PP Muhammadiyah paparkan faktor terorisme sulit dihentikan
2 April 2021 17:35 WIB
Tangkapan layar Ketua Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia PP Muhammadiyah Trisno Raharjo pada diskusi dengan tema terorisme, HAM dan arah kebijakan negara yang disiarkan secara virtual di Jakarta, Jumat. (ANTARA/Muhammad Zulfikar)
Jakarta (ANTARA) - Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah memaparkan sejumlah faktor yang menyebabkan tindak pidana terorisme tidak dapat atau sulit dihentikan di Indonesia.
"Pertama, pola penanganan di luar sistem peradilan pidana yang lebih kepada mematikan bukan melumpuhkan," kata Ketua Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia PP Muhammadiyah Trisno Raharjo pada diskusi dengan tema terorisme, HAM dan arah kebijakan negara yang disiarkan secara virtual di Jakarta, Jumat.
Ia menyebutkan dari 131 terduga atau tersangka teroris termasuk kasus Siyono, pada umumnya penindakan lebih kepada mematikan bukan melumpuhkan.
Selama ini sistem peradilan penanganan tindak pidana terorisme selalu terpusat. Padahal tidak ada pasal yang mengatur untuk hal ini. Sebagai contoh jika ada penangkapan teroris di Medan atau Makasar maka dibawa ke Jakarta.
Baca juga: Anggota DPR: Perlu kerja sama institusional cegah terorisme
Kalau pun ingin dibawa ke Jakarta, maka sidangnya harus tetap dikembalikan ke masing-masing tempat. Tujuannya, agar tidak terjadi ruang sunyi persidangan.
"Ruang persidangan terorisme itu saya katakan adalah ruang sunyi persidangan," kata dia.
Di satu sisi, Trisno memahami tujuan tersebut agar tidak ada gangguan jalannya proses persidangan. Kendati demikian, ke depan hal itu harus dipertimbangkan. Ruang sidang yang sunyi justru menjadikannya jauh dari keterbukaan dalam persidangan.
Di Amerika Serikat kasus tindak pidana terorisme dianggap sebagai sebuah perang sehingga tidak mau dibawa ke meja peradilan sipil.
Baca juga: KPPPA: Jaringan terorisme rekrut anak melalui media digital
Kemudian, alasan kenapa tindak pidana terorisme sulit dicegah karena pengawasan dari DPR dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) masih lemah, termasuk pula kegagalan program deradikalisasi.
Menurut dia, program deradikalisasi perlu dievaluasi secara mendasar. Sebab, sasaran-sasaran yang akan dideradikalisasi tersebut atau programnya tidak optimal untuk dikembangkan.
Terakhir, menimbulkan rasa takut dan memiliki "jaringan" sebagai komoditi. Ada anggaran pencegahan, ada penindakan atau ada juga pesanan yang kaitannya dengan satu program yang muncul.
Baca juga: Komnas HAM dorong evaluasi Draf Perpres tentang TNI dan terorisme
"Pertama, pola penanganan di luar sistem peradilan pidana yang lebih kepada mematikan bukan melumpuhkan," kata Ketua Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia PP Muhammadiyah Trisno Raharjo pada diskusi dengan tema terorisme, HAM dan arah kebijakan negara yang disiarkan secara virtual di Jakarta, Jumat.
Ia menyebutkan dari 131 terduga atau tersangka teroris termasuk kasus Siyono, pada umumnya penindakan lebih kepada mematikan bukan melumpuhkan.
Selama ini sistem peradilan penanganan tindak pidana terorisme selalu terpusat. Padahal tidak ada pasal yang mengatur untuk hal ini. Sebagai contoh jika ada penangkapan teroris di Medan atau Makasar maka dibawa ke Jakarta.
Baca juga: Anggota DPR: Perlu kerja sama institusional cegah terorisme
Kalau pun ingin dibawa ke Jakarta, maka sidangnya harus tetap dikembalikan ke masing-masing tempat. Tujuannya, agar tidak terjadi ruang sunyi persidangan.
"Ruang persidangan terorisme itu saya katakan adalah ruang sunyi persidangan," kata dia.
Di satu sisi, Trisno memahami tujuan tersebut agar tidak ada gangguan jalannya proses persidangan. Kendati demikian, ke depan hal itu harus dipertimbangkan. Ruang sidang yang sunyi justru menjadikannya jauh dari keterbukaan dalam persidangan.
Di Amerika Serikat kasus tindak pidana terorisme dianggap sebagai sebuah perang sehingga tidak mau dibawa ke meja peradilan sipil.
Baca juga: KPPPA: Jaringan terorisme rekrut anak melalui media digital
Kemudian, alasan kenapa tindak pidana terorisme sulit dicegah karena pengawasan dari DPR dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) masih lemah, termasuk pula kegagalan program deradikalisasi.
Menurut dia, program deradikalisasi perlu dievaluasi secara mendasar. Sebab, sasaran-sasaran yang akan dideradikalisasi tersebut atau programnya tidak optimal untuk dikembangkan.
Terakhir, menimbulkan rasa takut dan memiliki "jaringan" sebagai komoditi. Ada anggaran pencegahan, ada penindakan atau ada juga pesanan yang kaitannya dengan satu program yang muncul.
Baca juga: Komnas HAM dorong evaluasi Draf Perpres tentang TNI dan terorisme
Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021
Tags: