Artikel
Memanen berkah dari program listrik masuk sawah
Oleh Dolly Rosana
31 Maret 2021 12:24 WIB
M Rois, petani asal Desa Durian, Kelurahan Veteran, Kecamatan Martapura, Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur (OKU Timur), Provinsi Sumatera Selatan, memperbaiki arah aliran air yang didapat dari pompa listrik, Jumat (19/2/2021). ANTARA FOTO/Feny Selly.
Palembang (ANTARA) - Hamparan sawah ratusan hektare membentang sejauh mata memandang di Desa Durian, Kelurahan Veteran, Kecamatan Martapura, Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, Sumatera Selatan.
Semakin sedap dipandang mata karena bulir-bulir padi telah merunduk tanda siap untuk dipanen.
Semburat lembut cahaya mentari pagi, Jumat (19/2/2021), seolah menyapa M Rois (43), petani setempat yang telah siap melakukan rutinitas. Ia menyusuri pematang menuju sebuah bilik beton berukuran 1 x 1,5 meter persegi yang berada di tengah sawah.
Pintu bilik yang tak terkunci langsung dibuka, kemudian tangan Rois menjangkau instrumen ukur KwH Meter untuk mengisi pulsa listrik.
Tanpa menunggu lama, setelah pulsa terisi, ia langsung menekan saklar untuk menghidupkan pompa air jenis sible yang ditanam di dalam tanah. Seketika terdengar deru air mengalir ke bak penampung.
“Begitulah, tinggal tekan saklar, air langsung ngocor,” kata Rois yang dibincangi di lokasi tersebut.
Raut kelegaan terpancar jelas di wajahnya. Apalagi air mengalir dengan deras melalui selang.
Baca juga: PLN ganti 38 pembangkit listrik solar di Maluku menjadi energi hijau
Rois patut merasa lega mengingat selama ini ia kerap direpotkan dalam urusan penyediaan air untuk mengaliri areal sawah miliknya, seluas 0,5 hektare (ha).
Sebagian besar petani di kecamatan ini memang hanya memanfaatkan sumber energi dari mesin diesel dan genset untuk memompa air dari sumur bor.
Saat musim kering melanda, mereka terpaksa membawa genset ke areal persawahan. Kemudian, mesin itu dibawa pulang ke rumah pada sore atau malam hari agar tidak hilang dicuri orang. Repot dan sangat menguras tenaga pastinya.
Namun, sejak Desember 2020, Rois tak perlu lagi melakukan hal itu karena PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) menjalankan program listrik masuk sawah. Program yang propetani ini menyediakan jaringan distribusi listrik hingga ke pematang sawah untuk membantu petani menghidupkan mesin pompa.
Listrik masuk sawah khusus diberikan kepada petani yang menerapkan sistem pertanian tadah hujan, yang biasanya mengalami kekeringan pada periode musim tanam kedua dan ketiga (April-Desember). Tapi, pada musim tanam pertama terkadang sudah kesulitan air karena lahan di Desa Durian ini cenderung kering.
“Saat pertama kali ditawari PLN, saya langsung tertarik, jadi tidak repot lagi bawa-bawa genset. Apalagi dibantu proses pendaftarannya,” kata Rois. Dengan dibantu saat mendaftar, Rois tak perlu bingung melakukan pendaftaran sendiri secara online.
Bagi ayah empat anak ini, tak masalah harus merogoh kocek Rp1.300.000 untuk biaya menjadi pelanggan baru PLN berdaya listrik 1.300 VA karena manfaat yang diterima jauh lebih besar. Listrik ini sangat membantu dalam menghemat biaya operasional sebagai petani.
Biasanya, untuk pemakaian genset berkekuatan 5,5 PK diperlukan bahan bakar minyak (BBM) sekitar 10 liter per hari agar bisa menyala selama 14 jam. Sementara itu, harga BBM jenis premium berkisar 7.850/liter. Itu artinya Rois harus mengeluarkan dana Rp62.800—Rp78.500 per hari.
