Jakarta (ANTARA) - Para pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) sebenarnya memiliki peluang besar di tengah keruntuhan begitu banyak usaha besar di masa pandemi COVID-19 dalam setahun terakhir. Namun faktanya kontribusi produk UMKM baru sekitar empat persen dari total nilai ekspor Indonesia.

Padahal ekspor UMKM sekaligus pula dapat menjadi pilihan solusi untuk memulihkan dan membangkit perekonomian bangsa ini setelah diterpa badai pandemi yang belum juga menemui titik akhirnya.

Meski begitu, segudang persoalan disadari mendera para pelaku UMKM yang tidak memungkinkan mereka untuk menembus, bahkan memasok pasar ekspor baik dari sisi hambatan permodalan, ketersediaan bahan baku, hingga peluang memperluas pasar.

Ketua Program Studi Hubungan Internasional Universitas Nasional, Jakarta, Dr Irma Indrayani SIP MSi mengatakan upaya globalisasi harus makin digencarkan terhadap 64 juta UMKM di Indonesia, karena angka tersebut mencapai 99 persen dari keseluruhan usaha yang beroperasi di Indonesia.

Meskipun banyak juga yang rontok, menurut Irma, UMKM terbukti lebih mampu bertahan menghadapi hantaman pandemi COVID-19 dalam setahun terakhir.

Bahkan kini banyak bermunculan UMKM-UMKM baru yang merupakan peralihan model bisnis dari usaha besar ke UMKM, juga beralihnya gelombang pekerja-pekerja yang terkena PHK yang beralih profesi menjadi pebisnis UMKM.

“Saat ini total ada sekitar 12.234 UMKM eksportir atau sekitar 83 persen dari jumlah eksportir,” kata Irma.

Namun UMKM nyatanya memang menghadapi sejumlah tantangan dalam upaya mereka menembus pasar global, di antaranya perubahan bisnis dari konvensional menjadi digital, pengendalian inflasi yang berpengaruh terhadap harga produk UMKM dan daya beli masyarakat, sampai terbatasnya kemampuan menembus akses pasar terutama untuk masuk ke platform digital.

Baca juga: YDBA ungkap UMKM tembus pasar ekspor dengan masuk pasar online


Kemitraan

Pengamat Kebijakan Ir Agus Muharram MSc mengakui meskipun jumlah UMKM sangat besar, namun kontribusinya terhadap ekspor sangat rendah atau hanya 14 persen.

Ia membandingkan dengan Singapura yang mencapai 41 persen, Malaysia 18 persen, Thailand 29 persen, atau Jepang yang mencapai 25 persen.

Hal ini, lanjut Agus, bukan saja karena masalah kualitas produk atau masalah marketing. Namun juga karena rendahnya tingkat kemitraan pelaku UMKM.

Tercatat sebanyak 93 persen nyatanya memang belum melakukan kemitraan, padahal kemitraan diperlukan tidak saja untuk menekan biaya produksi tetapi juga untuk memperluas akses ke pasar global.

Agus yang mantan pejabat Kemenkop UKM itu menilai kebijakan pemerintah terhadap UMKM sudah tepat, sekarang tinggal bagaimana UMKM memanfaatkannya untuk memperkuat kualitas produknya dalam menembus pasar ekspor.

Merespons fakta yang berkembang itu Dr Soleh Rusyadi Maryam dari Sucofindo mengutip data ekspor Kementerian Perdagangan (Kemendag) dari 2016-2020 mengingatkan perlunya bagi UMKM memilih fokus produksi yang didorong untuk menembus pasar ekspor.

Ia menyebut pangan olahan, hasil perkebunan, olahan hasil hutan, furnitur, kerajinan, perhiasan, hasil tenun rakyat, garmen, dan aksesoris garmen, dan alas kaki, merupakan produk yang terbukti memiliki pasar luar, dan kontribusinya selama ini terhadap ekspor Indonesia cukup besar.

“Ada 20 negara yang selama ini jadi tujuan ekspor produk tersebut mulai dari China, Amerika Serikat, Jepang, India, Singapura, Korea Selatan, Belanda, Jerman, Australia, Hong Kong, Italia, dan Spanyol,” ungkap Soleh.

Namun untuk bisa mengekspor produknya, doktor ekonomi lingkungan Universitas Indonesia itu setuju UMKM harus didukung sejak mulai dari masalah legalitas/perizinan, asesmen pasokan, pengembangan produk dan pengembangan kemasan produk, sertifikasi/labelisasi produk, branding/promosi, transaksi dan pengiriman, hingga masalah relasi dengan pelanggan.

Menurut dia, para pelaku UMKM harus didampingi dari mulai hilir hingga ke hulunya.

Baca juga: Dorong 500.000 eksportir,pelaku usaha diminta manfaatkan digitalisasi


Perlu kemudahan

Nyatanya memang, mendorong UMKM agar bisa menembus pasar ekspor tak semudah yang dibayangkan.

Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mengakui masih banyak pekerjaan rumah bagi pemerintah termasuk dalam hal mempermudah izin bagi UMKM yang akan melakukan ekspor.

“Memang izin-izin harus kita permudah, termasuk juga dukungan logistik. Sebagian besar UMKM ekspornya ritel dan kalau dari segi logistik dan keekonomian tidak masuk. Oleh karena itu, perlu agregator dalam hal ini untuk memecahkan soal logistik, termasuk dukungan pembiayaan,” kata Teten Masduki.

Teten melihat UMKM banyak memiliki produk potensial untuk diekspor, seperti hasil pertanian, perikanan, furnitur, dekorasi rumah, kosmetik, produk herbal, dan busana muslim.

Melihat potensi itu pihaknya menyatakan akan fokus menyiapkan kapasitas dan daya saing produk UMKM. Menurutnya, perlu dilakukan pendampingan berkelanjutan, karena UMKM kebanyakan membuat usaha bukan sepenuhnya untuk bisnis, tapi secara tidak sengaja.

Sayangnya dari sisi kemudahan selama ini ketika Indonesia ekspor ke negara lain selalu dipersulit dengan sertifikat atau dokumen-dokumen. Sebaliknya, ketika negara lain impor ke Indonesia justru dipermudah.

Oleh karena itu ke depan perlu peran pemerintah dibantu semua pihak terkait untuk mempermudah UMKM eksportir Indonesia saat akan mengurus kepentingan ekspor ke luar negeri.

Mendorong UMKM untuk ekspor memang tak semata soal banyak bicara namun juga kemauan untuk menyertakan sebuah kebijakan yang berpihak kepada para pelakunya. Sebab ekspor UMKM menjadi salah satu solusi paling mungkin untuk membangkitkan perekonomian di Tanah Air.

Baca juga: LPEI gandeng pemda kembangkan kapasitas pelaku UMKM