Jakarta (ANTARA) - Indonesia patut berbangga, anak bangsa mampu membuat drone atau pesawat udara nir anak (PUNA) yang dapat memperkuat sistem pertahanan dan keamanan Indonesia.

Kehadiran drone Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dalam berbagai versi sangat ideal untuk memantau pelosok negeri khususnya dari ancaman musuh.

Dari tahun ke tahun, pengembangan drone BPPT semakin canggih karena diberi sentuhan kemajuan teknologi dan inovasi. PUNA Wulung misalnya telah mendapat sertifikasi dari Indonesia Military Airworthiness Authority (IMAA) pada 2016.

Selanjutnya diikuti PUNA Alap-Alap PA-06D-100 yang juga sudah mendapat sertifikasi kelaikudaraan militer dari Badan Sarana Pertahanan Kementerian Pertahanan.

PUNA yang dikembangkan BPPT bukanlah sekadar drone yang biasa kita lihat sehari-hari. Pesawat tanpa awak versi terbaru ini, dibangun khusus untuk kepentingan pertahanan dan keamanan.

Untuk mendukung kedaulatan negara, inovasi drone atau PUNA ini sangat dibutuhkan.

Kepala BPPT Hammam Riza mengatakan, BPPT melakukan perekayasaan PUNA jenis taktikal guna memenuhi kebutuhan nasional khususnya untuk di lingkungan TNI.

BPPT menargetkan Indonesia memiliki pesawat nir awak atau drone mata-mata spesifikasi kombatan, yang dibuat di dalam negeri pada 2022.

Hal tersebut merupakan target Program Pengembangan Drone tipe Medium Altitude Long Endurance (MALE) Nasional yang saat ini sedang dikembangkan bersama konsorsium nasional.

“Drone MALE ini akan memiliki jangkauan jelajah operasi 23.000 kilometer non-stop dengan ketahanan terbang tinggi selama 30 jam, siang dan malam. Dengan kemampuan tersebut, Drone MALE akan digunakan untuk membantu Kementerian Pertahanan, dalam menjaga pertahanan dan keamanan negara,” ucapnya.

Drone atau PUNA tipe MALE ini pun, kata Hammam, dinamai Elang Hitam. Drone ini mampu beroperasi dalam radius 250 km dengan waktu terbang hingga 30 jam. Secara fisik, drone ini memiliki panjang 8,30 meter dan bentang sayap sepanjang 16 meter.

BPPT lanjutnya, menjadikan pengembangan PUNA MALE Elang Hitam menjadi salah satu dari delapan fokus pengembangan teknologi BPPT untuk mendukung Indonesia Maju.

Sejak dikenalkan ke publik di akhir tahun 2019 lalu, tahun 2021 ini, drone tersebut dikembangkan ke tingkat kombatan.

"Bersama dengan Konsorsium PUNA MALE Elang Hitam, BPPT akan melanjutkan pengembangan ke tingkatan kombatan sesuai dengan arahan Presiden RI dalam menjaga teritori Indonesia di area perbatasan," jelasnya.

Hammam kemudian mengharapkan, uji terbang drone Elang Hitam dapat berjalan lancar, dan terbang perdana tahun ini. Usai itu dilanjutkan dengan rangkaian uji terbang serta type certificate oleh Indonesian Military Airworthiness Authority (IMAA).
Infografis Drone MALE Elang Hitam (ANTARA/HO-BPPT)

Perlu diketahui konsorsium pengembangan Drone Elang Hitam ini selain BPPT, juga beranggotakan PT Dirgantara Indonesia (PT DI), LAPAN, TNI-AU, ITB, PT Len Industri, dan lainnya.

Hal ini merupakan wujud komitmen BPPT pada penguatan ekosistem inovasi nasional dalam integrasi kegiatan kerekayasaan teknologi.

“Elang Hitam dirancang untuk keperluan militer. Setelah dipersenjatai, pada tahapan selanjutnya akan diurus sertifikat tipe supaya bisa masuk ke tahapan produksi massal. Jika semua lancar, drone Elang Hitam bisa diproduksi massal tahun depan,” pungkas Hammam.

Produksi dalam negeri

Berdasarkan kajian awal BPPT, TNI AU membutuhkan 33 drone untuk menjaga pertahanan negara. Diperkirakan satu pangkalan drone membutuhkan tiga unit drone yang terdiri atas satu unit operasional, satu unit standby, dan satu unit perawatan.

Ditargetkan Indonesia memiliki 11 pangkalan drone untuk melakukan kegiatan mata-mata mengawasi udara di perbatasan Indonesia.

Melengkapi pernyataan Kepala BPPT, Deputi Teknologi Industri Rancang Bangun dan Rekayasa (TIRBR) BPPT Wahyu Widodo Pandoe mengatakan, kemanfaatan PUNA MALE kombatan secara langsung adalah menghemat devisa nasional sehingga banyak nilai tambah dari proses desain, manufakturing yang dapat diserap ke dalam negeri.

Di samping penghematan pada pengadaan Drone serupa, biaya operasi MALE jauh lebih murah daripada penggunaan aset patroli berupa pesawat terbang berawak.

Hal ini bisa menjaga kedaulatan negara, menciptakan rasa aman sehingga masyarakat dapat berproduksi secara maksimal, menyelamatkan aset ikan dari pencurian ilegal sehingga stok ikan melimpah.

“Dengan menguasai desain dan rancang bangun MALE, maka dapat tumbuh industri kapal, sub sistem atau industri komponen/cadangan lainnya seperti motor listrik servo, landing gear, yang sesuai agar MALE Kombatan dapat terus beroperasi secara berkelanjutan,” urainya.

Kemampuan desain dan rancang bangun wahana MALE Kombatan yang ditindaklanjut dengan kemampuan manufaktur yang baik akan meningkatkan efek deteren terhadap negara-negara tetangga.

Dampak turunannya adalah pemerintah memperoleh industri yang kuat, dan menciptakan lapangan pekerjaan baru, yang pada gilirannya diharapkan meningkatkan ekonomi masyarakat.

Ini menjadi bukti Indonesia mampu mandiri dalam memproduksi alutsista di bidang pertahanan dan keamanan, melalui peran teknologi dan inovasi di era revolusi industri 4.0.

"Penguasaan teknologi sub sistem PUNA MALE seperti teknologi Sistem Kendali Terbang (FC) dapat diterapkan untuk membangun dan menghidupkan industri lain (spin off) yang memproduksi munisi presisi (precision munision) atau bahkan menciptakan industri rudal udara ke darat (Air Ground Missile). Dengan mampu membuat rudal jenis kecil, secara bertahap prinsip-prinsip desain dan rancang bangun terus dilanjutkan hingga industri mampu membangun rudal yang lebih maju dan lebih besar kelasnya,” pungkasnya. (INF)

Baca juga: Drone BPPT sukses terbang selama tujuh jam

Baca juga: Pesawat udara nirawak "Elang Hitam" diluncurkan

Baca juga: Pesawat nirawak Alap-Alap PA-06D raih serfikat kelaikan produk militer