Jakarta (ANTARA) - Kapolri Jenderal polisi Listyo Sigit Prabowo menyatakan jika kasus narkotika seberat 2,5 ton dikendalikan dari lembaga pemasyarakatan (Lapas).

"Dimana ada tersangka atas inisial KMK, AW, AG, A, MI, dan AL yang merupakan terpidana di lapas dengan hukuman di atas 10 tahun dan hukuman mati," jelas Sigit saat jumpa pers di Mabes Polri, Jakarta, Rabu.

Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mengungkap kasus peredaran narkotika jenis sabu-sabu seberat 2,5 ton dari jaringan internasional, setelah bekerja sama dengan Ditjen Bea dan cukai Kementerian Keuangan, Drug Enforcement Administration (DEA) dan Dirjen Pemasyarakatan Kemenkumham.

Sebanyak 18 tersangka yang ditangkap, 17 orang merupakan warga negara Indonesia dan satu warga Nigeria. Satu tersangka WNI dilakukan penembakan.

Baca juga: Polri ungkap kasus 2,5 ton narkotika jenis sabu-sabu
Baca juga: Kemenkumham bantu ungkap 2,5 ton narkoba jaringan internasional
Baca juga: Sri Mulyani: Sinergi Kemenkeu berantas penyeludupan narkotika


Tujuh orang tersangka merupakan jaringan pengendali, delapan orang sebagai jaringan transporter dan tiga orang sebagai jaringan pemesan.

"Mereka masih menjadi pengendali jaringan narkoba internasional," ungkap Listyo.

Kata Kapolri, barang bukti Narkotika itu jika dirupiahkan sebesar Rp1,2 triliun. Barang bukti itu dapat merusak sebanyak 10,1 juta jiwa masyarakat Indonesia.

Beberapa waktu lalu, Anggota Komisi III DPR RI Santoso meminta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly untuk tegas menindak para bandar yang mengendalikan peredaran narkoba dari dalam lembaga pemasyarakatan (lapas).

"Di tahun 2021 harus lebih maksimal dilakukan. Bukan rahasia umum bahwa para bandar setelah ditangkap, lebih nyaman dan bahkan lebih leluasa mengendalikan narkoba dibandingkan saat mereka di luar lapas," kata Santoso saat rapat kerja dengan Menkumham, di Jakarta.

Santoso mencontohkan di lingkungan tempat tinggalnya, terdapat seorang bandar kecil narkoba. Sebelum ditangkap penegak hukum, bandar itu hanya tinggal di rumah kontrakan. Namun, pada saat ditahan di lapas, bandar itu mampu membeli rumah tempat tinggal.