Lapan: Sains dan agama tak bisa dipisahkan dalam penentuan hilal
28 April 2021 18:26 WIB
Wali Kota Medan Bobby Nasution memantau hilal sebagai penentuan awal Ramadhan 1442 Hijriah di Observatorium Ilmu Falak (OIF) UMSU, Medan, Senin (12/4/2021). ANTARA/HO.
Jakarta (ANTARA) - Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) menyatakan bahwa sains dalam hal ini ilmu astronomi dan syariat agama tak bisa dipisahkan dalam menentukan hilal baik itu awal Ramadhan, Idul Fitri, maupun Zulhijah.
"Dan intinya tidak cukup dengan sains antariksa saja. Astronomi adalah alat yang butuh bantuan, bantuannya syariat agama. Bagaimana panduan dalam hadis sahih dalam agama," ujar Peneliti Sains Antariksa di Lapan Abdul Rachman dalam diskusi virtual yang dipantau secara daring, Rabu.
Menurut dia, Al Quran juga menjelaskan mengenai penghitungan bulan menggunakan astronomi untuk kehidupan.
Baca juga: BMKG lakukan rukyat hilal awal Syakban 1442 H pada Ahad (14/3)
Ia mengatakan dari tafsir ayat Al Quran tentang astronomi menyatakan bahwa matahari dan bulan diciptakan untuk perhitungan hari.
Maka kata dia, perhitungan ini salah satunya bisa ditafsirkan untuk penanggalan kalender.
"Kalau ditanya penentuan hari raya berdasarkannya ilmu astronomi tapi apakah cukup menggunakan ilmu astronomi saja? Tidak cukup, tapi kita butuh ilmu lain, dalam sains kita tidak belajar khusus tentang penentuan awal penentuan hijriyah," kata dia.
Baca juga: Pemantauan hilal di Palembang tertutup awan
Jika ditarik dalam penentuan awal bulan, umat Islam menggunakan perhitungan Hijriyah dalam penanggalan kalender, terutama menentukan awal Ramadhan, Syawal, dan Zulhijah.
Perhitungan Hijriyah ini menggunakan perputaran bulan sebagai perhitungan hari dan bulan dalam satu tahun. Sementara masehi menggunakan perputaran matahari. Sehingga perputaran hari dalam Hijriyah adalah saat terbenam matahari bukan pukul 00.00.
Dengan perbedaan perhitungan itu, maka ada perbedaan hari antara kalender Hijriyah dan Masehi. Dalam kalender Hijriah, jumlah hari tidak dapat dipastikan sebelumnya, tetapi hanya diperkirakan dengan mengacu pada suatu hitungan tertentu dan terdapat 29 atau 30 hari pada tiap bulannya.
Baca juga: Aceh amati hilal dari Observatorium Teungku Chiek Kuta Karang
Sementara Masehi terdapat 30 (atau 31 hari) dalam satu bulan kecuali bulan Februari, yakni 28 hari (atau 29 pada tahun kabisat). Dengan demikian, tiap tahun berjumlah 365 hari atau 366 hari pada tahun kabisat.
"Ketika kita ingin menentukan awal bulan, kita harus tahu kapan terjadi ijtimak (konjungsi bulan dan matahari dalam bujur yang sama). Setelah kita tahu itu, sore hari jelang matahari terbenam kita melakukan pengamatan bulan karena itu ijtimak terjadi menunjukkan periode bulan berdasarkan posisi matahari," kata dia.
Awal bulan bisa ditentukan apabila ijtimak atau konjungsi bulan dan matahari berada di satu garis bujur yang sama. Lapan memberikan kriteria penentuan awal bulan hijriah dengan memperhatikan faktor ketampakan atau visibilitas hilal yakni elongasi bulan menjadi 6,4 derajat dan tinggi bulan minimal 3 derajat.
Sementara organisasi Islam maupun Kementerian Agama memiliki kriteria tersendiri. Dari tren beberapa kali sidang isbat, bulan baru biasanya akan terpantau oleh perukyat jika hilal berada di atas ufuk setinggi minimal 2 derajat setelah matahari terbenam.
"Metode penentuan hilal biasanya dilakukan dengan dua cara, rukyat dan hisab. Rukyat merupakan metode pemantauan hilal menggunakan pandangan mata. Sementara hisab merupakan metode pemantauan hilal berdasarkan perhitungan matematik astronomi," katanya.
"Dan intinya tidak cukup dengan sains antariksa saja. Astronomi adalah alat yang butuh bantuan, bantuannya syariat agama. Bagaimana panduan dalam hadis sahih dalam agama," ujar Peneliti Sains Antariksa di Lapan Abdul Rachman dalam diskusi virtual yang dipantau secara daring, Rabu.
Menurut dia, Al Quran juga menjelaskan mengenai penghitungan bulan menggunakan astronomi untuk kehidupan.
Baca juga: BMKG lakukan rukyat hilal awal Syakban 1442 H pada Ahad (14/3)
Ia mengatakan dari tafsir ayat Al Quran tentang astronomi menyatakan bahwa matahari dan bulan diciptakan untuk perhitungan hari.
Maka kata dia, perhitungan ini salah satunya bisa ditafsirkan untuk penanggalan kalender.
"Kalau ditanya penentuan hari raya berdasarkannya ilmu astronomi tapi apakah cukup menggunakan ilmu astronomi saja? Tidak cukup, tapi kita butuh ilmu lain, dalam sains kita tidak belajar khusus tentang penentuan awal penentuan hijriyah," kata dia.
Baca juga: Pemantauan hilal di Palembang tertutup awan
Jika ditarik dalam penentuan awal bulan, umat Islam menggunakan perhitungan Hijriyah dalam penanggalan kalender, terutama menentukan awal Ramadhan, Syawal, dan Zulhijah.
Perhitungan Hijriyah ini menggunakan perputaran bulan sebagai perhitungan hari dan bulan dalam satu tahun. Sementara masehi menggunakan perputaran matahari. Sehingga perputaran hari dalam Hijriyah adalah saat terbenam matahari bukan pukul 00.00.
Dengan perbedaan perhitungan itu, maka ada perbedaan hari antara kalender Hijriyah dan Masehi. Dalam kalender Hijriah, jumlah hari tidak dapat dipastikan sebelumnya, tetapi hanya diperkirakan dengan mengacu pada suatu hitungan tertentu dan terdapat 29 atau 30 hari pada tiap bulannya.
Baca juga: Aceh amati hilal dari Observatorium Teungku Chiek Kuta Karang
Sementara Masehi terdapat 30 (atau 31 hari) dalam satu bulan kecuali bulan Februari, yakni 28 hari (atau 29 pada tahun kabisat). Dengan demikian, tiap tahun berjumlah 365 hari atau 366 hari pada tahun kabisat.
"Ketika kita ingin menentukan awal bulan, kita harus tahu kapan terjadi ijtimak (konjungsi bulan dan matahari dalam bujur yang sama). Setelah kita tahu itu, sore hari jelang matahari terbenam kita melakukan pengamatan bulan karena itu ijtimak terjadi menunjukkan periode bulan berdasarkan posisi matahari," kata dia.
Awal bulan bisa ditentukan apabila ijtimak atau konjungsi bulan dan matahari berada di satu garis bujur yang sama. Lapan memberikan kriteria penentuan awal bulan hijriah dengan memperhatikan faktor ketampakan atau visibilitas hilal yakni elongasi bulan menjadi 6,4 derajat dan tinggi bulan minimal 3 derajat.
Sementara organisasi Islam maupun Kementerian Agama memiliki kriteria tersendiri. Dari tren beberapa kali sidang isbat, bulan baru biasanya akan terpantau oleh perukyat jika hilal berada di atas ufuk setinggi minimal 2 derajat setelah matahari terbenam.
"Metode penentuan hilal biasanya dilakukan dengan dua cara, rukyat dan hisab. Rukyat merupakan metode pemantauan hilal menggunakan pandangan mata. Sementara hisab merupakan metode pemantauan hilal berdasarkan perhitungan matematik astronomi," katanya.
Pewarta: Asep Firmansyah
Editor: Heru Dwi Suryatmojo
Copyright © ANTARA 2021
Tags: