Sidang MK, Pemohon: KUHPer rugikan hak konstitusional masyarakat adat
20 April 2021 15:02 WIB
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi mempimpin sidang Pengujian Materiil KUHPer terhadap UUD 1945 yang disiarkan Mahkamah Konstitusi secara virtual di Jakarta, Selasa. (ANTARA/Muhammad Zulfikar)
Jakarta (ANTARA) - Pemohon pengujian materiil Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) terhadap UUD 1945 Wielfried Milano Maitimu mengatakan KUHPer merugikan hak konstitusional masyarakat adat sehingga perlu diujikan.
"Pemohon menyatakan bagian-bagian dan pasal-pasal a quo bertentangan dengan Pasal 18 B ayat 2 dan Pasal 28 I ayat 3 UUD 1945," kata dia pada sidang Pengujian Materiil KUHPer terhadap UUD 1945 yang disiarkan Mahkamah Konstitusi secara virtual di Jakarta, Selasa.
Berdasarkan Pasal 18 B ayat 2 yang berbunyi negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI.
Baca juga: AMAN Kapuas Hulu minta RUU pengakuan hak adat segara disahkan
Baca juga: Pemprov Kalteng luncurkan tata cara pengakuan masyarakat hukum adat
Baca juga: Sumpah Pemuda dan hukum adat
Dalam hal tersebut sistem pewarisan yang dianut oleh masyarakat hukum adat Ambon dinilai pemohon bertentangan dengan KUHPer. Seharusnya, sistem pewarisan merujuk kepada atau menggunakan aturan hukum adat setempat.
Menurut pemohon, hukum adat yang lebih tepat digunakan ialah hukum adat Ambon Lease dan tidak menggunakan atau merujuk pada KUHPer.
Alasannya, kembali kepada UUD bahwa negara telah mengakui dan menghormati identitas budaya dan hak masyarakat tradisional selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban serta prinsip NKRI.
"Saya pikir selama hukum kami tidak bertentangan NKRI maka seharusnya hukum kami yang diutamakan," ujar dia.
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Hakim Arief Hidayat tersebut pemohon menyampaikan pasal-pasal yang dipermasalahkan yakni pasal 831, 832, 833, 834, 849, 852, 852 A, 857, 862, 863, 864, 865, 867, 869, 872, 913, 914, 916, 916 A, 920 dan pasal 921.
Menurut pemohon seluruh pasal-pasal tersebut bertentangan dengan pasal Pasal 18 B ayat 2 dan pasal 28 I ayat 3. Pada sidang itu, Hakim Arief Hidayat mempertanyakan pemohon dirugikan secara faktual atau potensial.
"Kerugian secara faktual yang mulia," katanya.
Di satu sisi, ia mengatakan selama ini hukum adat masyarakat Ambon tidak tertulis. Kemudian setelah UU nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa lahir, hukum adat setempat mulai pudar.
Meskipun UU nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa telah dihapuskan dan diganti dengan UU Pemerintah Daerah yang terbaru, pengaturan terkait pewarisan di Ambon masih merujuk pada KHUPer.
"Pemohon menyatakan bagian-bagian dan pasal-pasal a quo bertentangan dengan Pasal 18 B ayat 2 dan Pasal 28 I ayat 3 UUD 1945," kata dia pada sidang Pengujian Materiil KUHPer terhadap UUD 1945 yang disiarkan Mahkamah Konstitusi secara virtual di Jakarta, Selasa.
Berdasarkan Pasal 18 B ayat 2 yang berbunyi negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI.
Baca juga: AMAN Kapuas Hulu minta RUU pengakuan hak adat segara disahkan
Baca juga: Pemprov Kalteng luncurkan tata cara pengakuan masyarakat hukum adat
Baca juga: Sumpah Pemuda dan hukum adat
Dalam hal tersebut sistem pewarisan yang dianut oleh masyarakat hukum adat Ambon dinilai pemohon bertentangan dengan KUHPer. Seharusnya, sistem pewarisan merujuk kepada atau menggunakan aturan hukum adat setempat.
Menurut pemohon, hukum adat yang lebih tepat digunakan ialah hukum adat Ambon Lease dan tidak menggunakan atau merujuk pada KUHPer.
Alasannya, kembali kepada UUD bahwa negara telah mengakui dan menghormati identitas budaya dan hak masyarakat tradisional selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban serta prinsip NKRI.
"Saya pikir selama hukum kami tidak bertentangan NKRI maka seharusnya hukum kami yang diutamakan," ujar dia.
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Hakim Arief Hidayat tersebut pemohon menyampaikan pasal-pasal yang dipermasalahkan yakni pasal 831, 832, 833, 834, 849, 852, 852 A, 857, 862, 863, 864, 865, 867, 869, 872, 913, 914, 916, 916 A, 920 dan pasal 921.
Menurut pemohon seluruh pasal-pasal tersebut bertentangan dengan pasal Pasal 18 B ayat 2 dan pasal 28 I ayat 3. Pada sidang itu, Hakim Arief Hidayat mempertanyakan pemohon dirugikan secara faktual atau potensial.
"Kerugian secara faktual yang mulia," katanya.
Di satu sisi, ia mengatakan selama ini hukum adat masyarakat Ambon tidak tertulis. Kemudian setelah UU nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa lahir, hukum adat setempat mulai pudar.
Meskipun UU nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa telah dihapuskan dan diganti dengan UU Pemerintah Daerah yang terbaru, pengaturan terkait pewarisan di Ambon masih merujuk pada KHUPer.
Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2021
Tags: