ACB sebut investasi keanekaragaman hayati penting bagi kesehatan
8 April 2021 07:15 WIB
FOTO ARSIP - Pelajar asal Groenhorst College, Belanda melakukan pengamatan keanekaragaman hayati tumbuhan yang berada di Situgunung, Kecamatan Kadudampit, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. (FOTO ANTARA/Aditya Rohman).
Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Pusat Keanekaragaman Hayati ASEAN (ASEAN Center for Biodiversity/ACB) Dr Theresa Mundita S. Lim menyatakan berinvestasi dalam keanekaragaman hayati menjadi bagian penting terhadap kesehatan manusia.
"Kami telah melihat bagaimana COVID-19 telah mengungkap hubungan yang rapuh antara manusia dan alam," katanyadalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis.
Tepat pada peringatan Hari Kesehatan Sedunia yang diperingati setiap tanggal 7 April, ia menilai tema "Building a fairer, healthier world" (Membangun dunia yang lebih adil dan lebih sehat) adalah pengingat yang tepat bahwa kesehatan adalah dasar dari pemulihan ekonomi dan kemakmuran.
Untuk mencapai hal itu, kata dia, diperlukan investasi yang sesuai di alam dan keanekaragaman hayati.
Di kawasan ASEAN, kata dia, hingga 31 Maret 2021 pandemi COVID-19 telah merenggut sebanyak 58.589 jiwa, dengan 2.827.782 kasus yang dikonfirmasi sejak tahun 2020.
Namun, katanya, akhir pandemi tampaknya belum terlihat seiring dengan gelombang baru infeksi yang melanda beberapa bagian dunia dan ancaman penyakit baru yang muncul.
Ia menilai bahwa keanekaragaman hayati sangat berharga dalam memastikan kesehatan bagi semua.
Disampaikannya bahwa keanekaragaman hayati yang sehat meliputi keragaman genetik, spesies, dan ekosistem adalah komponen vital, karena tidak hanya membangun ketahanan dari penyakit, tetapi juga mempersempit kesenjangan sistem kesehatan.
Dengan keanekaragaman hayati yang kurang sehat, menurut dia, manusia berada pada risiko besar. Ia merujuk laporan pandemi COVID-19 terbaru dari Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES) yang memperingatkan tentang bagaimana peningkatan aktivitas manusia mendorong risiko pandemi.
"Laporan tersebut mengidentifikasi eksploitasi lingkungan yang tidak berkelanjutan karena perubahan penggunaan lahan, perluasan pertanian, perdagangan, dan konsumsi satwa liar yang mengganggu interaksi alami antara satwa dan mikroba mereka," katanya.
Di ASEAN, kata dia, penyakit kardiovaskular, masalah pernapasan kronis, dan diabetes merupakan penyebab utama kematian.
"Ini sebagian besar didorong oleh kurangnya akses makanan dan keanekaragaman makanan, lingkungan yang aman, dan gaya hidup aktif. Oleh karena itu, sangat penting bahwa lingkungan yang mendukung menjamin ekosistem yang sehat," katanya.
ASEAN, lanjut dia, merupakan rumah bagi beragam spesies tanaman obat, dalam mengatur dan mengelola sumber daya ini menekankan keterkaitan yang kuat antara kesehatan manusia dan keanekaragaman hayati.
"Misalnya, Senna alata atau akapulko, tanaman obat yang ada di enam negara anggota ASEAN memiliki sifat antiradang, antijamur, dan lain-lain," katanya.
Kemudian, terdapat juga Euphorbiaceae atau prakplae di Kamboja, digunakan sebagai obat alami untuk diabetes dan gangguan pencernaan.
Selain manfaat pengobatan dan kesehatan, sumber daya obat yang ditemukan di alam juga memberikan penghasilan tambahan dan mata pencaharian bagi banyak komunitas.
"Segala bentuk investasi dalam keanekaragaman hayati dan kesehatan masyarakat tidak akan pernah sia-sia. Manfaat nyata dari melindungi ekosistem dan keanekaragaman hayatinya tidak dapat dihitung dan dapat dinikmati oleh generasi ke generasi," demikia Theresa Mundita S. Lim.
Baca juga: Menristek dukung pengembangan imunomodulator berbasis biodiversitas
Baca juga: Emil Salim sebut ada ancaman kemunduran keanekaragaman hayati
Baca juga: ASEAN bahas peningkatan upaya pengelolaan kawasan lindung
Baca juga: LIPI: Indonesia jadi perpustakaan besar untuk penemuan obat baru
"Kami telah melihat bagaimana COVID-19 telah mengungkap hubungan yang rapuh antara manusia dan alam," katanyadalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis.
Tepat pada peringatan Hari Kesehatan Sedunia yang diperingati setiap tanggal 7 April, ia menilai tema "Building a fairer, healthier world" (Membangun dunia yang lebih adil dan lebih sehat) adalah pengingat yang tepat bahwa kesehatan adalah dasar dari pemulihan ekonomi dan kemakmuran.
Untuk mencapai hal itu, kata dia, diperlukan investasi yang sesuai di alam dan keanekaragaman hayati.
Di kawasan ASEAN, kata dia, hingga 31 Maret 2021 pandemi COVID-19 telah merenggut sebanyak 58.589 jiwa, dengan 2.827.782 kasus yang dikonfirmasi sejak tahun 2020.
Namun, katanya, akhir pandemi tampaknya belum terlihat seiring dengan gelombang baru infeksi yang melanda beberapa bagian dunia dan ancaman penyakit baru yang muncul.
Ia menilai bahwa keanekaragaman hayati sangat berharga dalam memastikan kesehatan bagi semua.
Disampaikannya bahwa keanekaragaman hayati yang sehat meliputi keragaman genetik, spesies, dan ekosistem adalah komponen vital, karena tidak hanya membangun ketahanan dari penyakit, tetapi juga mempersempit kesenjangan sistem kesehatan.
Dengan keanekaragaman hayati yang kurang sehat, menurut dia, manusia berada pada risiko besar. Ia merujuk laporan pandemi COVID-19 terbaru dari Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES) yang memperingatkan tentang bagaimana peningkatan aktivitas manusia mendorong risiko pandemi.
"Laporan tersebut mengidentifikasi eksploitasi lingkungan yang tidak berkelanjutan karena perubahan penggunaan lahan, perluasan pertanian, perdagangan, dan konsumsi satwa liar yang mengganggu interaksi alami antara satwa dan mikroba mereka," katanya.
Di ASEAN, kata dia, penyakit kardiovaskular, masalah pernapasan kronis, dan diabetes merupakan penyebab utama kematian.
"Ini sebagian besar didorong oleh kurangnya akses makanan dan keanekaragaman makanan, lingkungan yang aman, dan gaya hidup aktif. Oleh karena itu, sangat penting bahwa lingkungan yang mendukung menjamin ekosistem yang sehat," katanya.
ASEAN, lanjut dia, merupakan rumah bagi beragam spesies tanaman obat, dalam mengatur dan mengelola sumber daya ini menekankan keterkaitan yang kuat antara kesehatan manusia dan keanekaragaman hayati.
"Misalnya, Senna alata atau akapulko, tanaman obat yang ada di enam negara anggota ASEAN memiliki sifat antiradang, antijamur, dan lain-lain," katanya.
Kemudian, terdapat juga Euphorbiaceae atau prakplae di Kamboja, digunakan sebagai obat alami untuk diabetes dan gangguan pencernaan.
Selain manfaat pengobatan dan kesehatan, sumber daya obat yang ditemukan di alam juga memberikan penghasilan tambahan dan mata pencaharian bagi banyak komunitas.
"Segala bentuk investasi dalam keanekaragaman hayati dan kesehatan masyarakat tidak akan pernah sia-sia. Manfaat nyata dari melindungi ekosistem dan keanekaragaman hayatinya tidak dapat dihitung dan dapat dinikmati oleh generasi ke generasi," demikia Theresa Mundita S. Lim.
Baca juga: Menristek dukung pengembangan imunomodulator berbasis biodiversitas
Baca juga: Emil Salim sebut ada ancaman kemunduran keanekaragaman hayati
Baca juga: ASEAN bahas peningkatan upaya pengelolaan kawasan lindung
Baca juga: LIPI: Indonesia jadi perpustakaan besar untuk penemuan obat baru
Pewarta: Zubi Mahrofi
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2021
Tags: