Taipeh (ANTARA News/AFP) - Seorang putri dari pemimpin Uighur Rebiya Kadeer mengunjungi Taipeh, Minggu, dalam sebuah lawatan yang berisiko menyulut amarah pemerintah China.

Kunjungan Raela Tosh, putri ketiga dari Kadeer, dilakukan setelah Taiwan melarang ibunya datang ke pulau tersebut, yang dianggap China sebagai bagian dari wilayahnya.

Tosh dijadwalkan menghadiri seminar di Taipeh dan kota Kaohsiung, Taiwan selatan, dimana film kisah hidup Kadeer "The 10 Conditions of Love" akan ditayangkan.

Meski wanita itu diizinkan datang ke Taiwan, seorang pejabat tinggi dari Kongres Uighur Dunia yang dipimpin Kadeer, Omer Kanat, membatalkan rencana lawatannya ke pulau itu karena secara politis kunjungannya itu sensitif, kata penyelenggara.

"Langkah itu akan semakin menodai citra internasional Taiwan yang sudah buruk ketika Kadeer ditolak permohonan visanya tahun lalu," kata Freddy Lim, ketua organisasi Guts United Taiwan kepada wartawan.

Tahun lalu film kisah hidup Kadeer ditayangkan di berbagai penjuru Taiwan, termasuk pada acara festival film tokoh tingkat tinggi di Kaohsiung. Beijing dikabarkan segera memerintahkan wisatawan negara itu memboikot kunjungan ke kota wilayah selatan tersebut.

Meski film tersebut ditayangkan, pemerintah Presiden Taiwan Ma Ying-jeou menolak permohonan visa Kadeer dengan alasan keamanan, dan mengisyaratkan bahwa Kongres Uighur Dunia berkaitan dengan kelompok teroris, sebuah tuduhan yang ditolak tegas oleh Kadeer.

Beijing menuduh Kadeer yang tinggal di AS mengobarkan kekerasan etnik di wilayah baratlaut China, Xinjiang, tahun lalu, namun tuduhan itu dibantahnya.

Masyarakat internasional mendesak China agar melakukan perundingan dengan para pemimpin Uighur setelah kekerasan tahun lalu di Urumqi, ibukota provinsi Xinjiang.

Kerusuhan itu merenggut 197 jiwa dan mencederai lebih dari 1.600 orang.

Dalam kerusuhan pada 5 Juli 2009, sebagian besar dari mereka yang tewas adalah orang Han, kelompok etnik dominan di China, namun puluhan orang Uighur juga tewas, menurut data pemerintah China.

Kekerasan yang dialami orang Uighur itu telah menimbulkan gelombang pawai protes di berbagai kota dunia seperti Ankara, Berlin, Canberra dan Istanbul.

Orang Uighur berbicara bahasa Turki dan Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan adalah yang paling keras melontarkan kecaman dan menyebut apa yang terjadi di Xinjiang sebagai "semacam pembantaian".

Orang-orang Uighur di pengasingan mengklaim bahwa pasukan keamanan China bereaksi terlalu berlebihan atas protes damai dan menggunakan kekuatan mematikan.

Delapan juta orang Uighur, yang memiliki lebih banyak hubungan dengan tetangga mereka di Asia tengah ketimbang dengan orang China Han, berjumlah kurang dari separuh dari penduduk Xinjiang.

Bersama-sama Tibet, Xinjiang merupakan salah satu kawasan paling rawan politik dan di kedua wilayah itu, pemerintah China berusaha mengendalikan kehidupan beragama dan kebudayaan sambil menjanjikan petumbuhan ekonomi dan kemakmuran.

Beijing tidak ingin kehilangan kendali atas wilayah itu, yang berbatasan dengan Rusia, Mongolia, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, Afghanistan, Pakistan dan India, dan memiliki cadangan minyak besar serta merupakan daerah penghasil agas alam terbesar China.

Namun, penduduk minoritas telah lama mengeluhkan bahwa orang China Han mengeruk sebagian besar keuntungan dari subsidi pemerintah, sambil membuat warga setempat merasa seperti orang luar di negeri mereka sendiri.

Beijing mengatakan bahwa kerusuhan itu, yang paling buruk di kawasan tersebut dalam beberapa tahun ini, merupakan pekerjaan dari kelompok-kelompok separatis di luar negeri, yang ingin menciptakan wilayah merdeka bagi minoritas muslim Uighur.

Kelompok-kelompok itu membantah mengatur kekerasan tersebut dan mengatakan, kerusuhan itu merupakan hasil dari amarah yang menumpuk terhadap kebijakan pemerintah dan dominasi ekonomi China Han. (M014/K004)