Surabaya (ANTARA News) - Penanganan semburan lumpur panas PT Lapindo Brantas telah menyedot APBN selama periode 2006-2010 hingga mencapai Rp2,8 triliun.


"Alokasi anggaran sebesar itu bukan saja untuk memperbaiki infrastruktur publik yang rusak akibat semburan lumpur panas, melainkan juga untuk alokasi anggaran ganti rugi korban lumpur Lapindo," kata Uchok Sky Khadafi. B selaku Koordinator Advokasi dan Investigasi


Sekretariat Nasional Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (Fitra) dalam siaran persnya yang diterima ANTARA di Surabaya, Minggu.


Setiap tahun berikutnya, alokasi anggaran digunakan untuk pembebasan tanah, memperbaiki infrastruktur publik yang rusak, dan ganti rugi korban lumpur Lapindo.


Menurut Uchok hal itu sudah tertuang dalam rencana kerja pemerintah (RKP) dari 2011-2014 melalui Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) dengan alokasi anggaran sebesar Rp5,8 triliun.


Ia mengungkapkan, alokasi anggaran setiap tahun terus meningkat, yakni RKP 2011 sebesar Rp1,263 triliun,


RKP 2012 (Rp1,433 triliun), RKP 2013 (Rp1,493 triliun), dan RKP 2014 (Rp1,714 triliun).


"Melihat permasalahaan di atas dan sebagai penghormatan kami pada hari Lingkungan Hidup, kami meminta Satgas Pemberantasan Mafia Hukum untuk melakukan berbagai tindakan hukum dengan melakukan penyidikan di Polda Jawa Timur mengenai dihentikannya proses hukum PT Lapindo Brantas," kata Uchok.


Sampai sekarang, Polda Jatim belum menjelaskan penghentian proses hukum PT Lapindo Brantas secara sepihak.


"Penghentian proses hukum ini bisa terlihat adanya intervensi mafia hukum yang bisa memengaruhi proses hukum atas kejahatan lingkungan yang dilakukan PT Lapindo Brantas," katanya.


Fitra juga meminta Satgas Pemberantasan Mafia Hukum untuk memaksa Kapolri dan Jaksa Agung melakukan penyelidikan dan penyidikan atas kejahatan lingkungan yang dilakukan PT Lapindo Brantas. (ANT/B010)