Baca juga: Perjuangan PLN wujudkan seluruh desa Sumbagsel berlistrik
Dengan menggunakan energi listrik dari PLN, Rois cukup mengeluarkan Rp14.000 per hari untuk menyalakan pompa selama 14 jam dari pukul 06.00-19.00 WIB karena PLN menetapkan tarif hanya Rp1.000/KwH.
Harga jual listrik dari PLN ini jauh lebih murah lantaran petani ditetapkan masuk dalam segmen pelanggan industri sehingga mendapatkan subsidi dari pemerintah.
Hadirnya listrik masuk sawah juga membulatkan tekad Rois untuk mengoptimalkan lahan yang dimiliki, dari dua kali tanam menjadi tiga kali tanam dalam satu tahun.
Selama ini, seperti pada umumnya petani tadah hujan di Desa Durian, Rois hanya bisa menanami lahan paling banyak dua kali dalam satu tahun, karena terkendala penyediaan air.
“Tanam pertama padi, tanam kedua padi, nanti tanam ketiga saya mau coba tanam jagung dulu. Belum berani padi, mungkin tahun depan,” kata dia.
Dorong Intensitas Penanaman
Apa yang dilakukan Rois diharap bisa menginspirasi petani-petani lain di Desa Durian pada khususnya, dan di Kecamatan Martapura pada umumnya. PLN pun sudah mencatat terdapat tujuh calon pelanggan baru di lokasi hamparan sawah tersebut, yang sudah menyatakan minat.
Manajer Unit Layanan Pelanggan Martapura PT PLN Wilayah Sumsel, Jambi, dan Bengkulu, Febri Doni mengatakan PLN menggencarkan sosialisasi program listrik masuk sawah ke petani, penyuluh pertanian, hingga ke pemerintah kabupaten.
Ini lantaran Martapura memiliki 2.111 ha lahan sawah tadah hujan. Total sawah tadah hujan di Martapura menjadi yang terluas di Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, yang memiliki lahan sawah seluas 22.428 ha. Sementara, luas persawahan irigasi mencapai 43.832 ha, dan persawahan rawa lebak 15.350 ha.
Selain itu, sejak lama Kabupaten OKU Timur menjadi lumbung pangan Sumsel setelah Kabupaten Banyuasin, dengan produksinya mencapai 1 juta ton lebih dan menjadi peringkat 14 secara nasional.
Baca juga: Ekspor pertanian di Sumatera Selatan yang kian menjanjikan
Potensi ini sejatinya yang melatari PLN ULP Martapura menggagas program listrik masuk sawah.
Selain berkeinginan andil dalam upaya peningkatan ketahanan pangan nasional, PLN juga mengamati peluang untuk menambah pelanggan baru di sektor pertanian.
Untuk tahap awal, PLN ULP Martapura menyasar lokasi-lokasi persawahan yang berdekatan dengan jaringan distribusi tegangan rendah (TR). Seperti lokasi persawahan milik Rois, yang hanya membutuhkan jaringan kabel TR sejauh 150 meter untuk mencapai titik instrumen KwH Meter-nya.
“Lazimnya hanya 30 meter, tapi demi membangkitkan kesadaran karena petani perlu melihat adanya contoh jadi kami berikan cuma-cuma,” kata Febri.
Tak ayal program Listrik Masuk Sawah di Martapura ini pun menjadi pioner di wilayah PLN Sumatera Selatan, Jambi, dan Bengkulu. Walau di Jawa, program ini bukan hal yang baru, namun di Sumsel menjadi anyar karena adanya perbedaan tata kelola pertanian.
Sebagian besar lahan persawahan di Jawa telah menerapkan tiga kali tanam dalam satu tahun, sementara di Sumsel pada umumnya hanya satu atau dua kali tanam saja.
Selain itu, perbedaan mencolok lainnya yakni produktivitas lahan, yang mana lahan di OKU Timur hanya menghasilkan 6-7 ton Gabah Kering Giling (GKG) per ha, sementara di Jawa sudah mencapai 9-10 ton GKG per ha.
Bukan hanya itu, biaya produksi juga tergolong tinggi karena petani di Sumsel harus mengeluarkan Rp6-7 juta per ha untuk memenuhi kebutuhan benih, pupuk, pestisida, pengairan hingga pascapanen. Sementara di Jawa berkisar Rp5 juta per ha.
Atas dasar inilah, pemerintah berupaya agar sektor pertanian OKU Timur yang menjadi lumbung pangan Sumsel terus dibenahi dari berbagai sektor.
Upaya ini pun disambut oleh PLN yang mengemban tugas turut mendukung ketahanan pangan melalui peningkatan rasio elektrifikasi sektor pertanian.
Sejauh ini rasio elektrifikasi di OKU Timur (termasuk Kecamatan Martapura) sudah mencapai 100 persen, dengan rincian pelanggan rumah tangga 80.359 pelanggan, industri 27 pelanggan, sementara sisanya pelanggan segmen sosial, bisnis, dan pemerintahan.
Wakil Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Provinsi Sumatera Selatan Zain Ismed mengatakan dukungan yang diberikan PLN untuk peningkatan produksi pangan ini patut diapresiasi karena saat ini semua elemen negara diharapkan dapat menjaga semangat petani dalam berproduksi di tengah pandemi COVID-19.
Ini karena sektor pertanian diakui dapat tetap tumbuh positif di tengah pandemi bahkan mampu menjadi penopang perekonomian Indonesia lantaran tingginya konsumsi dalam negeri terhadap kebutuhan pangan hasil pertanian, peternakan dan perikanan.
“Jangan sampai mereka malas bertani, bantulah seperti sarana dan prasarana dan beri kepastian bahwa produk yang mereka jual memberikan keuntungan,” kata Zain.
Baca juga: Pemprov Sumsel dorong pemanfaatan lahan kosong untuk pertanian
Terpisah, Plt Kepala Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Hortikultura Provinsi Sumatera Selatan, R. Bambang Pramono mengatakan, pemerintah provinsi sangat mendukung program Listrik Masuk Sawah yang digagas oleh PLN ini dengan menganggarkan dana APBD untuk pembuatan sumur bor dan bantuan pompa air.
“Tahun ini kami akan buatkan belasan sumur bor di lahan sawah tadah hujan OKU Timur sehingga petani bisa mengakses program listrik masuk sawah,” kata dia.
Bantuan infrastruktur dan alat mesin pertanian ini dimaksud untuk mewujudkan target Sumsel memproduksi 3,1 juta ton GKG pada 2021.
Pada 2020, Sumsel berada pada urutan kelima untuk produksi gabah secara nasional yakni 2,6 juta ton GKG, atau masih di bawah Sulawesi Selatan dengan 4,6 juta ton GKG, Jawa Barat 9,0 juta ton GKG, Jawa Tengah 9,6 juta ton GKG, dan Jawa Timur 9,9 juta ton GKG.
Salah satu strateginya mengajak petani untuk meningkatkan intensitas penanaman dari satu kali menjadi dua kali dan yang sudah dua kali menjadi tiga kali. Potensi itu semakin terbuka berkat ada dukungan dari PLN dengan program listrik masuk sawah.
Menanggapi hadirnya program listrik masuk sawah, Muhrozi, ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Tunas Muda yang beranggotakan 114 petani di Desa Durian, mengatakan petani setempat sangat menyambut baik program ini.
Hanya saja, sejumlah petani masih terkendala biaya untuk penyambungan baru. Walau sebenarnya PLN juga memberikan solusi bahwa biaya dapat ditanggung bersama karena satu unit KwH Meter itu bisa digunakan beberapa petani sekaligus, tinggal disesuaikan daya listriknya yang bisa mengakomodir kebutuhan bersama.
Muhrozi mengatakan sebagian petani mengharapkan dapat mengakses pinjaman KUR (kredit usaha rakyat) agar bisa dijadikan modal kerja, di antaranya untuk penyambungan baru PLN serta membeli bibit dan pupuk supaya bisa menanam tiga kali dalam satu tahun.
“Untuk sumur bor, kami (di Desa Durian) sudah dijanjikan akan dibantu enam sumur dari pemerintah, sedangkan pompanya pada umumnya petani sudah punya,” kata dia.
Masalah dan kendala selalu ada dalam setiap program pembangunan, termasuk listrik masuk sawah. Namun jika semua pihak mau bersinergi maka inilah salah satu cara untuk menggali potensi yang terkandung di Bumi Sebiduk Sehaluan.
Semakin sedap dipandang mata karena bulir-bulir padi telah merunduk tanda siap untuk dipanen.
Semburat lembut cahaya mentari pagi, Jumat (19/2/2021), seolah menyapa M Rois (43), petani setempat yang telah siap melakukan rutinitas. Ia menyusuri pematang menuju sebuah bilik beton berukuran 1 x 1,5 meter persegi yang berada di tengah sawah.
Pintu bilik yang tak terkunci langsung dibuka, kemudian tangan Rois menjangkau instrumen ukur KwH Meter untuk mengisi pulsa listrik.
Tanpa menunggu lama, setelah pulsa terisi, ia langsung menekan saklar untuk menghidupkan pompa air jenis sible yang ditanam di dalam tanah. Seketika terdengar deru air mengalir ke bak penampung.
“Begitulah, tinggal tekan saklar, air langsung ngocor,” kata Rois yang dibincangi di lokasi tersebut.
Raut kelegaan terpancar jelas di wajahnya. Apalagi air mengalir dengan deras melalui selang.
Baca juga: PLN ganti 38 pembangkit listrik solar di Maluku menjadi energi hijau
Rois patut merasa lega mengingat selama ini ia kerap direpotkan dalam urusan penyediaan air untuk mengaliri areal sawah miliknya, seluas 0,5 hektare (ha).
Sebagian besar petani di kecamatan ini memang hanya memanfaatkan sumber energi dari mesin diesel dan genset untuk memompa air dari sumur bor.
Saat musim kering melanda, mereka terpaksa membawa genset ke areal persawahan. Kemudian, mesin itu dibawa pulang ke rumah pada sore atau malam hari agar tidak hilang dicuri orang. Repot dan sangat menguras tenaga pastinya.
Namun, sejak Desember 2020, Rois tak perlu lagi melakukan hal itu karena PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) menjalankan program listrik masuk sawah. Program yang propetani ini menyediakan jaringan distribusi listrik hingga ke pematang sawah untuk membantu petani menghidupkan mesin pompa.
Listrik masuk sawah khusus diberikan kepada petani yang menerapkan sistem pertanian tadah hujan, yang biasanya mengalami kekeringan pada periode musim tanam kedua dan ketiga (April-Desember). Tapi, pada musim tanam pertama terkadang sudah kesulitan air karena lahan di Desa Durian ini cenderung kering.
“Saat pertama kali ditawari PLN, saya langsung tertarik, jadi tidak repot lagi bawa-bawa genset. Apalagi dibantu proses pendaftarannya,” kata Rois. Dengan dibantu saat mendaftar, Rois tak perlu bingung melakukan pendaftaran sendiri secara online.
Bagi ayah empat anak ini, tak masalah harus merogoh kocek Rp1.300.000 untuk biaya menjadi pelanggan baru PLN berdaya listrik 1.300 VA karena manfaat yang diterima jauh lebih besar. Listrik ini sangat membantu dalam menghemat biaya operasional sebagai petani.
Biasanya, untuk pemakaian genset berkekuatan 5,5 PK diperlukan bahan bakar minyak (BBM) sekitar 10 liter per hari agar bisa menyala selama 14 jam. Sementara itu, harga BBM jenis premium berkisar 7.850/liter. Itu artinya Rois harus mengeluarkan dana Rp62.800—Rp78.500 per hari.
Baca juga: Perjuangan PLN wujudkan seluruh desa Sumbagsel berlistrik
Dengan menggunakan energi listrik dari PLN, Rois cukup mengeluarkan Rp14.000 per hari untuk menyalakan pompa selama 14 jam dari pukul 06.00-19.00 WIB karena PLN menetapkan tarif hanya Rp1.000/KwH.
Harga jual listrik dari PLN ini jauh lebih murah lantaran petani ditetapkan masuk dalam segmen pelanggan industri sehingga mendapatkan subsidi dari pemerintah.
Hadirnya listrik masuk sawah juga membulatkan tekad Rois untuk mengoptimalkan lahan yang dimiliki, dari dua kali tanam menjadi tiga kali tanam dalam satu tahun.
Selama ini, seperti pada umumnya petani tadah hujan di Desa Durian, Rois hanya bisa menanami lahan paling banyak dua kali dalam satu tahun, karena terkendala penyediaan air.
“Tanam pertama padi, tanam kedua padi, nanti tanam ketiga saya mau coba tanam jagung dulu. Belum berani padi, mungkin tahun depan,” kata dia.
Dorong Intensitas Penanaman
Apa yang dilakukan Rois diharap bisa menginspirasi petani-petani lain di Desa Durian pada khususnya, dan di Kecamatan Martapura pada umumnya. PLN pun sudah mencatat terdapat tujuh calon pelanggan baru di lokasi hamparan sawah tersebut, yang sudah menyatakan minat.
Manajer Unit Layanan Pelanggan Martapura PT PLN Wilayah Sumsel, Jambi, dan Bengkulu, Febri Doni mengatakan PLN menggencarkan sosialisasi program listrik masuk sawah ke petani, penyuluh pertanian, hingga ke pemerintah kabupaten.
Ini lantaran Martapura memiliki 2.111 ha lahan sawah tadah hujan. Total sawah tadah hujan di Martapura menjadi yang terluas di Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, yang memiliki lahan sawah seluas 22.428 ha. Sementara, luas persawahan irigasi mencapai 43.832 ha, dan persawahan rawa lebak 15.350 ha.
Selain itu, sejak lama Kabupaten OKU Timur menjadi lumbung pangan Sumsel setelah Kabupaten Banyuasin, dengan produksinya mencapai 1 juta ton lebih dan menjadi peringkat 14 secara nasional.
Baca juga: Ekspor pertanian di Sumatera Selatan yang kian menjanjikan
Potensi ini sejatinya yang melatari PLN ULP Martapura menggagas program listrik masuk sawah.
Selain berkeinginan andil dalam upaya peningkatan ketahanan pangan nasional, PLN juga mengamati peluang untuk menambah pelanggan baru di sektor pertanian.
Untuk tahap awal, PLN ULP Martapura menyasar lokasi-lokasi persawahan yang berdekatan dengan jaringan distribusi tegangan rendah (TR). Seperti lokasi persawahan milik Rois, yang hanya membutuhkan jaringan kabel TR sejauh 150 meter untuk mencapai titik instrumen KwH Meter-nya.
“Lazimnya hanya 30 meter, tapi demi membangkitkan kesadaran karena petani perlu melihat adanya contoh jadi kami berikan cuma-cuma,” kata Febri.
Tak ayal program Listrik Masuk Sawah di Martapura ini pun menjadi pioner di wilayah PLN Sumatera Selatan, Jambi, dan Bengkulu. Walau di Jawa, program ini bukan hal yang baru, namun di Sumsel menjadi anyar karena adanya perbedaan tata kelola pertanian.
Sebagian besar lahan persawahan di Jawa telah menerapkan tiga kali tanam dalam satu tahun, sementara di Sumsel pada umumnya hanya satu atau dua kali tanam saja.
Selain itu, perbedaan mencolok lainnya yakni produktivitas lahan, yang mana lahan di OKU Timur hanya menghasilkan 6-7 ton Gabah Kering Giling (GKG) per ha, sementara di Jawa sudah mencapai 9-10 ton GKG per ha.
Bukan hanya itu, biaya produksi juga tergolong tinggi karena petani di Sumsel harus mengeluarkan Rp6-7 juta per ha untuk memenuhi kebutuhan benih, pupuk, pestisida, pengairan hingga pascapanen. Sementara di Jawa berkisar Rp5 juta per ha.
Atas dasar inilah, pemerintah berupaya agar sektor pertanian OKU Timur yang menjadi lumbung pangan Sumsel terus dibenahi dari berbagai sektor.
Upaya ini pun disambut oleh PLN yang mengemban tugas turut mendukung ketahanan pangan melalui peningkatan rasio elektrifikasi sektor pertanian.
Sejauh ini rasio elektrifikasi di OKU Timur (termasuk Kecamatan Martapura) sudah mencapai 100 persen, dengan rincian pelanggan rumah tangga 80.359 pelanggan, industri 27 pelanggan, sementara sisanya pelanggan segmen sosial, bisnis, dan pemerintahan.
Wakil Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Provinsi Sumatera Selatan Zain Ismed mengatakan dukungan yang diberikan PLN untuk peningkatan produksi pangan ini patut diapresiasi karena saat ini semua elemen negara diharapkan dapat menjaga semangat petani dalam berproduksi di tengah pandemi COVID-19.
Ini karena sektor pertanian diakui dapat tetap tumbuh positif di tengah pandemi bahkan mampu menjadi penopang perekonomian Indonesia lantaran tingginya konsumsi dalam negeri terhadap kebutuhan pangan hasil pertanian, peternakan dan perikanan.
“Jangan sampai mereka malas bertani, bantulah seperti sarana dan prasarana dan beri kepastian bahwa produk yang mereka jual memberikan keuntungan,” kata Zain.
Baca juga: Pemprov Sumsel dorong pemanfaatan lahan kosong untuk pertanian
Terpisah, Plt Kepala Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Hortikultura Provinsi Sumatera Selatan, R. Bambang Pramono mengatakan, pemerintah provinsi sangat mendukung program Listrik Masuk Sawah yang digagas oleh PLN ini dengan menganggarkan dana APBD untuk pembuatan sumur bor dan bantuan pompa air.
“Tahun ini kami akan buatkan belasan sumur bor di lahan sawah tadah hujan OKU Timur sehingga petani bisa mengakses program listrik masuk sawah,” kata dia.
Bantuan infrastruktur dan alat mesin pertanian ini dimaksud untuk mewujudkan target Sumsel memproduksi 3,1 juta ton GKG pada 2021.
Pada 2020, Sumsel berada pada urutan kelima untuk produksi gabah secara nasional yakni 2,6 juta ton GKG, atau masih di bawah Sulawesi Selatan dengan 4,6 juta ton GKG, Jawa Barat 9,0 juta ton GKG, Jawa Tengah 9,6 juta ton GKG, dan Jawa Timur 9,9 juta ton GKG.
Salah satu strateginya mengajak petani untuk meningkatkan intensitas penanaman dari satu kali menjadi dua kali dan yang sudah dua kali menjadi tiga kali. Potensi itu semakin terbuka berkat ada dukungan dari PLN dengan program listrik masuk sawah.
Menanggapi hadirnya program listrik masuk sawah, Muhrozi, ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Tunas Muda yang beranggotakan 114 petani di Desa Durian, mengatakan petani setempat sangat menyambut baik program ini.
Hanya saja, sejumlah petani masih terkendala biaya untuk penyambungan baru. Walau sebenarnya PLN juga memberikan solusi bahwa biaya dapat ditanggung bersama karena satu unit KwH Meter itu bisa digunakan beberapa petani sekaligus, tinggal disesuaikan daya listriknya yang bisa mengakomodir kebutuhan bersama.
Muhrozi mengatakan sebagian petani mengharapkan dapat mengakses pinjaman KUR (kredit usaha rakyat) agar bisa dijadikan modal kerja, di antaranya untuk penyambungan baru PLN serta membeli bibit dan pupuk supaya bisa menanam tiga kali dalam satu tahun.
“Untuk sumur bor, kami (di Desa Durian) sudah dijanjikan akan dibantu enam sumur dari pemerintah, sedangkan pompanya pada umumnya petani sudah punya,” kata dia.
Masalah dan kendala selalu ada dalam setiap program pembangunan, termasuk listrik masuk sawah. Namun jika semua pihak mau bersinergi maka inilah salah satu cara untuk menggali potensi yang terkandung di Bumi Sebiduk Sehaluan.
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2021
Tags: