London (ANTARA) - Bagi warga Muslim, makanan halal adalah sebuah keniscayaan. Oleh karena itu akses terhadap daging dan bahan makanan yang halal tentu menjadi hal yang sangat penting. Di negeri Inggris Raya yang warga Muslimnya hanya berjumlah sekitar 5 persen, berbelanja makanan halal ternyata tidak sesulit yang dibayangkan.

Apalagi di bulan Ramadhan, warga Muslim terbiasa buka puasa bersama keluarga. Variasi menu makanan membutuhkan aneka bahan makanan halal. Lalu, bagaimana warga Muslim Indonesia yang bermukim di Inggris mendapatkan makanan halal?

Siti Wahadi, seorang Muslimah yang tinggal di London, menyampaikan kepada ANTARA, Selasa (13/04), bahwa ia selalu belanja makanan halal satu kali dalam sepekan. Toko-toko daging halal yang tersebar di area London memudahkan konsumen untuk mengakses bahan makanan halal yang diinginkan.

“Saya selalu belanja makanan halal di toko Arab dan Turki, toko-toko ini sangat lengkap, semua halal dan kadang kadang ada makanan dari Asia, nama tokonya Cheam Arena, Groceries, letaknya di Worcester Park, Surrey, jaraknya hanya 10 menit dari rumahku. Kami sangat bahagia karena tidak pernah mengalami kesulitan untuk belanja makanan yang halal terutama daging, di samping itu dagingnya juga lebih murah dan bersih tempatnya,” kata Wahadi, yang juga pegiat pekerja migran di Inggris.

Baca juga: Busana muslim Indonesia ekspansi ke pasar Inggris
Baca juga: Tantangan Ramadhan bagi anak Muslim di Inggris


Wahadi mengaku terbiasa berbuka puasa bersama teman-teman atau tetangganya saat Ramadhan, namun aturan penguncian atau lockdown dari pemerintah Inggris membuat ia tidak dapat melakukan kebiasaannya itu tahun ini.

“Mengenai buka bersama, kalau tidak musim pandemi seperti saat ini, kita biasanya buka bersama di kantor KBRI London. Atau, ada juga di London Central Mosque, sebuah masjid di kawasan The Regent’s Park yang kita bisa menyelenggarakan buka bersama bersama sesama Muslim imigran dari berbagai negara, jadi itu senang sekali," katanya. Menurut bendahara di sebuah lembaga yang bergerak di bidang filantropi serta amil zakat, infak dan sedekah itu,
pada acara tersebut para peserta akan berbagi makanan yang di bawa dari rumah.

Di Inggris, makanan halal telah menjadi sebuah komoditas ekonomi yang menjanjikan. Data dari Agriculture and Holticulture Development Board (AHDB) pada Juni 2020, industri makanan halal telah meningkat pesat. Anggaran belanja orang-orang Inggris untuk makanan dan minuman halal, mencapai estimasi £4,64 juta (Rp92,6 miliar). Berdasarkan data itu, makanan dan minuman halal menempati 8 persen dari total belanja bahan makanan secara keseluruhan di Inggris Raya.
Sebuah toko makanan halal di kawasan Saint Mary, Southampton pada Selasa, 13 April 2021. (ANTARA/Munawir Aziz)


Meskipun jumlah populasi warga Muslim di Inggris sekitar 2.600.000 warga atau 5,02 %, namun konsumsi daging sapi halal mencapai 20% dari keseluruhan. Menurut laporan ADHB, konsumen makanan halal di Inggris menginginkan peningkatan jumlah barang, variasi makanan, sertifikasi hingga kualitas terbaik.

Ifan Rikhza Auladi, mahasiswa S2 di University of Exeter, mengungkapkan bahwa dirinya lebih senang membeli makanan halal yang mentah daripada yang sudah matang. Ia mengatakan akses pada makanan halal di Kota Exeter cukup mudah, sehingga bebas untuk memilih bahan yang siap dimasak.

“Kalau untuk bahan makanan halal seperti daging ada beberapa toko yang jual di Exeter. Untuk makanan matang belum pernah beli karena suasana lockdown dan berpikir ulang karena harganya mahal juga. Lebih baik dibelikan bahan makanan bisa untuk masak bersama teman,” ungkap Ifan yang menerima beasiswa santri dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).

Bagi mahasiswa seperti Ifan, konsumsi sehari-hari harus diatur supaya uang beasiswa cukup untuk kebutuhan dan bahkan bisa disimpan. Maka, mengelola anggaran belanja merupakan hal penting, sekaligus juga menjaga keseimbangan antara menyimpan dan membelanjakan uang, khususnya untuk makan dan liburan.

Bagi Ifan, yang berangkat tanpa keluarga ke Exeter, berkumpul bersama sesama warga Indonesia adalah salah satu cara untuk melepas kerinduan dengan keluarga di tanah air. Namun pandemi membuat ia hanya dapat menghabiskan waktu dengan teman-teman satu kos-nya mengingat jumlah mahasiswa Indonesia di Exeter yang tidak sebanyak di kota lain.

“Cerita dari teman-teman biasanya kumpul mahasiswa Indonesia tapi karena masih suasana pandemi jadi belum bisa terlaksana...Bagusnya... keakraban mudah terjalin hingga seperti saudara sendiri,” katanya.

Jamalia, Muslimah yang bermukim di Southampton Inggris mengisahkan bahwa komunitas Muslim di Inggris semakin menggeliat. “Saat ini, warga Muslim di Inggris semakin membesar jumlahnya. Kegiatan-kegiatan keislaman semakin menggeliat. Saya merasakan itu ketika membandingkan dari tiga tahun lalu, ketika saya pertama kali menginjakkan kaki di Inggris. Jadi, semakin tahun banyak agenda dan kegiatan dari komunitas Muslim di Inggris, terutama di Southampton,” kisah Jamalia yang juga mahasiswa S3 di bidang matematika, University of Southampton.

Menurutnya, untuk mendapatkan makanan halal cukup mudah di Inggris. “Bagi kami, cukup mudah mendapatkan makanan halal, baik daging maupun bahan makanan lain. Kami sering berbelanja ke kawasan Saint Mary, itu merupakan lokasi toko-toko halal yang dikelola orang-orang Pakistan. Selain itu, saya juga sering ke toko halal International Food di kawasan Portswood, Southampton," katanya.

Ia juga mengatakan bahwa kini toko-toko retail besar semisal Asda, Aldi maupun Liddle, telah menyediakan daging halal mengingat potensi konsumen yang semakin besar,

"Ini kan memudahkan kami untuk membeli,” kata Jamalia yang juga merintis start-up CodeforKids, platform untuk mendidik anak-anak belajar coding.

Bagi warga Muslim Indonesia di Inggris Raya, toko-toko makanan halal yang biasanya dikelola oleh orang Arab, Pakistan maupun Turki menjadi rujukan ketika berbelanja. Dan karena jumlahnya yang cukup banyak maka berbelanja makanan halal tidak pernah menjadi masalah bagi warga Muslim di Inggris.

Baca juga: Make-up Halal Kini Tersedia di Inggris
Baca juga: Delegasi Inggris tertarik dengan sistem kewirausahaan pesantren Jabar