Jakarta (ANTARA) - Sekitar tahun 2007, KJRI Davao City menugaskan saya untuk mendampingi Prof. Dr. Nur Fadhil Lubis yang sedang melaksanakan tugas mengisi program Summer Course-Interfaith Dialogue di Filipina Selatan.

Saya sangat senang sekali, selain tugasnya ringan, cuma membantu pak Lubis, begitu kami memanggil beliau, apabila beliau membutuhkan sesuatu, juga karena kami dapat mendengarkan kuliah dan ceramah beliau di berbagai universitas Katolik, Kristen, di Seminari dan juga madrasah.

Program yang berjalan selama tiga bulan ini diinisiasi oleh Bishop-Ulama League (BUL) bekerja sama dengan Ateneo de Davao University, sebuah Universitas Katolik ordo Jesuit. BUL adalah sebuah organisasi nirlaba yang ingin membangun jembatan pemahaman antar umat beragama, sehingga tercipta saling pengertian, saling menghormati, dan tidak ada diskriminasi antar umat beragama. Kebetulan juga kami kenal baik dengan ketua Bishop-Ulama League Fr. Capalla dan perwakilan dari Islam Alim/KH Adilao.

Prof. Dr. Nur Fadhil Lubis adalah guru besar bidang Filsafat di IAIN Sumatera Utara, beliau lulus S-2 dan S-3-nya dari University California Los Angeles (UCLA) dan pernah menjabat sebagai Ketua Perhimpunan Mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat (PERMIAS). Almarhum juga pernah menjabat sebagai Rektor IAIN Sumatera Utara.

Mungkin karena sama-sama berlatar belakang Filsafat, dan dari IAIN, kami sering berdiskusi juga untuk memperkenalkan Islam yang teduh dan damai, Islam yang Rahmatan lil ‘aalamiin di Filipina, atau membicarakan tentang IAIN di masa yang akan datang di penginapannya di guest house Atene de Davao University yang sejuk.

Program yang berlangsung selama 3 bulan ini diisi dengan ceramah, diskusi, kunjungan ke universitas, seminari serta madrasah-madrasah di daerah Davao City dan sekitarnya. Bishop Capalla juga meminta Prof Dr. Nur Fadhil Lubis untuk menginventarisir buku-buku di perpustakaan universitas dan seminari yang out of date tentang Islam, dan juga meminta beliau untuk memberikan judul-judul buku apa saja yang harus disediakan oleh universitas dan seminari agar adanya pemahaman yang lebih baik tentang Islam.

Sebaliknya juga Capalla meminta juga untuk mencoba mengusulkan buku-buku yang baik di madrasah agar tidak memstimulus perilaku kekerasan kepada para murid dan asatidz (para ustadz) di madrasah-madrasah.

Ketika saya menjemput beliau setelah mengadakan diskusi di Holly Cross University kembali ke penginapannya, iseng-iseng saya tanya bagaimana hasil kunjungan beliau ke beberapa perpustakaan di universitas, seminary dan madrasah di Davao dan sekitarnya. Beliau mengatakan bahwa ada banyak buku yang tidak bagus di perpustakaan universitas dan seminari, yang ditulis oleh para orientalis dan pastor senior mereka yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam. Juga buku-buku di madrasah banyak yang lebih menekankan fiqh siyasah (politik) maupun jihad secara sempit. Saya sudah menyusun buku-buku yang harus disediakan di perpustakaan mereka katanya.

Tanggal 31 Mei 2017, saya diundang dalam buka puasa bersama dan peluncuran Buku Mindanao Muslim History dan Davao Reconstructing History from Text and Memory yang diterbitkan oleh Ateneo de Davao University Press di Ateneo de Davao University.

Pada kesempatan itu hadir juga Bishop Capalla dan President Ateneo de Davao University Fr. Joel E. Tabora S.J. Iseng-iseng saya tanya, kenapa kalau ada kegiatan Interfaith Dialogue yangTanduay diundang harus sarjana dari Indonesia, padahal di sini banyak sarjana lulusan Timur Tengah (kebetulan saya punya beberapa kenalan lulusan Timur Tengah).

Fr. Joel E. Tabora SJ bilang bahwa sarjana Muslim Indonesia itu dapat memenuhi persyaratan yang kami pinta semisal menyerahkan silabus, target dan metode pembelajaran, mengirimkan daftar buku-buku yang akan digunakan dalam kegiatan kuliah dan lain sebagainya dan yang terpenting mereka sangat moderat ujarnya. Lalu saya bilang kepada beliau seperti Tanduay saja pakai moderat. adalah Minuman keras yang sangat terkenal di Filipina, karena dalam setiap iklannya selalu ditulis Drink Moderately, akhirnya kami tertawa.

Sesungguhnya bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, bangsa yang memiliki keanekaragaman suku, bangsa, ras budaya dan kepercayaan. Keanekaragaman dengan kearifan lokalnya diyakini dapat memfilter semua kepercayaan dan kebudayaan yang masuk kemudian, sehingga semakin memberikan warna kebhinekaan bangsa Indonesia.

Baca juga: Menag berharap asrama haji jadi tempat moderasi beragama

Baca juga: Kuatkan moderasi beragama, Kemenag gelar doa bersama


Dalam sosiologi, keberagaman suatu masyarakat bisa mendatangkan integrasi dan disintegrasi. Konflik adalah sesuatu hal yang wajar dalam kehidupan yang tidak mungkin hilang dalam kehidupan bermasyarakat. Konflik bila ditangani dengan baik akan melahirkan konsolidasi yang semakin menguatkan masyarakat, sebaliknya apabila tidak dikelola dengan baik, maka akan menimbulkan disintegrasi, dengan cara mencari pembenaran-pembenarannya dan salah satu pembenarannya adalah dengan menggunakan ayat-ayat kitab suci.

Moderasi beragama yang sudah hidup dalam masyarakat Indonesia sejak lama akhirnya dilembagakan oleh pemerintah yang bersifat mengikat dan disematkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, tertuang dalam Peraturan Presiden No 18 Tahun 2020 dalam Visi Pembangunan SDM startegi Pembangunan Karakter.

Dalam keterangannya mantan Menteri Agama Lukman Hakim, mengatakan pemerintah akan membuat sejumlah program agar moderasi beragama terus tumbuh di tengah masyarakat Indonesa yang beragama, di antaranya dengan pendekatan sosialisasi gagasan, pengetahuan dan pemahaman tentang moderasi beragama kepada seluruh lapisan masyarakat. (Republika, 15 Oktober 2019)

Ada tiga tolak ukur dalam ber-moderasi agama:

Pertama, kembalinya pemeluk agama pada inti ajaran agama yaitu nilai kemanusiaan. Dengan kemanusiaan perbedaan agama tidak akan menjadi persoalan.

Kedua; Adanya kesepakatan utama yang menunjukkan kerjasama di antara sesama manusia yang beragam. Inti pokoknya adalah bahwa setiap ajaran agama tunduk dan taat pada kesepakatan bersama.

Ketiga; adalah ketertiban umum. Bahwa tujuan beragama adalah menciptakan ketertiban umum di tengah kehidupan yang beragam.

Melembagakan suatu aktivitas budaya yang sudah berjalan lama seperti kerukunan umat beragama tentunya tidaklah mudah, karena menyangkut definisi yang bisa dipahami dan disepakati secara luas dengan berbagai latar belakang yang berbeda.

Tiga tolak ukur moderasi beragamapun sebenarnya masih bisa diperdebatkan secara akademis, tapi karena sudah dilembagakan, maka harus ada kegiatan sosialisasi, maupun program yang langsung menyentuh terhadap masyarakat.

Manusia Indonesia harus dilihat sebagai manusia Indonesia yang utuh, yang tidak boleh didiskriminasi dan dikotak-kotakan oleh status sosial, status etnis, status agama, status pilihan politik dan lain sebagainya. Ketika kita melihat manusia Indonesia sebagai manusia yang utuh dengan segi kemanusiaannya, maka perbedaan agama tidak akan menjadi persoalan sama sekali.

Kesepakatan-kesepakatan yang sudah dibuat harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh tanpa memandang golongan tertentu. Undang-undang dibuat untuk seluruh masyarakat, bukan hanya untuk golongan tertentu saja. Persamaan dalam hukum adalah kunci dari tolak ukur kedua yaitu tundauk dan patuh pada kesepakatan bersama.

Ketertiban umum hanya akan lahir dari keadilan sosial dan penegakan hukum yang berperikemanusiaan, adil dan beradab. Tanpa itu ketertiban umum hanya akan menjadi lip service dan diskusi-diskusi kosong pada seminar-seminar yang menghabiskan anggaran Negara.

Ketiga tolak ukur moderasi beragama harus benar-benar diwujudkan dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, dan bernegara. Ketika ada ketidakadilan, maka hati nurani akan memberontak, dan setiap orang mempunyai pembenaran. Orang yang tidak mendapatkan keadilan, dimana merasakan sulitnya mendapatkan keadilan, mereka biasanya akan mencari pembenaran kepada ayat-ayat suci, ditambah dengan adanya propaganda radikal.

Moderasi beragama jangan ditujukan kepada satu agama tertentu saja, karena setiap agama mempunyai potensi radikalisme dan ektrimisme bagi para pengikutnya.

Ramadhan selain bulan penuh berkah dan kasih sayang, juga bulan pendidikan untuk kita lebih moderat, yaitu dengan melihat manusia sebagai manusia yang tidak dibeda-bedakan oleh kotak-kotak kebudayaan. Menjadikan kita sebagai anggota masyarakat manusia yang berinteraksi dengan sesamanya dan taat hukum bersama, menumbuh kembangkan cinta (Loving) kepada sesama manusia, terutama kepada orang-orang yang tidak mampu dengan cara berempati untuk terus mengembangkan rasa cinta kepada manusia dan kemanusiaan.

Ramadhan melatih kita untuk menjadi dan merasakan kembali kebersamaan kita sebagai warga negara manusia dan kemanusiaan dengan cara lebih banyak berbagi (Sharing) kepada orang-orang, terutama bagi yang belum mendapatkan keadilan sosial.

Ramadhan juga harus melahirkan sikap dan sifat tahu akan kekurangan dan kelebihannya, dimana dibutuhkan saling memaafkan sesama manusia (forgiving) untuk hidup bersama.

Baca juga: Moderasi upaya hindarkan bahaya radikalisasi di kalangan milenial

Baca juga: Wapres berpesan moderasi harus jadi pedoman berbangsa dan bernegara



*) Nanang Sumanang adalah Guru Sekolah Indonesia Davao, Filipina