Jakarta (ANTARA News) - Sejumlah praktisi dan investor jalan tol menolak lambannya pembangunan 24 ruas tol di Indonesia selama ini dibebankan kepada badan usaha atau investor karena justru kesalahan utama disebabkan karena pemerintah selama ini tidak jelas dalam melakukan pembebasan lahan.

Demikian kesimpulan dari tanggapan praktisi dan investor jalan tol yang dihubungi secara terpisah, Minggu, di Jakarta, terkait terbitnya Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 06/PRT/M/2010 sebagai tindak lanjut Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 67/2005.

Melalui Permen PU 06/2010 tertanggal 7 Mei 2010 itu, kepastian penyelenggaraan jalan tol ke depan lebih terjamin karena amanat Perpres 13/2010 telah mengatur alokasi resiko secara jelas antara lain yakni pengadaan tanah dilakukan oleh pemerintah sebelum proses pengadaan badan usaha.

Ketua Asosiasi Tol Indonesia Fatchur Rahman mengatakan, lambatnya pembangunan jalan tol tidak bisa dibebankan kepada investor, melainkan terletak pada kesalahan pemerintah dalam hal penyediaan lahan.

Soal evaluasi BPJT terhadap proyek jalan tol, bisa saja dilakukan untuk mengetahui kelayakan ekonomi seluruh dari proyek tol tersebut, tetapi bukan memutus kontrak ataupun menyalahkan investor.

"Apakah perlu diteruskan, perlu ada perjanjian baru atau harus ada `business plan` (rencana bisnis) baru. Karena kelayakan pada saat tender dan saat ini sudah berbeda termasuk harga tanah," kata Fathur.

Direktur Utama PT Jasa Marga (persero) Tbk Frans Setyaki Sunito mengatakan, pemerintah boleh saja mengevaluasi jalan tol yang perkembangannyaa lamban, asalkan evaluasi itu bisa mempercepat pembangunan jalan tol di Indonesia.

"Ya, seharusnya sekarang diambil langkah tegas, kalau ingin menggerakan kembali dan mempercepat pembangunan jalan tol yang dibutuhkan dalam rangka meningkatkan daya saing Indonesia," katanya.

Frans juga pernah mengatakan, terbitnya Permen terebut tidak akan membawa perubahan signifikan pada sejumlah rencana proyek pembangunan jalan tol di Tanah Air.

Jalan keluarnya adalah pemerintah dan anggota parlemen segera menuntaskan pembahasan undang-undang (RUU) pengadaan lahan untuk kepentingan umum yang hingga kini kian samar penyelesaiannya.

"Tidak akan berdampak apa-apa. Saya lebih yakin persoalan jalan tol akan selesai dengan UU pengadaan lahan untuk kepentingan umum. Ini yang semestinya didesak," katanya.

Pernyataan senada disampaikan oleh Direktur Utama PT Bakrie Toll Road Harya M Hidayat.

"Permen itu tetap saja belum memberikan kemudahan bagi investor jalan tol untuk bisa mempercepat proyeknya karena masih ada butir-butir yang kurang sesuai dan kurang kondusif sebagai usaha bersama untuk mempercepat pembangunan jalan tol," kata Harya.

Menurut dia, investor sebagai mitra pemerintah dalam mengembangkan pembangunan infrastruktur jalan tol dan sesuai dengan semangat dari Public Private Partnership (PPP) harusnya tercipta keseimbangan pada para pihak

"Sayangnya aturannya belum dimuat dalam Permen tersebut," kata Harya.

Meskipun dalam Permen PU dinyatakan akan ada dukungan dari pemerintah namun bentuknya belum konkret. Karena itu, lanjut Harya, masih perlu ada kebijakan yang bisa mengakomodir spirit PPP yang memuat juga aspirasi Badan Usaha Jalan Tol (BUJT).

Ancam terminasi
Pada akhir pekan lalu, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto menegaskan bahwa, pemerintah akan memutus kontak (default) kepada 24 BUJT, bila dalam kurun waktu sembilan bulan tidak ada progres untuk mengerjakan proyek tol.

"Kita akan lihat kesanggupannya dalam sembilan bulan ini. Kalau ekuitas kurang, mereka harus gandeng `partner` yang punya kemampuan ekuitas. Kalau setelah sembilan bulan tidak sanggup, yah... putus kontrak," kata Djoko.

Jika ada investor yang telah melakukan upaya pembebasan lahan, tapi terkendala regulasi maka Kementerian Pekerjaan Umum akan mendorong agar menyelesaikan proyeknya seperti Kertosono-Mojokerto 50,98 persen, Gempol-Pandaan 77,10 persen dan Cikampek-Palimanan 57,12 persen.(E008/A035)