Jakarta (ANTARA) - Dalam hitungan hari umat Islam segera memasuki Bulan Suci Ramadhan 1442 Hijriah. Tahun ini, puasa bisa jadi lebih berat dibandingkan sebelumnya karena pandemi COVID-19 masih terjadi.

Pandemi berdampak terhadap berbagai sektor kehidupan masyarakat baik dari sisi sosial maupun ekonomi. Silaturahim terputus karena harus menjaga jarak, murid-murid terpaksa belajar dari rumah, harga-harga melambung dan pendapatan menurun hingga banyak yang kehilangan mata pencarian.

Untuk menyikapi permasalahan tersebut, dan apa saja yang perlu dipersiapkan kaum Muslimin menjelang Ramadhan, simak tanya jawab mengenai hal itu bersama Ustadz Mahbub Maafi Ramdlan, Wakil Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU:

Menjelang Ramadhan 1442 Hijriah, apa saja yang perlu dipersiapkan oleh seorang Muslim? Terlebih kondisi saat ini masih diliputi suasana keprihatinan pandemi COVID-19, khususnya bagi saudara-saudara kita yang terkena dampaknya. Belum lagi menjelang Ramadhan harga-harga kebutuhan pokok terus merangkak naik.
​​​​​

Ramadhan merupakan bulan istimewa bagi kaum Muslimin. Di bulan itulah kaum Muslimin yang sudah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan syariat Islam berkewajiban menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Untuk menyambutnya ada beberapa hal yang dapat dilakukan. Di antaranya adalah memperbanyak puasa di bulan Sya’ban sebagai persiapan menghadapi puasa Ramadhan. Selanjutnya adalah memberikan tahni`ah atau menggembirakan sesama muslim dengan datangnya bulan Ramadhan, sebagaimana dilakukan Rasulullah SAW melalui sabdanya;

“Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang diberkati, bulan dimana Allah SWT mewajibkan kalian berpuasa. Dalam bulan itu, pintu-pintu langit dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu. Pada bulan itu terdapat satu malam yang nilainya lebih baik dari seribu bulan…” (HR. an-Nasai).

Puasa tahun ini mungkin akan terasa lebih berat, mengingat bangsa Indonesia sampai detik ini belum terbebas dari pandemi COVID-19 yang telah memberikan efek kerugian besar, baik dari sisi ekonomi maupun sosial.

Belum lagi menjelang memasuki bulan puasa aneka harga barang, mulai dari barang yang menjadi kebutuhan pokok sampai jajanan pinggir jalan harganya terkerek naik. Kenaikan harga ini salah satunya adalah karena dipicu oleh meningkatnya kebutuhan masyarakat di bulan puasa. Sementara pasokan barang tidak seimbang dengan permintaan yang ada. Inilah norma hukum pasar yang berlaku.

Pada dasarnya kebutuhan masyarakat itu sendiri bisa dikategorikan menjadi dua bagian. Pertama adalah kebutuhan yang memang sebenarnya masyarakat membutuhkannya. Seperti sembilan bahan pokok.

Kedua, kebutuhan yang sebenarnya masyarakat tidak membutuhkannya, tetapi kebutuhan ini sengaja diciptakan oleh pasar sehingga masyarakat dibuat membutuhkannya. Seperti kebutuhan akan baju baru, perhiasan, sampai kebutuhan akan jajanan pasar seperti kolak dan gorengan.

Pada titik inilah kita mesti melakukan perenungan yang lebih mendalam tentang makna puasa itu sendiri. Secara sederhana pengertian puasa adalah pengendalian diri dari syahwat perut dan bawah perut (al-imsâk ‘an asy-syahwatain) mulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari.

Pengertian ini pada dasarnya dipahami dari firman Allah SWT sebagai berikut;
“Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima tobatmu dan memaafkan kamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu. Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam…” (QS. Al-Baqarah [2]: 178)

Bagaimana seorang Muslimin menyikapi kenaikan harga tersebut agar bisa menjalankan ibadah puasa dengan khusyuk?
​​​​​​
Dalam puasa, seorang Muslim sebenarnya sedang ditempa untuk menjadi sosok yang mampu mengendalikan diri, sabar, tabah, memiliki daya tahan mental maupun fisik yang kuat dan solidaritas sosial, sehingga puncaknya adalah menjadi manusia yang bertakwa.

Pengendalian diri dalam konteks ini bisa diperluas maknanya menjadi pengendalian diri terhadap apa yang menjadi kebutuhannya dan pengendalian diri terhadap kebutuhan yang sengaja diciptakan oleh pasar.

Dari sinilah sejatinya seseorang yang berpuasa semestinya mampu mengendalikan syahwat konsumtifnya sehingga kenaikan harga berbagai macam aneka barang kebutuhan pokok maupun non-pokok dapat diinterupsi.

Tetapi jika syahwat konsumtifnya orang berpuasa tidak bisa dikendalikan, maka jangan persalahkan Tuhan jika kelak ia tidak mendapatkan apa-apa dari jerih payah puasanya kecuali hanya lapar dan dahaga. *