Jakarta (ANTARA News) - Direktur Eksekutif Econit Hendri Saparini mengatakan bahwa tanpa adanya cetak biru pembangunan dan industri, ekonomi Indonesia akan berantakan menghadapi perdagangan bebas.

"Ekonomi tumbuh kuat, tapi berantakan sekali. Kue ekonomi yang tumbuh itu tidak mampu mensejahterakan rakyat, malah justru dinikmati oleh investor asing," katanya dalam diskusi di Gedung PB NU, Jakarta, Rabu.

Hendri menilai, liberalisasi perdagangan membuat kehancuran industri disektor riil Indonesia. Namun disisi lain, pemerintah tidak memikirkan bagaimana industri yang hancur itu akan dialihkan.

"Kita tidak punya cetak biru itu, misalnya industri yang sunset dan mereka yang terkena akibatnya dari perdagangan bebas akan dialihkan ke industri lainnya, atau ada masa transisi untuk itu. Yang terjadi ya sudah, mati-mati aja, nanti paling akan mencari tempat lain sendiri, ini kan tidak benar, membiarkan industri nasional mati," katanya.

Ia menambahkan, semua negara tidak seliberal Indonesia. Untuk meliberalisasi perdagangan, Menurut Hendri negara-negara seperti Jepang, China dan negara maju lainnya telah menyiapkan lebih dulu perangkatnya dan persiapannya.

"Ada fase-fasenya, mereka menyiapkan bila ada industri sunset, maka indutri yang sunset dibawa kemana, akan dialihkan kemana," katanya.

Bahkan di China, untuk memperkuat kemampuan industrinya sebelum masuk dalam liberalisasi perdagangan, ia mematok mata uangnya yuan dalam nilai yang rendah sehingga menjadi kompetitif.

Setelah kompetitif dan mampu menguasai pasar, Chinapun tidak segera melepas mata uangnya, namun melakukan sedikit revaluasi.

"Jadi tidak ada yang namanya membiarkan industri nasional mati, hanya Indonesia saja yang sangat liberal," katanya.

Ia pun menambahkan, adanya perdagangan bebas akan memicu tumpang tindih kebijakan. Hal ini karena tekanan dari luar sangat kuat. Alhasil, kebijakan pembangunan akan mengalami kebingungan.

Ia mencontohkan soal kebijakan gas dimana menteri perdagangan memilih di ekspor sementara menteri perindustrian menginginkan untuk kebutuhan industri domestik.

"Kita jadi kebingungan. Kita butuh gas untuk industri dalam negeri tapi ekspor gas juga terus didengungkan untuk menambah devisa. Ekspor jelas untuk memenuhi pasar internasional," katanya.

Ia pun menambahkan, hingga saat ini kemampuan Indonesia meningkatkan ekspor baru pada migas dan energi. Sementara China memilih memendam sendiri minyak dan gasnya untuk kebutuhan di dalam negeri.

(T.M041/R010/S026)