Pemerintah-CropLife sinergi cegah produk pertanian palsu di e-commerce
1 April 2021 20:54 WIB
Petugas menunjukkan barang bukti benih jagung palsu saat ungkap kasus di Polres Pasuruan, Bangil, Jawa Timur, Minggu (13/12/2020). ANTARA FOTO/Umarul Faruq/rwa.
Jakarta (ANTARA) - Pemerintah bersinergi dengan asosiasi multiregional CropLife untuk berupaya mencegah beredarnya produk pertanian palsu di e-commerce agar ada jaminan bahwa produk pertanian yang ada dalam daring tidak merugikan baik konsumen maupun industri produsen.
Executive Director CropLife Indonesia Agung Kurniawan dalam siaran pers di Jakarta, Kamis, menekankan pentingnya untuk segera menanggulangi aspek negatif dari jual beli produk pertanian di e-commerce mengingat situasi serba daring akibat pandemi COVID-19 dan pentingnya menjaga ketahanan pangan hingga jangka panjang.
"Salah satu upaya yang diperlukan adalah sinergi program pemerintah untuk mengurangi resiko hal-hal negatif dari penggunaan e-commerce," kata Agung Kurniawan.
Oleh karena itu, ujar dia, sangat diperlukan sinergi dari kementerian terkait dalam upaya meminimalkan potensi penyalahgunaan pemanfaatan digital dalam penyebaran produk-produk pertanian palsu dan ilegal.
Baca juga: Bibit sawit pun ada yang palsu
Ia memaparkan, upaya tersebut mulai dari kebijakan hingga petunjuk teknis atau Standard Operational Procedure (SOP) yang didapat dari hasil kolaborasi beberapa kementerian yakni Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Komunikasi dan Informatika.
"CropLife Indonesia memiliki komitmen memerangi peredaran produk pertanian palsu dan ilegal, secara kontinu dan konsisten terus melakukan kegiatan edukasi dan sinergi dengan para stakeholder secara offline maupun online," ungkapnya.
CropLife Indonesia juga telah menggelar Focus Group Discussion (FGD) dengan Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan dan Jakarta Smart City Pemprov DKI Jakarta untuk menyelaraskan visi misi dan merumuskan program kerja, serta membentuk gugus tugas bersama guna mengantisipasi perkembangan perdagangan digital produk pertanian saat ini dan pada masa mendatang.
Senior Advisor CropLife Indonesia Midzon Johannis menyatakan, konsumen khususnya petani akan dirugikan jika membeli produk-produk pertanian yang tidak sesuai spesifikasi dan tidak berkualitas, sehingga akan merusak hasil dan/atau proses yang terjadi di pertanian mereka.
Baca juga: PTPN V jual 1,1 juta bibit sawit unggul berserfitikasi
"Dari pihak industri penyedia produk pertanian, brand image industri akan rusak akibat perbuatan oknum-oknum yang memalsukan produk mereka, imbas pada rusaknya rantai pasok dan operasional bisnis mereka secara utuh," ujar Midzon.
Sementara dari pihak pemerintah, praktek pemalsuan dan peredaran produk ilegal yang tak terkontrol di platform digital dapat mengurangi penerimaan negara dari pajak yang dikenakan atas barang dan jasa pertanian tersebut.
Kepala Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian (PPVTPP) Kementerian Pertanian Dwi Herteddy memaparkan, dasar hukum Pengawasan atas Peredaran, Penyimpanan, dan Penggunaan Pestisida telah diatur dalam PP No.7 tahun 1973 dan UU No.20 tahun 2019 tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan, sehingga sangat jelas produk perlindungan pertanian harus didaftarkan terlebih dahulu sebelum dipasarkan.
Sesuai dengan perkembangan teknologi, lanjutnya, pendaftaran secara elektronik dimulai sejak tahun 2014, per Januari 2020 telah terdaftar sebanyak 431 perusahaan dengan jumlah 4646 produk.
"Temuan di lapangan, banyak produk pertanian seperti benih, pestisida dan pupuk yang beredar di e-commerce ternyata belum terdaftar yang dapat diindikasikan dari label kemasan. Produk terdaftar tentu akan mencantumkan nomor pendaftaran, cara aplikasi, bahan aktif. Sedangkan produk yang tidak terdaftar tidak ada penjelasan tersebut sehingga berpotensi merugikan konsumen," ungkapnya.
Sementara, Koordinator Penegakan Hukum Distribusi Barang Pokok & Penting dan Barang yang Diatur, Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Perdagangan RI, Mario Josko menyatakan bahwa transaksi di e-commerce terus meningkat antara lain akibat kondisi pandemi.
