Moskow (ANTARA News/AFP) - Moskow hari Rabu mengecam sebagai tidak berdasar pernyataan Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton yang menggambarkan keberadaan Rusia di wilayah-wilayah separatis Georgia sebagai pendudukan.

"Istilah `pendudukan` yang digunakan Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton tidak berdasar dalam konteks ini," kata Kementerian Luar Negeri Rusia dalam sebuah pernyataan.

Dalam kunjungannya ke Georgia, Senin, Hillary mendesak Rusia mengakhiri "pendudukannya" atas wilayah-wilayah separatis Abkhazia dan Ossetia Selatan, yang diakui Moskow sebagai negara merdeka setelah perang singkat Rusia-Georgia pada 2008.

Washington dan Moskow telah berjanji tidak membiarkan perbedaan menyangkut Georgia mengganggu penataan lagi hubungan mereka yang diluncurkan oleh Presiden AS Barack Obama dan Presiden Rusia Dmitry Medvedev.

Namun, pernyataan kementerian Rusia itu merupakan salah satu kecaman paling keras Moskow terhadap Washington sejak skandal AS-Rusia meletus bulan lalu.

Kementerian Luar Negeri Rusia mengecam pernyataan Hillary yang mendesak Moskow menarik pasukan Rusia dari wilayah-wilayah separatis itu dengan mengatakan, Washington mengabaikan "kenyataan obyektif" baru.

"Tidak ada satu pun prajurit Rusia di wilayah Georgia. Ada kontingen militer Rusia namun di wilayah-wilayah Abkhazia dan Ossetia Selatan," katanya.

Kremlin mengakui kemedekaan wilayah-wilayah separatis Georgia yang didukung Moskow, Ossetia Selatan dan Abkhazia, pada 26 Agustus tahun 2008, beberapa pekan setelah pasukan Rusia mematahkan upaya militer Georgia menguasai lagi Ossetia Selatan.

Hubungan Rusia dengan Barat memburuk setelah perang singkat negara itu dengan Georgia.

Georgia menyatakan, perang itu dan pengakuan Moskow terhadap wilayah-wilayah tersebut sebagai negara merdeka merupakan pencaplokan atas wilayah kedaulatannya.

Pada 27 Agustus 2009, Presiden Rusia Dmitry Medvedev menegaskan bahwa Moskow tidak akan pernah membatalkan keputusannya mengakui Abkhazia dan Ossetia Selatan sebagai negara-negara yang merdeka dari Georgia.

Pasukan Rusia memasuki Georgia untuk mematahkan upaya militer Georgia menguasai lagi Ossetia Selatan pada 7-8 Agustus 2008. Perang lima hari pada Agustus itu meletus ketika Tbilisi berusaha memulihkan kekuasannya dengan kekuatan militer di kawasan Ossetia Selatan yang memisahkan diri dari Georgia pada 1992, setelah runtuhnya Uni Sovyet.

Georgia dan Rusia tetap berselisih setelah perang singkat antara mereka pada tahun 2008.

Ossetia Selatan dan Abkhazia memisahkan diri dari Georgia pada awal 1990-an. Kedua wilayah separatis itu bergantung hampir sepenuhnya pada Rusia atas bantuan finansial, militer dan diplomatik.

Georgia tetap mengklaim kedaulatan atas kedua wilayah tersebut dan mendapat dukungan dari Barat.

Pengakuan Moskow atas kemerdekaan kedua wilayah itu menyulut kecaman dari Georgia dan banyak negara Barat.

Rusia meresmikan pengakuannya atas kemerdekaan kedua wilayah Georgia yang memisahkan diri itu, Ossetia Selatan dan Abkhazia, pada 16 Januari 2009 ketika Presiden Dmitry Medvedev menerima duta-duta besar pertama mereka yang bersanding sejajar dengan para duta besar dari negara anggota NATO.

Nikaragua adalah negara pertama setelah Rusia yang memberikan "pengakuan penuh" kepada republik-republik Abkhazia dan Ossetia Selatan sebagai "anggota baru komunitas negara merdeka dunia".

Venezuela pada 10 September 2009 juga memberikan pengakuan penuh atas kemerdekaan kedua wilayah separatis Georgia itu.

Nauru, sebuah negara pulau kecil di kawasan Pasifik, mengikuti jejak Rusia mengakui kedua repubik itu sebagai negara-negara merdeka. (M014/K004)