Jakarta (ANTARA) - Setiap orang memiliki hobi yang berbeda-beda untuk menyegarkan pikiran serta memberikan "energi" setelah lelah bekerja sepanjang hari dan bagi Fidella Anandhita Savitri hal itu adalah menjadi seorang relawan.

"Jadi volunteer itu kayak eksktrakurikuler buat aku," kata Della kepada ANTARA.

Perempuan yang bekerja sebagai Senior Business Development Executive di platform siniar Inspigo ini memang getol menjadi relawan di berbagai proyek dan aktif dalam kegiatan sosial sejak bertahun-tahun lalu.

Baca juga: Kominfo dorong perempuan berwirausaha digital

Baca juga: Dua pengusaha wanita ubah sampah plastik jadi bahan bangunan


Sebelum pandemi, Della pernah mendampingi anak-anak belajar di alam sebagai relawan Petualang Cilik Rumah Perubahan. Dia mengikuti Indonesia Mengajar dan menjadi guru sekolah dasar di Paser, Kalimantan Timur selama setahun.

Ia menginisiasi Kelas Inspirasi Tangerang Selatan di mana para relawan dari berbagai latar belakang profesi mengajar selama satu hari di hadapan anak-anak sekolah dasar. Kelas Inspirasi itu juga diboyong ke Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), di mana muridnya adalah mereka yang berada di dalam lembaga pemasyarakatan anak remaja. Pada 2019, dia menjadi co-founder Inspirasa, mengajar tentang Self Awareness, Building Good Habits, Growth Mindset kepada anak dan remaja di LPKA.

"Aku memang suka volunteer dari kuliah sampai sekitar tahun 2014," kata lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia.

"Dulu tuh ikutnya kegiatan volunteer untuk event kayak Java Jazz, SEA Games, Europe on Screen, Citra Pariwara. Memang nggak bisa diam saja kali ya, kebanyakan energi," dia tertawa.

Setelah lulus kuliah dan bekerja di konsultan marketing, anggota Gigi Art of Dance ini sibuk mencari ide saat diberi proyek olimpiade sosial. Dari situ, dia "bertemu" dengan gerakan Indonesia Mengajar. Para pengajar muda yang terlibat akan ditempatkan di penjuru Nusantara dan tinggal bersama masyarakat setempat. Kebetulan, salah satu teman kuliahnya pernah jadi Pengajar Muda.

"Aku ngobrol dan tanya-tanya, terus jadi 'kecolek'. Aku ingat banget waktu itu sore-sore di East Tower Kuningan lantai 17, aku bengong lihat jendela sambil berpikir, 'Ngapain ya aku di sini sementara teman-temanku sudah kontribusi sana-sini.'," kenang Della yang jadi Ketua Bidang Pengembangan Diri dan Penguatan Karakter Rumah Millennials.

Sejak itu dia mulai mengenal dunia relawan sosial. Della mendaftar jadi Pengajar Muda pada 2013, namun gagal. Dia kembali mendaftar setahun kemudian dan akhirnya berhasil lolos. Pada 2015, dia berangkat ke Paser, Kalimantan Timur dan pulang kembali rumahnya setahun kemudian. Menjadi seorang Pengajar Muda membuatnya semakin aktif di dunia relawan.

"Beda saja rasanya, sensasi kepuasan batin yang enggak bisa 'dibeli' pakai uang," tutur Ketua Keluarga Besar Pengajar Muda.

Terlibat dalam kegiatan sosial seakan jadi sebuah kebutuhan. Rasanya ada yang hilang tanpanya.

"Kalau lagi sibuk kerja dan nggak punya waktu volunteer-an, ketika akhirnya ada kesempatan, kayak nge-charge. Dapat energi lagi."
Fidella bersama murid-murid di Paser, Kalimantan saat menjadi Pengajar Muda pada 2015 (ANTARA/ist)


Pandemi COVID-19 membuat semuanya berubah. Dia tidak lagi bisa secara leluasa berinteraksi dengan orang-orang. Kendati demikian, masih banyak yang ia lakukan secara daring. Mulai dari berpartisipasi dalam program penggalangan donasi untuk tim medis lewat rangkaian webinar hingga membuat kuliah via whatsapp bersama Inspirasa dan Yayasan Pemimpin Anak Bangsa.

Meski "energi" dari interaksi secara daring terasa berbeda ketimbang bertemu secara empat mata, pada intinya, daring atau luring, yang ingin dia lakukan adalah berbagi dan melihat perkembangan orang lain.

"Benang merahnya sih aku senang sharing, ngajar, dan melihat perubahan perilaku, dampak dari kontribusiku, sekecil apa pun itu," ujar Della yang sering menjadi relawan di dunia pendidikan.

Itulah mengapa dia merasa sangat senang setelah melihat perkembangan anak-anak muda di Limitless Campus (LC) tempatnya bernaung selama beberapa tahun dulu. Limitless Campus adalah inisiasi pendidikan yang menghubungkan anak muda yang ingin mengembangkan diri dan membuat proyek sosial dengan mentor dan coach.

"Ngomong-ngomong soal dampak, terlepas project di LC lanjut atau nggak setelah mereka 'lulus', aku personally senang banget lihat mereka makin cihuy berkarier dan berkarya," ujar salah satu penulis buku "Limitless Campus" yang dibuat bersama Rene Suhardono dan Lintang Gustika.
Surat dari murid di Paser, Kalimantan (ANTARA/ist)


Dari sekian banyak interaksi bersama sesama sejak menjadi relawan di berbagai tempat, ada satu momen yang masih diingat. Seorang murid di Paser, Kalimantan, menulis surat perpisahan yang diberikan di akhir penempatannya sebagai Pengajar Muda. Dalam surat itu tertulis, "Aku akan tak lagi buang sampah sembarangan."

Della menuturkan, orang-orang di tempatnya mengajar tinggal di daerah pesisir dan terbiasa membuang sampah ke laut. Dengan cara santai, sambil berjalan sore beramai-ramai di dermaga, dia mencoba menumbuhkan kesadaran murid-muridnya untuk tidak membuang sampah ke laut.

"Mereka kan punya acil (bibi), nenek, terus aku tanya, 'nenekmu umurnya berapa? Bayangin, plastik ini baru bisa terurai 100 tahun, lama banget di laut'," ujar Della.

Dia juga memberitahu para murid soal mikroplastik yang masuk ke dalam biota laut, sumber makanan mereka. Dia tak pernah berhenti mengingatkan murid-murid agar selalu membuang sampah di tempatnya.

"Aku selalu ingetin untuk buang di tempat sampah, walau ujung-ujungnya dibuang ke laut, tapi setidaknya ada perilaku yang berubah. Makanya aku senang banget pas dia tulis berjanji enggak buang sampah sembarangan. Ternyata tercapai tujuan selama setahun mengingatkan anak-anak soal buang sampah," tuturnya.

Penyuka warna merah ini punya visi agar semua orang bisa dan suka belajar. Sebab, belajar adalah hak semua orang dan orang-orang yang punya keistimewaan mendapatkan pendidikan memiliki tanggung jawab untuk mendidik.

"Sekarang pun walaupun berkarier di startup sebagai business development, sebetulnya kegiatannya membantu kasih akses inspirasi dan konten belajar untuk orang dewasa, anak kuliah dan pekerja," katanya.

Ke depannya, dia bercita-cita membuat inisiatif bernama Sekolah Saturnus yang akan mengakomodasi anak-anak berusia 20-an agar siap menghadapi kepala tiga.

"Terinspirasi dari istilah 'Saturn Return' di mana planet Saturnus mengelilingi matahari 1 putaran selama 30 tahun dan itu mempengaruhi milestones manusia di bumi. Istilah populernya 'quarter life crisis'," kata Della.

Tapi yang pasti saat ini dia akan terus mengerahkan waktu dan tenaga untuk menjadi relawan, berkontribusi sekuat tenaga, sebanyak yang dia bisa.

"Volunteer sih selama aku sanggup bakal jalan terus kayaknya, soalnya dapat energi dari situ walau pun enggak ada bayarannya. Karena yang biasanya terjadi adalah alih-alih kita berniat berbagi, kita malah dapat lebih banyak. Sejauh ini, itu yang aku rasakan."

Baca juga: Pesan Anne Avantie di Hari Kartini

Baca juga: Menkominfo: Pemerintah percepat kesetaraan di sektor digital

Baca juga: ANTARA hadirkan tiga perempuan ulung dalam Webinar Kartini