Mario mengemukakan, maraknya e-commerce tentunya memerlukan regulasi untuk perlindungan dan kepastian hukum serta mempertimbangkan aspek kepentingan nasional dalam hal perkembangan UKM. Secara pengawasan, perdagangan di e-commerce sebenarnya lebih mudah diawasi dibandingkan perdagangan luring, karena ada jejak digital, serta saat ini Kemendag sedang menyusun regulasi agar penyelenggara bertanggungjawab terhadap konten yang ada di platformnya.
Executive Director CropLife Indonesia Agung Kurniawan dalam siaran pers di Jakarta, Kamis, menekankan pentingnya untuk segera menanggulangi aspek negatif dari jual beli produk pertanian di e-commerce mengingat situasi serba daring akibat pandemi COVID-19 dan pentingnya menjaga ketahanan pangan hingga jangka panjang.
"Salah satu upaya yang diperlukan adalah sinergi program pemerintah untuk mengurangi resiko hal-hal negatif dari penggunaan e-commerce," kata Agung Kurniawan.
Oleh karena itu, ujar dia, sangat diperlukan sinergi dari kementerian terkait dalam upaya meminimalkan potensi penyalahgunaan pemanfaatan digital dalam penyebaran produk-produk pertanian palsu dan ilegal.
Baca juga: Bibit sawit pun ada yang palsu
Ia memaparkan, upaya tersebut mulai dari kebijakan hingga petunjuk teknis atau Standard Operational Procedure (SOP) yang didapat dari hasil kolaborasi beberapa kementerian yakni Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Komunikasi dan Informatika.
"CropLife Indonesia memiliki komitmen memerangi peredaran produk pertanian palsu dan ilegal, secara kontinu dan konsisten terus melakukan kegiatan edukasi dan sinergi dengan para stakeholder secara offline maupun online," ungkapnya.
CropLife Indonesia juga telah menggelar Focus Group Discussion (FGD) dengan Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan dan Jakarta Smart City Pemprov DKI Jakarta untuk menyelaraskan visi misi dan merumuskan program kerja, serta membentuk gugus tugas bersama guna mengantisipasi perkembangan perdagangan digital produk pertanian saat ini dan pada masa mendatang.
Senior Advisor CropLife Indonesia Midzon Johannis menyatakan, konsumen khususnya petani akan dirugikan jika membeli produk-produk pertanian yang tidak sesuai spesifikasi dan tidak berkualitas, sehingga akan merusak hasil dan/atau proses yang terjadi di pertanian mereka.
Baca juga: PTPN V jual 1,1 juta bibit sawit unggul berserfitikasi
"Dari pihak industri penyedia produk pertanian, brand image industri akan rusak akibat perbuatan oknum-oknum yang memalsukan produk mereka, imbas pada rusaknya rantai pasok dan operasional bisnis mereka secara utuh," ujar Midzon.
Sementara dari pihak pemerintah, praktek pemalsuan dan peredaran produk ilegal yang tak terkontrol di platform digital dapat mengurangi penerimaan negara dari pajak yang dikenakan atas barang dan jasa pertanian tersebut.
Kepala Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian (PPVTPP) Kementerian Pertanian Dwi Herteddy memaparkan, dasar hukum Pengawasan atas Peredaran, Penyimpanan, dan Penggunaan Pestisida telah diatur dalam PP No.7 tahun 1973 dan UU No.20 tahun 2019 tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan, sehingga sangat jelas produk perlindungan pertanian harus didaftarkan terlebih dahulu sebelum dipasarkan.
Sesuai dengan perkembangan teknologi, lanjutnya, pendaftaran secara elektronik dimulai sejak tahun 2014, per Januari 2020 telah terdaftar sebanyak 431 perusahaan dengan jumlah 4646 produk.
"Temuan di lapangan, banyak produk pertanian seperti benih, pestisida dan pupuk yang beredar di e-commerce ternyata belum terdaftar yang dapat diindikasikan dari label kemasan. Produk terdaftar tentu akan mencantumkan nomor pendaftaran, cara aplikasi, bahan aktif. Sedangkan produk yang tidak terdaftar tidak ada penjelasan tersebut sehingga berpotensi merugikan konsumen," ungkapnya.
Sementara, Koordinator Penegakan Hukum Distribusi Barang Pokok & Penting dan Barang yang Diatur, Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Perdagangan RI, Mario Josko menyatakan bahwa transaksi di e-commerce terus meningkat antara lain akibat kondisi pandemi.
Mario mengemukakan, maraknya e-commerce tentunya memerlukan regulasi untuk perlindungan dan kepastian hukum serta mempertimbangkan aspek kepentingan nasional dalam hal perkembangan UKM. Secara pengawasan, perdagangan di e-commerce sebenarnya lebih mudah diawasi dibandingkan perdagangan luring, karena ada jejak digital, serta saat ini Kemendag sedang menyusun regulasi agar penyelenggara bertanggungjawab terhadap konten yang ada di platformnya.
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2021
Tags: