Hingga pertengahan Juni, curah hujan di berbagai daerah tetap tinggi. Disertai kilat dan guntur, hujan bisa turun dari malam hingga dini hari yang mencirikan karakter cuaca di puncak musim hujan dan biasa terjadi selama Januari.

Iklim sekarang mungkin sudah berubah, dan pantas disebut kemarau basah.

Catatan World Meteorological Organization (WMO) dan lembaga antariksa Amerika NASA menyebutkan, April 2010 adalah April terpanas sepanjang sejarah.

Lebih lanjut NASA menyebutkan, Januari-April 2010 adalah periode serupa terpanas sepanjang sejarah, dan apabila trend tahun ini terus berlangsung, maka bisa jadi 2010 menjadi tahun terpanas sepanjang sejarah iklim dunia.

Yang perlu diwaspadai, demikian NASA, trend ini terjadi ketika siklus matahari tidak di puncak maksimum, sehingga dalam dua tahun lagi di mana siklus maksimum radiasi matahari terjadi, puncak catatan baru ini menjadi tahun terpanas.

Sebagai dekade terpanas, maka hampir priode 2000 - 2009 adalah rekor panas suhu bumi dengan urutan tahun 2005, 2009 dan kelompok tahun panas lainnya yang serupa yaitu 1998, 2002, 2003, 2006 dan 2007.

NASA mencatat, sejak 1880, total pemanasan suhu global sudah mencapai 0,8ºC.

Pergeseran suhu muka bumi ini juga terasa di wilayah perairan Indonesia. Dan meski saat ini tak berada di fase La Nina dan bukan pula fase Madden Jullian Oscillation aktif, curah hujan bulan Juni di wilayah Indonesia sangat tinggi.

Penyebab utamanya adalah tingginya suhu muka laut di wilayah Indonesia. Menurut catatan mingguan yang dikeluarkan Biro Meteorologi Australian (BoM), suhu muka laut di wilayah Indonesia berada pada nilai 1ºC di atas rata-rata normalnya.

Besaran anomali ini sangat tinggi karena fluktuasi suhu muka laut wilayah Indonesia hanya sekitar 6 ºC atau mendekati seperlimanya.

Implikasinya, terjadi perubahan pola penguapan di mana suhu laut yang lebih tinggi akan memberikan potensi penguapan yang lebih besar dan akhirnya bakal memberikan tingkat curah hujan yang tinggi pula.

Pemanasan global tercipta akibat energi sinar radiasi terperangkap oleh gas rumah kaca yang semestinya terpancar ke luar angkasa.

Energi yang terperangkap ini akan berada di atmosfer bumi untuk kemudian memanaskan permukaannya. Menurut hukum kekekalan energi, energi yang berada di suatu tempat tidak akan hilang melainkan hanya berubah bentuk menjadi energi lainnya.

Energi yang terakumulasi di atmosfer itu dapat menjadi energi kalor dalam bentuk meningkatnya suhu muka bumi atau berubah menjadi energi gerak (kinetis) dalam bentuk angin kencang, puting beliung dan siklon tropis skala tinggi atau menjadi energi berat (potensial) yang menurunkan lebih banyak hujan dari langit karena efek gravitasinya.

Hal itu sedang terjadi kini. Sejalan dengan penemuan ilmuwan Australia Paul Durrack dan Susan Wijffels yang menemukan potensi iklim lebih basah di wilayah tropis dan potensi iklim lebih kering di wilayah subtropis berdasarkan analisis trend salinitas muka laut global, maka potensi iklim yang mungkin terjadi di wilayah Indonesia adalah kemarau basah.

Dalam catatan penulis, tahun 2003, 2005, 2007 dan 2008 serta mungkin 2010 adalah tahun-tahun di mana kemarau basah terjadi (Kompas, 13 Agustus 2007).

Peristiwa pergeseran suhu muka laut di atas 1ºC rata-rata normalnya, akan menyebabkan pola curah hujan lokal bergeser.

Apabila tahun 2010 menjadi tahun terpanas sepanjang catatan, maka pola curah hujan wilayah Indonesia sepanjang 2010 akan total berubah.

Pola hubungan suhu muka laut berbanding luru dengan pola hujan lokal, di mana peningkatan suhu muka laut di bawah suhu laut kritis 29.6 ºC akan mengakibatkan meningkatnya curah hujan lokal.

Di atas suhu kritis tersebut, curah hujan tidak akan meningkat melainkan menurun karena peningkatan penguapan laut memberikan efek pendinginan mengingat adanya perubahan fase air dari cair ke gas.

Akhirnya, penguapan suhu laut yang tinggi akan sulit terbentuk. Konsekuensinya, pada awal puncak musim hujan seperti bulan Desember, kita mengalami periode jeda (break) musim hujan sebagaimana dialami dalam beberapa tahun belakangan.

Di sini jelas terlihat bagaimana efek pemanasan global dapat mengganggu pola iklim tahunan, terutama di negara maritim seperti Indonesia.

Tentu saja sulit memprediksi iklim dengan memakai sifat rata-rata seperti selama ini dilakukan, karena besaran statistik iklim telah berubah.

Untuk mengantisipasi lonjakan anomali iklim yang disebabkan oleh pemanasan muka air laut wilayahnya, maka sudah saatnya Indonesia memiliki program nasional pemantauan dan analisis iklim laut Indonesia serta menerapkan model iklim laut skala tinggi yang dapat mendeteksi perubahan iklim hingga beberapa bulan ke muka.

Dalam diskusi dengan NOAA pada pertemuan Executive Council WMO di Jenewa beberapa waktu lalu, Indonesia disarankan melakukan juga pemantauan kondisi bawah muka laut wilayahnya dengan menggunakan peralatan pemantau dasar laut seperti buoy yang dipasang di perairan Indonesia.

Perubahan iklim laut yang terjadi akan lebih awal dipantau apabila dinamika struktur laut dimonitor secara jelas.

Program pemodelan iklim laut yang operasional untuk wilayah Indonesia sendiri masih impian.

Karena wilayah maritimnya begitu luas dan pulau-pulau kecilnya tersebar di berbagai wilayah, tingkat kesulitan pemodelan iklim laut untuk wilayah benua maritim sangat tinggi, terutama ketika memprediksi iklim di masa depan.

Tindakan itu membutuhkan masukan dinamika laut global dan idealnya ditempuh lewat pemodelan global dengan mempertegas kemampuan resolusi model pada wilayah benua maritim. (*)

(**) Kepala Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara BMKG, dan "Lead Author" IPCC AR5