Jakarta (ANTARA News) - Larangan ekspor rokok kretek ke Amerika Serikat yang berlaku sejak September 2009 berpotensi besar mengurangi perolehan devisa dari ekspor produk yang pada 2009 menyumbang 6,451 juta dolar AS itu.

"Devisa ekspor rokok kretek tahun ini anjlok sejak September tahun lalu," kata Direktur Penindakan dan Penegahan Ditjen Bea Cukai Frans Rupang di Jakarta, Senin.

Data Bea Cukai menyebutkan data ekspor hasil tembakau berupa Sigaret Kretek Mesin (SKM) ke AS tahun 2008 298.932.400 batang atau 6,662 juta dolar AS, dan tahun 2009 (sampai Agustus 2009) sebanyak 267.308.800 batang atau 6,451 juta dolar AS sementara tahun 2010 tidak tercatat atau nihil.

Ekspor rokok kretek ke AS, menurut Rupang juga memberikan kontribusi terbesar dalam ekspor rokok kretek Indonesia ke seluruh dunia sehingga dengan pelarangan itu maka nilai ekspor rokok kretek akan menurun jauh.

"Porsi terbesar yang ke AS itu, dan itu meresahkan eksportir pabrik rokok yang besar-besar itu dan ditakutkan nanti negara lain ikut-ikutan. Rokok kretek ini satu-satunya yang memproduksi adalah Indonesia," katanya.

Sebelumnya, Pemerintah Indonesia pada pekan lalu meminta Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) untuk memutuskan sengketa atas larangan penjualan rokok kretek Indonesia ke Amerika Serikat.

Washington telah melarang produksi dan penjualan rokok kretek berdasarkan undang-undang kesehatan yang juga menghalangi penjualan rokok beraroma lain seperti anggur, kopi atau stroberi, dalam upaya untuk mencegah kaum muda dari terjebak pada merokok.

Tapi Indonesia berpendapat bahwa tindakan itu tidak diterapkan secara seragam karena tidak mencakup rokok menthol.

"Indonesia tidak bisa mengerti kenapa rokok mentol dapat terus dijual sementara rokok kretek dilarang," kata seorang utusan Indonesia pada pertemuan Badan Penyelesaian Sengketa WTO.

Menggarisbawahi pentingnya industri rokok kretek terhadap negara, Pemerintah Indonesia mengatakan bahwa mata pencaharian lebih dari enam juta penduduk Indonesia bergantung langsung maupun tidak langsung pada produksi rokok tersebut.

Untuk itu, Pemerintah Indonesia dengan hormat meminta agar Badan Penyelesaian Sengketa membentuk panel untuk memeriksa masalah ini.

Permintaan itu ditolak oleh Amerika Serikat, yang mengatakan bahwa prematur bagi Indonesia untuk mencari arbitrase, mengingat bahwa Washington mempersiapkan sebuah laporan ilmiah yang berkaitan dengan masalah ini.

Berdasarkan prosedur WTO, responden negara dapat menghalangi permintaan pertama untuk panel. Tetapi jika permintaan itu harus diulang, WTO akan membentuk panel untuk memutuskan kasus ini.

(T.D012/S025/S026)