni Eropa, Andri Hadi, mengungkapkan bahwa sektor halal sekarang ini sangat penting dan tidak bisa diabaikan.
“Ada satu laporan mengatakan bahwa umat Islam merupakan pangsa pasar dengan pertumbuhan tercepat di dunia. Setiap perusahaan yang tidak mempertimbangkan umat Islam, maka mereka akan kehilangan kesempatan penting dari hulu dan hilir. Jadi komunitas muslim merupakan pasar yang luar biasa berkembang,” ungkap Andri Hadi pada pengajian KPMI Belgia pada Ahad (25/04).
Lebih lanjut, Andri Hadi menyampaikan, pasar terkait halal merupakan peluang besar. “Uniknya, dalam pasar industri halal, the largest share of the market, itu dari Amerika Utara. Jadi, Kanada dan Amerika Serikat, ini fenomena yang menarik. Ketika saya ke Jepang, nampaknya halal ini jadi agak unik, pengusaha-pengusaha restoran itu banyak yang memakai tanda halal untuk menarik konsumen. Berbeda dengan beberapa negara Eropa yang masih fobia dengan tanda halal,” kata Andri Hadi.
“Pemerintah Indonesia harus sangat aktif, ini peluang yang sangat luar biasa,” kata Ayang Utriza Yakin, Ph.D, dosen tamu di Universitas Ghent dan peneliti di Université Catholique de Louvain, Belgia, dan Sciences-Po Bordeaux, Prancis kepada ANTARA, Rabu (28/04).
Menurut Ayang, pemerintah Indonesia harus menyiapkan berbagai strategi khusus dan kebijakan untuk mendorong penguatan ekonomi bidang halal. Selain itu, pemerintah bisa memaksimalkan potensi diaspora muslim Indonesia yang saat ini tersebar di berbagai kawasan di dunia.
“Indonesia belum memainkan peranan penting. Nah, agar menguasai industri halal dunia, maka halal harus menjadi kebijakan nasional. Kalau konsep halal menjadi kebijakan negara, maka akan mendatangkan keuntungan dan pemasukan bagi keuangan negara yang luar biasa,” kata Ayang yang baru saja meluncurkan buku ‘Rethinking Halal. Genealogy, Current Trend and New Interpretations’.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan, kerja sama pemerintah dengan diaspora muslim di luar negeri, menjadi penting. “Masyarakat muslim Indonesia yang ada di Eropa, bisa membuka lembaga sertifikasi halal yang selama ini dipegang orang luar yang keuntungannya untuk individu. Nah, seandainya orang-orang Islam Indonesia diaspora yang misalnya ada di Belgia, Prancis, Inggris dan beberapa negara Eropa lain mendirikan lembaga sertifikasi halal, serta terakreditasi oleh BPJH Indonesia, ini akan luar biasa,” katanya.
Ia menyampaikan, banyak perusahaan-perusahaan Eropa yang membutuhkan sertifikasi halal untuk kepentingan ekspor-impor ke Indonesia maupun negara-negara Asia Tenggara.
“Jika skema sertifikasi ada, maka semua perusahaan-perusahaan yang akan mengimpor atau ekspor barang-barang dari negara-negara itu dari atau ke Indonesia, harus melalui lembaga sertifikasi tersebut. Nah, itu kan nanti ada biayanya, biaya itu menjadi pemasukan bagi lembaga tersebut, yang keuntungannya luar biasa. Keuntungannya bisa untuk pemasukan bagi negara, juga untuk kesejahteraan masyarakat kita,” katanya.
Pada kesempatan itu ia juga menjelaskan bahwa ada ketidakseimbangan informasi terkait wacana halal di Eropa. “Warga Eropa umumnya, mengkritik praktik sembelihan untuk makanan halal dan khoser. Jadi, ketika berbicara mengenai halal, itu melulu tentang ritual penyembelihan," katanya.
Ia menyampaikan bahwa di Prancis, halal sudah menjadi bagian tak terpisahkan kehidupan warga muslim terutama imigran Maroko, Aljazair dan beberapa negara lain. Sementara, di Belgia ada sedikit kekhawatiran terkait menguatnya ekonomi dan industri halal.
“Orang-orang di Belgia itu merasa takut, mereka beranggapan kalau mereka beli produk halal, mereka memberikan sumbangsih keuangan (semacam pajak) untuk halal itu. Mereka juga menolak makanan yang diberkahi atau yang didoakan. Bagi mereka, halal itu telah mengundang komunitarisme, atau pola hidup berkelompok, bukan secara bersama,” kata Ayang yang merupakan doktor bidang sejarah dan filologi dari EHESS Paris itu.
Dalam penelitiannya tentang halal di Eropa, ia mengungkapkan bahwa persoalan bahasa juga menentukan. “Ketika ada kata-kata halal dari bahasa Arab, itu menjadi antipati orang, ternyata. Jadi, Arab disamakan dengan Islam. Ketika kita orang Indonesia mengatakan bahwa kita beragama Islam, maka, orang-orang Prancis dan Belgia, juga Eropa secara umum, itu kaget: ooh, ternyata ada juga orang muslim, tapi bukan orang Arab,” jelasnya.
Sementara itu Duta Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Belgia, Luksemburg, dan Uni Eropa, Andri Hadi, mengungkapkan bahwa sektor halal sekarang ini sangat penting dan tidak bisa diabaikan.
“Ada satu laporan mengatakan bahwa umat Islam merupakan pangsa pasar dengan pertumbuhan tercepat di dunia. Setiap perusahaan yang tidak mempertimbangkan umat Islam, maka mereka akan kehilangan kesempatan penting dari hulu dan hilir. Jadi komunitas muslim merupakan pasar yang luar biasa berkembang,” ungkap Andri Hadi pada pengajian KPMI Belgia pada Ahad (25/04).
Lebih lanjut, Andri Hadi menyampaikan, pasar terkait halal merupakan peluang besar. “Uniknya, dalam pasar industri halal, the largest share of the market, itu dari Amerika Utara. Jadi, Kanada dan Amerika Serikat, ini fenomena yang menarik. Ketika saya ke Jepang, nampaknya halal ini jadi agak unik, pengusaha-pengusaha restoran itu banyak yang memakai tanda halal untuk menarik konsumen. Berbeda dengan beberapa negara Eropa yang masih fobia dengan tanda halal,” kata Andri Hadi.
Pewarta: Munawir Aziz
Editor: Fardah Assegaf
Copyright © ANTARA 2021
Tags: