OJK: Jumlah nasabah asuransi unit link turun drastis akibat pandemi
21 April 2021 14:46 WIB
Tangkapan layar Kepala Departemen Pengawasan IKNB 2A OJK Ahmad Nasrullah memberikan paparan saat diskusi dengan awak media secara daring di Jakarta, Rabu (21/4/2021). ANTARA/Citro Atmoko
Jakarta (ANTARA) - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat jumlah nasabah atau jumlah tertanggung produk asuransi yang dikaitkan investasi (PAYDI) atau dikenal sebagai unit link turun drastis sepanjang 2020 akibat pandemi COVID-19.
"Jumlah tertanggung PAYDI, memang karena kondisi COVID-19 dan sebagainya di 2020 menurun drastis dari rata-rata biasanya ada sekitar 7 juta pemegang polis. Mungkin banyak yang tidak melanjutkan produk ini akhirnya putus tengah jalan, atau mungkin juga sudah waktunya jatuh tempo. Yang pasti tambahan dari nasabah baru tidak banyak, banyak yang redeem sehingga di 2020 menurun drastis tinggal 4,2 juta saja sisanya, sekarang mungkin 4 jutaan," kata Kepala Departemen Pengawasan IKNB 2A OJK Ahmad Nasrullah saat diskusi dengan awak media secara daring di Jakarta, Rabu.
Ahmad mengatakan unit link memang menjadi lini usaha yang memberikan kontribusi paling besar yaitu sekitar 50 persen atau separuh dari total penerimaan premi perusahaan asuransi. Total premi dari unit link di industri asuransi pada 2020 mencapai Rp98,25 triliun, menurun dibandingkan tahun sebelumnya Rp101,87 triliun.
Baca juga: OJK segera rampungkan "rambu-rambu" investasi asuransi unitlink
Sementara itu, untuk total klaim unit link sepanjang 2020 lalu mencapai Rp75,98 triliun, naik dibandingkan total klaim pada 2019 Rp70,61 triliun. Dengan kata lain, bisnis unit link saat ini masih relatif sehat.
"Kalau dibandingkan dengan klaimnya tentunya, meski PAYDI ini risiko investasi ada di peserta, tapi bagaimana perbandingan premi dan klaim menunjukkan ini bisnis masih sehat. Artinya, uang yang masuk lebih besar dari uang yang keluar," ujar Ahmad.
Terkait industri asuransi secara umum, lanjut Ahmad, di tengah upaya untuk bangkit dari pandemi, sektor asuransi sebenarnya termasuk sektor yang terkena dampak. Namun jika terkait perkembangan aset industri asuransi, memang masih naik meski tidak sebesar tahun-tahun sebelumnya.
Posisi aset asuransi jiwa per Februari 2021 mencapai Rp554,38 triliun, aset asuransi umum dan reasuransi Rp207,7 triliun, aset asuransi wajib Rp136,28 triliun, dan aset BPJS Kesehatan Rp45,18 triliun. Sedangkan dari pendapatan premi, per Februari 2021 asuransi jiwa mendapatkan Rp34,61 triliun, asuransi umum dan reasuransi Rp18,59 triliun, asuransi wajib Rp1,87 triliun, dan BPJS Kesehatan Rp22,32 triliun.
"Kalau dilihat dari portfolio investasi, untuk asuransi komersial kalau kita lihat porsinya dari total investasi Rp554 triliun itu, sebenarnya sebagian besar ini ada di instrumen pasar modal yaitu saham, plus SBN juga karena di situ kita hitung jangka panjang, termasuk reksadana REPO. Ini kalau ditotalkan jumlahnya hampir 80 persen dari keseluruhan investasi di sektor asuransi. Ini penting kami sampaikan kenapa, artinya memang sebagian besar aset dari asuransi ini terpengaruh berdasarkan fluktuasi perkembangan harga di pasar modal," kata Ahmad.
Dengan besarnya porsi investasi di instrumen pasar modal, memang membuat industri asuransi rentan terhadap fluktuasi harga di pasar. Ia pun berharap gejolak yang terjadi di pasar modal sifatnya hanya temporer sehingga industri asuransi bisa segera pulih.
"Jadi apa yang terjadi di market seperti yang sekarang terjadi sejak tahun lalu di sektor pasar modal, harapan kita bersama tentunya ini sesuatu yang sifatnya sementara.Mudah-mudahan secara fundamental kondisi di pasar modal masih bagus. Sehingga ini akan bisa cepat recover kita dari fluktuasi di pasar modal," ujar Ahmad.
Ia menambahkan, saat ini kontribusi industri asuransi terhadap perekonomian baru mencapai 3,03 persen per Februari 2021, masih relatif rendah dibandingkan negara-negara lain yang telah mencapai dua digit. Namun, hal tersebut juga menjadi peluang untuk penetrasi pasar yang semakin besar agar semakin berkontribusi terhadap perekonomian domestik.
"Dengan angka sekitar tiga persen, artinya masih terbuka peluang yang sangat besar untuk dikembangkan. Kalau di negara-negara Eropa itu sudah double digit angka penetrasinya, bahkan tetangga sebelah kita Malaysia dan Singapura, angka penetrasinya sangat tinggi, jauh dari di Indonesia. Ini menggambarkan bagaimana kita berkontribusi terhadap perekonomian karena sumber penerimaan premi tadi harapannya akan dikelola oleh perusahaan asuransi, ada yang beli SBN, sukuk, atau obligasi BUMN karya untuk bantu pembangunan," kata Ahmad.
Baca juga: Teliti dan banyak tanya sebelum membeli asuransi jiwa
Baca juga: AAJI usul penjualan "unit link" digital disahkan permanen
"Jumlah tertanggung PAYDI, memang karena kondisi COVID-19 dan sebagainya di 2020 menurun drastis dari rata-rata biasanya ada sekitar 7 juta pemegang polis. Mungkin banyak yang tidak melanjutkan produk ini akhirnya putus tengah jalan, atau mungkin juga sudah waktunya jatuh tempo. Yang pasti tambahan dari nasabah baru tidak banyak, banyak yang redeem sehingga di 2020 menurun drastis tinggal 4,2 juta saja sisanya, sekarang mungkin 4 jutaan," kata Kepala Departemen Pengawasan IKNB 2A OJK Ahmad Nasrullah saat diskusi dengan awak media secara daring di Jakarta, Rabu.
Ahmad mengatakan unit link memang menjadi lini usaha yang memberikan kontribusi paling besar yaitu sekitar 50 persen atau separuh dari total penerimaan premi perusahaan asuransi. Total premi dari unit link di industri asuransi pada 2020 mencapai Rp98,25 triliun, menurun dibandingkan tahun sebelumnya Rp101,87 triliun.
Baca juga: OJK segera rampungkan "rambu-rambu" investasi asuransi unitlink
Sementara itu, untuk total klaim unit link sepanjang 2020 lalu mencapai Rp75,98 triliun, naik dibandingkan total klaim pada 2019 Rp70,61 triliun. Dengan kata lain, bisnis unit link saat ini masih relatif sehat.
"Kalau dibandingkan dengan klaimnya tentunya, meski PAYDI ini risiko investasi ada di peserta, tapi bagaimana perbandingan premi dan klaim menunjukkan ini bisnis masih sehat. Artinya, uang yang masuk lebih besar dari uang yang keluar," ujar Ahmad.
Terkait industri asuransi secara umum, lanjut Ahmad, di tengah upaya untuk bangkit dari pandemi, sektor asuransi sebenarnya termasuk sektor yang terkena dampak. Namun jika terkait perkembangan aset industri asuransi, memang masih naik meski tidak sebesar tahun-tahun sebelumnya.
Posisi aset asuransi jiwa per Februari 2021 mencapai Rp554,38 triliun, aset asuransi umum dan reasuransi Rp207,7 triliun, aset asuransi wajib Rp136,28 triliun, dan aset BPJS Kesehatan Rp45,18 triliun. Sedangkan dari pendapatan premi, per Februari 2021 asuransi jiwa mendapatkan Rp34,61 triliun, asuransi umum dan reasuransi Rp18,59 triliun, asuransi wajib Rp1,87 triliun, dan BPJS Kesehatan Rp22,32 triliun.
"Kalau dilihat dari portfolio investasi, untuk asuransi komersial kalau kita lihat porsinya dari total investasi Rp554 triliun itu, sebenarnya sebagian besar ini ada di instrumen pasar modal yaitu saham, plus SBN juga karena di situ kita hitung jangka panjang, termasuk reksadana REPO. Ini kalau ditotalkan jumlahnya hampir 80 persen dari keseluruhan investasi di sektor asuransi. Ini penting kami sampaikan kenapa, artinya memang sebagian besar aset dari asuransi ini terpengaruh berdasarkan fluktuasi perkembangan harga di pasar modal," kata Ahmad.
Dengan besarnya porsi investasi di instrumen pasar modal, memang membuat industri asuransi rentan terhadap fluktuasi harga di pasar. Ia pun berharap gejolak yang terjadi di pasar modal sifatnya hanya temporer sehingga industri asuransi bisa segera pulih.
"Jadi apa yang terjadi di market seperti yang sekarang terjadi sejak tahun lalu di sektor pasar modal, harapan kita bersama tentunya ini sesuatu yang sifatnya sementara.Mudah-mudahan secara fundamental kondisi di pasar modal masih bagus. Sehingga ini akan bisa cepat recover kita dari fluktuasi di pasar modal," ujar Ahmad.
Ia menambahkan, saat ini kontribusi industri asuransi terhadap perekonomian baru mencapai 3,03 persen per Februari 2021, masih relatif rendah dibandingkan negara-negara lain yang telah mencapai dua digit. Namun, hal tersebut juga menjadi peluang untuk penetrasi pasar yang semakin besar agar semakin berkontribusi terhadap perekonomian domestik.
"Dengan angka sekitar tiga persen, artinya masih terbuka peluang yang sangat besar untuk dikembangkan. Kalau di negara-negara Eropa itu sudah double digit angka penetrasinya, bahkan tetangga sebelah kita Malaysia dan Singapura, angka penetrasinya sangat tinggi, jauh dari di Indonesia. Ini menggambarkan bagaimana kita berkontribusi terhadap perekonomian karena sumber penerimaan premi tadi harapannya akan dikelola oleh perusahaan asuransi, ada yang beli SBN, sukuk, atau obligasi BUMN karya untuk bantu pembangunan," kata Ahmad.
Baca juga: Teliti dan banyak tanya sebelum membeli asuransi jiwa
Baca juga: AAJI usul penjualan "unit link" digital disahkan permanen
Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2021
Tags: