Tertangkapnya Samin Tan setelah hampir satu tahun buron
Oleh Benardy Ferdiansyah
5 April 2021 19:26 WIB
Dokumentasi - Pemilik perusahaan pertambangan PT Borneo Lumbung Energi dan Metal (BLEM) Samin Tan (SMT), tersangka kasus korupsi pengurusan terminasi kontrak Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambagan Batubara (PKP2B) PT Asmin Koalindo Tuhup (AKT) di Kementerian ESDM. ANTARA/Benardy Ferdiansyah/am.
Jakarta (ANTARA) - Pemilik PT Borneo Lumbung Energi dan Metal, Samin Tan, yang merupakan tersangka kasus dugaan suap pengurusan terminasi kontrak Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara PT Asmin Koalindo Tuhup di Kementerian ESDM telah ditangkap tim penyidik KPK, Senin.
Ia sebelumnya telah dimasukkan dalam status Daftar Pencarian Orang (DPO) sejak 17 April 2020. Artinya, Tan telah menjadi buronan hampir satu tahun.
Terkait penerbitan DPO, Tan awalnya tidak menghadiri panggilan pemeriksaan sebagai tersangka sebanyak dua kali.
Pertama, tidak datang dan tidak memberikan alasan yang patut dan wajar atas panggilan KPK untuk hadir pada 2 Maret 2020. Padahal, KPK telah mengirimkan surat panggilan pada 28 Februari 2020.
Kemudian, KPK mengirimkan kembali surat panggilan kedua pada 2 Maret 2020 untuk pemeriksaan pada 5 Maret 2020.
Baca juga: KPK tangkap tersangka Samin Tan
Tersangka dia juga tidak memenuhi panggilan KPK dan mengirimkan surat dengan alasan sakit menyertai surat keterangan dokter. Dalam surat itu dia menyatakan akan hadir pada 9 Maret 2020.
Namun pada 9 Maret 2020, dia kembali meminta penundaan pemeriksaan dengan alasan sakit dan butuh istirahat selama 14 hari dan melampirkan surat keterangan dokter.
Selanjutnya pada 10 Maret 2020, KPK menerbitkan surat perintah penangkapan atas Tan.
Atas dasar surat itu, KPK mencari dia ke beberapa tempat antara lain dua rumah sakit di Jakarta, apartemen dia di kawasan Jakarta Selatan, dan beberapa hotel di Jakarta Selatan. Namun, saat itu keberadaan Tan belum diketahui.
Baca juga: KPK masih cari tersangka Hiendra Soenjoto dan Harun Masiku
Sesuai dengan pasal 12 UU Nomor 19/2019 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 30/2002, KPK berwenang meminta bantuan polisi atau instansi lain yang terkait untuk menangkap, menahan, menggeledah, dan menyita dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.
Atas dasar itu pula, KPK memasukkan Tan ke dalam DPO sejak 17 April 2020. KPK juga telah mengirimkan surat pada kepala kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Indonesia tertanggal 17 April 2020 perihal DPO atas nama Samin Tan.
Baca juga: KPK tak mematok batas waktu tangkap buronan kasus korupsi
Kasus Samin Tan
KPK telah mengumumkan dia sebagai tersangka pada 15 Februari 2019.
Ia diduga memberi suap kepada bekas Wakil Ketua Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Golkar, Eni Maulani Saragih, sebesar Rp5 miliar terkait pengurusan terminasi kontrak itu.
Konstruksi perkara diawali pada Oktober 2017, Kementerian ESDM melakukan terminasi atas PKP2B PT AKT. Sebelumnya, diduga PT BLEM milik Tan telah mengakusisi PT AKT.
Untuk menyelesaikan persoalan terminasi perjanjian karya tersebut, dia diduga meminta bantuan sejumlah pihak, termasuk Saragih terkait permasalahan pemutusan PKP2B Generasi 3 di Kalimantan Tengah antara PT AKT dengan Kementerian ESDM.
Sebagai anggota DPR di Komisi Energi, Saragih menyanggupi permintaan bantuan Tan dan berupaya mempengaruhi pihak Kementerian ESDM termasuk menggunakan forum rapat dengar pendapat dengan Kementerian ESDM. Posisi dia adalah anggota panitia kerja Minerba Komisi VII DPR.
Baca juga: Eni Saragih dikonfirmasi soal peran Melchias Mekeng
Dalam proses penyelesaian itu, dia diduga meminta sejumlah uang kepada Tan untuk keperluan pilkada suaminya di Kabupaten Temanggung.
Pada Juni 2018 diduga telah terjadi pemberian uang dari Tan melalui staf dan tenaga ahli Saragih di DPR sebanyak dua kali, yaitu pada 1 Juni 2018 sebanyak Rp4 miliar dan pada 22 Juni 2018 sebanyak Rp1 miliar.
Tan disangkakan melanggar pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 UU Nomor 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 64 ayat 1 KUHP.
Baca juga: KPK periksa Eni Saragih sebagai saksi perkara korupsi Samin Tan
Pasal itu yang mengatur mengenai orang yang memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman hukuman minimal 1 tahun penjara dan maksimal 5 tahun penjara dan denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.
Kewajiban KPK
KPK telah menegaskan tetap mencari tujuh tersangka tindak pidana korupsi yang telah masuk dalam DPO.
"Perlu kami tegaskan bahwa KPK tentu berkewajiban terus melakukan pencarian terhadap para buronan KPK tersebut tanpa melihat sejak kapan DPO tersebut ditetapkan," ucap Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri, beberapa waktu lalu.
KPK sebelumnya juga mewacanakan akan membentuk satuan tugas khusus yang bertugas memburu tujuh tersangka itu.
Dari 2017 sampai 2020, ada 10 tersangka yang berstatus DPO KPK dan khusus di tahun 2020 telah dilakukan penangkapan tiga tersangka yang berstatus DPO, yaitu mantan Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi, Rezky Herbiyono (menantu Nurhadi), dan Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal, Hiendra Soenjoto.
Adapun rinciannya, lima tersangka adalah DPO dari 2017 sampai 2019.
Baca juga: ICW ragukan 5 buronan kasus korupsi dapat ditemukan KPK
Pertama, Kirana Kotama dalam perkara tindak pidana korupsi memberi hadiah atau janji terkait penunjukan Ashanti Sales Inc sebagai agen eksklusif PT PAL Indonesia (Persero) dalam pengadaan Kapal SSV untuk pemerintah Filipina pada tahun 2014-2017.
Kedua, Sjamsul Nursalim dalam perkara tindak pidana korupsi bersama-sama dengan Syafruddin Arsyad Temenggung selaku ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dalam proses pemenuhan kewajiban pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) kepada BPPN yang dilakukan Nursalim selaku pemegang saham pengendali BDNI.
Ketiga, Itjih Nursalim (istri Nursalim) dalam perkara tindak pidana korupsi bersama-sama dengan Temenggung selaku ketua BPPN dalam proses pemenuhan kewajiban pemegang saham BDNI kepada BPPN yang dilakukan Nursalim selaku pemegang saham pengendali BDNI.
Keempat, Izil Azhar dalam perkara bersama-sama Irwandi Yusuf selaku gubernur Provinsi Aceh periode 2007-2012, yaitu menerima gratifikasi yang berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
Kelima, Surya Darmadi selaku pemilik PT Darmex/PT Duta Palma Group dalam perkara membantu memberi atau menjanjikan sesuatu kepada penyelenggara negara terkait dengan pengajuan revisi alih fungsi hutan di Provinsi Riau kepada Kementerian Kehutanan pada 2014.
Sedangkan DPO KPK pada 2020, yaitu mantan calon legislatif PDI Perjuangan, Harun Masiku, dalam perkara suap terkait penetapan anggota DPR terpilih 2019-2024, dan Tan.
Baca juga: KPK kembali panggil Samin Tan sebagai tersangka
Tan akhirnya ditangkap tim KPK pada Senin ini di Jakarta.
Namun, khusus untuk Nursalim dan istrinya pasca KPK mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) maka status keduanya bukan tersangka lagi. KPK pun segera mengurus pencabutan status DPO terhadap dua orang itu.
"Iya, karena sudah dihentikan maka status bukan tersangka lagi. Namun, perlu mekanisme administratifnya dan KPK akan lakukan," ucap Fikri.
Semoga dengan tertangkapnya Tan, para buronan KPK lainnya dapat segera tertangkap dengan terus berkoordinasi dengan polisi memburu mereka.
KPK juga telah membuka kontak pelaporan bagi masyarakat yang mengetahui keberadaan para buronan itu atau melapor ke kantor polisi terdekat karena peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi sangat diperlukan.
Ia sebelumnya telah dimasukkan dalam status Daftar Pencarian Orang (DPO) sejak 17 April 2020. Artinya, Tan telah menjadi buronan hampir satu tahun.
Terkait penerbitan DPO, Tan awalnya tidak menghadiri panggilan pemeriksaan sebagai tersangka sebanyak dua kali.
Pertama, tidak datang dan tidak memberikan alasan yang patut dan wajar atas panggilan KPK untuk hadir pada 2 Maret 2020. Padahal, KPK telah mengirimkan surat panggilan pada 28 Februari 2020.
Kemudian, KPK mengirimkan kembali surat panggilan kedua pada 2 Maret 2020 untuk pemeriksaan pada 5 Maret 2020.
Baca juga: KPK tangkap tersangka Samin Tan
Tersangka dia juga tidak memenuhi panggilan KPK dan mengirimkan surat dengan alasan sakit menyertai surat keterangan dokter. Dalam surat itu dia menyatakan akan hadir pada 9 Maret 2020.
Namun pada 9 Maret 2020, dia kembali meminta penundaan pemeriksaan dengan alasan sakit dan butuh istirahat selama 14 hari dan melampirkan surat keterangan dokter.
Selanjutnya pada 10 Maret 2020, KPK menerbitkan surat perintah penangkapan atas Tan.
Atas dasar surat itu, KPK mencari dia ke beberapa tempat antara lain dua rumah sakit di Jakarta, apartemen dia di kawasan Jakarta Selatan, dan beberapa hotel di Jakarta Selatan. Namun, saat itu keberadaan Tan belum diketahui.
Baca juga: KPK masih cari tersangka Hiendra Soenjoto dan Harun Masiku
Sesuai dengan pasal 12 UU Nomor 19/2019 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 30/2002, KPK berwenang meminta bantuan polisi atau instansi lain yang terkait untuk menangkap, menahan, menggeledah, dan menyita dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.
Atas dasar itu pula, KPK memasukkan Tan ke dalam DPO sejak 17 April 2020. KPK juga telah mengirimkan surat pada kepala kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Indonesia tertanggal 17 April 2020 perihal DPO atas nama Samin Tan.
Baca juga: KPK tak mematok batas waktu tangkap buronan kasus korupsi
Kasus Samin Tan
KPK telah mengumumkan dia sebagai tersangka pada 15 Februari 2019.
Ia diduga memberi suap kepada bekas Wakil Ketua Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Golkar, Eni Maulani Saragih, sebesar Rp5 miliar terkait pengurusan terminasi kontrak itu.
Konstruksi perkara diawali pada Oktober 2017, Kementerian ESDM melakukan terminasi atas PKP2B PT AKT. Sebelumnya, diduga PT BLEM milik Tan telah mengakusisi PT AKT.
Untuk menyelesaikan persoalan terminasi perjanjian karya tersebut, dia diduga meminta bantuan sejumlah pihak, termasuk Saragih terkait permasalahan pemutusan PKP2B Generasi 3 di Kalimantan Tengah antara PT AKT dengan Kementerian ESDM.
Sebagai anggota DPR di Komisi Energi, Saragih menyanggupi permintaan bantuan Tan dan berupaya mempengaruhi pihak Kementerian ESDM termasuk menggunakan forum rapat dengar pendapat dengan Kementerian ESDM. Posisi dia adalah anggota panitia kerja Minerba Komisi VII DPR.
Baca juga: Eni Saragih dikonfirmasi soal peran Melchias Mekeng
Dalam proses penyelesaian itu, dia diduga meminta sejumlah uang kepada Tan untuk keperluan pilkada suaminya di Kabupaten Temanggung.
Pada Juni 2018 diduga telah terjadi pemberian uang dari Tan melalui staf dan tenaga ahli Saragih di DPR sebanyak dua kali, yaitu pada 1 Juni 2018 sebanyak Rp4 miliar dan pada 22 Juni 2018 sebanyak Rp1 miliar.
Tan disangkakan melanggar pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 UU Nomor 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 64 ayat 1 KUHP.
Baca juga: KPK periksa Eni Saragih sebagai saksi perkara korupsi Samin Tan
Pasal itu yang mengatur mengenai orang yang memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman hukuman minimal 1 tahun penjara dan maksimal 5 tahun penjara dan denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.
Kewajiban KPK
KPK telah menegaskan tetap mencari tujuh tersangka tindak pidana korupsi yang telah masuk dalam DPO.
"Perlu kami tegaskan bahwa KPK tentu berkewajiban terus melakukan pencarian terhadap para buronan KPK tersebut tanpa melihat sejak kapan DPO tersebut ditetapkan," ucap Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri, beberapa waktu lalu.
KPK sebelumnya juga mewacanakan akan membentuk satuan tugas khusus yang bertugas memburu tujuh tersangka itu.
Dari 2017 sampai 2020, ada 10 tersangka yang berstatus DPO KPK dan khusus di tahun 2020 telah dilakukan penangkapan tiga tersangka yang berstatus DPO, yaitu mantan Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi, Rezky Herbiyono (menantu Nurhadi), dan Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal, Hiendra Soenjoto.
Adapun rinciannya, lima tersangka adalah DPO dari 2017 sampai 2019.
Baca juga: ICW ragukan 5 buronan kasus korupsi dapat ditemukan KPK
Pertama, Kirana Kotama dalam perkara tindak pidana korupsi memberi hadiah atau janji terkait penunjukan Ashanti Sales Inc sebagai agen eksklusif PT PAL Indonesia (Persero) dalam pengadaan Kapal SSV untuk pemerintah Filipina pada tahun 2014-2017.
Kedua, Sjamsul Nursalim dalam perkara tindak pidana korupsi bersama-sama dengan Syafruddin Arsyad Temenggung selaku ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dalam proses pemenuhan kewajiban pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) kepada BPPN yang dilakukan Nursalim selaku pemegang saham pengendali BDNI.
Ketiga, Itjih Nursalim (istri Nursalim) dalam perkara tindak pidana korupsi bersama-sama dengan Temenggung selaku ketua BPPN dalam proses pemenuhan kewajiban pemegang saham BDNI kepada BPPN yang dilakukan Nursalim selaku pemegang saham pengendali BDNI.
Keempat, Izil Azhar dalam perkara bersama-sama Irwandi Yusuf selaku gubernur Provinsi Aceh periode 2007-2012, yaitu menerima gratifikasi yang berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
Kelima, Surya Darmadi selaku pemilik PT Darmex/PT Duta Palma Group dalam perkara membantu memberi atau menjanjikan sesuatu kepada penyelenggara negara terkait dengan pengajuan revisi alih fungsi hutan di Provinsi Riau kepada Kementerian Kehutanan pada 2014.
Sedangkan DPO KPK pada 2020, yaitu mantan calon legislatif PDI Perjuangan, Harun Masiku, dalam perkara suap terkait penetapan anggota DPR terpilih 2019-2024, dan Tan.
Baca juga: KPK kembali panggil Samin Tan sebagai tersangka
Tan akhirnya ditangkap tim KPK pada Senin ini di Jakarta.
Namun, khusus untuk Nursalim dan istrinya pasca KPK mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) maka status keduanya bukan tersangka lagi. KPK pun segera mengurus pencabutan status DPO terhadap dua orang itu.
"Iya, karena sudah dihentikan maka status bukan tersangka lagi. Namun, perlu mekanisme administratifnya dan KPK akan lakukan," ucap Fikri.
Semoga dengan tertangkapnya Tan, para buronan KPK lainnya dapat segera tertangkap dengan terus berkoordinasi dengan polisi memburu mereka.
KPK juga telah membuka kontak pelaporan bagi masyarakat yang mengetahui keberadaan para buronan itu atau melapor ke kantor polisi terdekat karena peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi sangat diperlukan.
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2021
Tags: