Jakarta (ANTAR News) - Panas menyengat, tidak hanya pada sinar matahari tetapi juga angin yang berhembus, membuat perih di kulit, juga di mata. Dikabarkan suhu kota Madinah bisa mencapai 40 derajat celcius di siang hari.
Tapi, lihatlah, panas itu tidak menghentikan kaum muslimin mendatangi Masjid Nabawi. Masjid terbesar di kota kurma yang dalam satu dekade ini terus mengalami perluasan karena ada program pelebaran di sisi kiri arah kiblat.
Masjid yang semula hanya sebuah bangunan kecil, di sebelah rumah Rasulullah Muhammad SAW setelah hijrah ke Yastrib (Madinah) itu mengalami perluasan berulang kali.
Petak kecil, awal mula masjid kini ditandai dengan karpet hijau lumut muda bercorak bunga. Tempat ini menjadi tempat favorit bagi jemaah umroh dari berbagai negara. Tempat itu bernama Raudah.
Diyakini siapa yarg berdoa di tempat ini, insyaallah, akan dikabulkan Allah. Oleh karena itu tidak sedikit jemaah yang ingin shalat, berdoa dan menyatakan penyesalannya serta berjanji akan menjadi muslim yang baik ke depan.
Tidak hanya itu, doa juga dipanjatkan untuk sanak keluarga, kerabat, handai tolan, usaha, karier, dan mohon barokah bagi umat muslim lainnya.
Di sebelah kiri Raudah (arah kiblat) terdapat makam Nabi Muhammad beserta dua sahabat dekatnya, yakni Abu Bakar Ashiddiq dan Umar bin Khatab. Dahulu ini adalah rumah Nabi bersama Aisyah (putri Abu Bakar).
Setelah Nabi berpulang, Abu Bakar ingin dikuburkan dekat dengan orang yang sangat dicintainya, Muhammad, maka dua sahabat itu dimakamkan berdekatan, dalam rumah Siti Aisyah.
Menjelang ajalnya tiba, Umar (Amirul Mukminim) meminta ijin kepada Aisyah agar dibolehkan dimakamkan dekat dua sahabatnya, Nabi Muhammad dan Abu Bakar. Tempat yang semulanya diperuntukan Aisyah bagi dirinya, direlakan untuk jasad Umar.
Kini makam tersebut ramai diziarahi oleh jemaah Masjid Nabawi. Makam dan Raudah kini menjadi petak kecil diantara kolom-kolom masive masjid nabi.
Petugas keamanan berseragam hijau kecoklat-coklatan, bersama petugas berbaju gamis mengatur agar setiap jemaah mendapat kesempatan shalat dan berdoa di Raudah, juga melintas di depan makam untuk sekadar mengucapkan salam.
<i>Sang "Penjaga"</i>
Masjid yang terasa seluas lapangan sepak bola itu membutuhkan "penjaga" untuk merawatnya. Dari sekian ratus perawatnya, sekitar 150 diantaranya adalah tenaga kerja Indonesia ((TKI).
Mereka menjaga agar masjid berlangit-langit indah dengan kolom melengkung dan berhiasan corak bersepuh emas itu tetap bersih, Al Qur'an tertata kembali setelah dibaca dan air zam-zam di tong-tong bundar berwarna coklat tetap terisi.
Usman (40) adalah satu diantara seratusan TKI yang bekerja di masjid yang kubah aslinya berwarna hijau itu. Dia bertugas menjaga agar air zam-zam selalu tersedia.
Pria beranak dua remaja itu berasal dari Pandegalang, Banten, itu mengenakan seragam hijau tua, bertopi haji, kumis dicukur dan janggut tipis tertata rapih. Sudah tiga tahun dia bekerja di Masjid Nabawi.
Dikatakan ringan, kerjanya cukup berat karena harus mangangkat dan mengatur tong-tong air zam-zam tetap terisi. Sukanya, dia sudah berhaji dua kali.
Ini adalah kontraknya kedua. Dia ingin berhenti bekerja di Saudi tiga tahun lagi. Masa itu dinilainya cukup untuk mengajak keluarganya berhaji. Upah yang diterimanya 529 real. Satu real sekitar Rp2500.
Lain lagi dengan Mastur Husin (23). Pria berwajah "baby" itu hanya tamatan tsanawiyah salafi (sekolah pesantren non kelas). Dia juga sudah tiga tahun bekerja di masjid bertenda indah kiri, kanan dan belakang halamannya itu.
Dia seangkatan dengan Usman, tetapi lain pekerjaan. Husin bertugas membersihkan lantai jika air zam-zam yang diminum jemaah berceceran. Ditangannya selalu tergenggam tongkat pel untuk membersihkan lantai.
Masa yang sulit dalam bekerja, menurut pria berpostur kecil dan kulit kuning kemerah-merahan itu, adalah saat shalat tarawih, di bulan Ramadhan.
Cobaannya, jika ada jemaah shalat (biasanya orang tua) terkencing atau muntah karena ayat yang dibaca panjang-panjang. Biasanya imam shalat tarawih ingin di akhir Ramadhan semua surah Al Qur'an tuntas dibaca.
Husein dan teman-temannya harus segera membersihkannya. Karpet tempat shalat harus segera diganti saat itu juga. Itu pula alasannya, dia dan petugas lainnya tidak boleh ikut shalat tarawih bersamaan karena harus melayani jemaah yang bermasalah tertsebut.
Sukanya, namanya cukup tenar di kampung karena termasuk orang yang beruntung melayani Masjid Nabawi. Secara materi gaji diterimanya sama dengan yang lainnya.
Bekerja setahun dengan tiga tahun, sama upahnyan Rp529 real perbulan. Meski demikian, dia optimis bisa membiayai kedua orang tuanya berhaji.
Husein menyatakan baru berhenti bekerja jika kedua orang tua sudah menunaikan ibadah haji.
TKI lainnya adalah Aiman (31) asal Warung Konang, Cianjur, Jawa Barat. Bapak dari seorang anak (4 tahun) itu sebelumnya bekerja di Mesjid Quba selama empat bulan, kemudian dipindahkan ke Masjid Nabawi.
Bulan ini adalah bulan ketiga, Aiman bekerja di Masjid Nabawi. Tugasnya relatif sederhana, mengembalikan Al Qur'an yang dibaca jemaah ke tempatnya semula.
Seperti, Husein, Aiman juga hanya tamat SD. Dia memuji Ibu Wiwied, pemilik PT Tipar Atmanko yang tidak pilih pilih latar belakang pendidikan calon TKI-nya.
Menurut Aiman, Wiwied lebih memilih tekad bekerja dan ingin maju daripada pendidikan formal yang dimiliki calon TKI-nya.
Tugas Aiman terkesan sederhana, karena hanya menata Al Qur'an yang bertserakan setelah dibaca jemaah. Namun dalam kontes ibadah, membaca kitab suci di Masjid Nabawi sangat dianjur selama di dalamid.
Karena itu, mendapatkan Al Qur'an pada tempatnya sangat membantu jemaah. Pada praktiknya, sebagian besar jemaah masjid membaca Al Qur'an saat menanti shalat fardhu atau setelahnya.
Ketua Himpunan Pengusaha Jasa TKI (Himsataki) Yunus M Yamani mengatakan sudah sejak lama PT Tipar Atmanko yang memasok TKI untuk keperluan Masjid Nabawi, dan kebutuhan lainnya, temasuk tenaga kerja hotel dan restauran.
Khusus, untuk kebutuhan Masjid Nabawi, Yunus membei apresiasida PT Tipar. Semakin banyak orang Indonesia yang melayani jemaah di masjid itu akan lebih baik karena akan mengharumkan nama Indonesia.
Masjid yang dikunjungi jemaah dari banyak negara dirawat dan dijaga selama 24 jam oleh orang Indonesia.
Hari masih gelap ketika azan subuh pertama berkumandang pada pukul 03.00 dini hari. Jemaah masjid mulai berdatangan dari segala penjuru.
Kantuk yang menggantung di kelopak mata terasa hilang ketika udara hangat musim panas menerpa wajah. Shalat subuh lebih baik dari pada tidur terlihat wujudnya di masjid luas serasa lapangan sepak bola itu.
Ketika takbir pertama tanda shalat subuh dimulai, saf-saf panjang, berbaris hingga ke belakang terisi penuh. Jemaah ingin mengejar sorga seperti yang dikabar Rasulullah Muhammad SAW sekitar 1400-an tahun lalu.
Jika masjid itu terawad, bersih dan nyaman, ada andil tenaga kerja Indonesia di dalamnya. Mereka adalah perawat dan penjaga Rumah Allah yang sesungguhnya.(*)
(E007/R009)
Para "Penjaga" Masjid Nabawi
23 Juni 2010 19:28 WIB
Oleh Oleh Erafzon SAS
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010
Tags: