Ketua F-Partai NasDem MPR RI: Belum ada kebutuhan amendemen UUD 1945
24 Maret 2021 20:22 WIB
Tangkap layar - Ketua Fraksi Partai NasDem MPR RI Taufik Basari (kanan atas) memberi paparan pada sesi diskusi bertajuk "Membedah Wacana atas Amendemen Terbatas UUD 1945" yang diadakan oleh Forum Diskusi Denpasar 12 sebagaimana dipantau di Jakarta, Rabu (24-3-2021). ANTARA/Genta Tenri Mawangi
Jakarta (ANTARA) - Ketua Fraksi Partai NasDem MPR RI Taufik Basari berpendapat belum ada kebutuhan mengamendemen pasal-pasal dalam UUD NRI Tahun 1945, khususnya penambahan masa jabatan presiden dan penetapan PPHN sebagai pengganti GBHN.
"Kami melihat terkait wacana (penambahan) masa jabatan presiden, belum ada kebutuhan yang mendasar atau mendesak. Dua kali masa jabatan itu sudah cukup demokratis, dan baik bagi kondisi bangsa kita," kata Taufik Basari saat menjadi pembicara pada sesi diskusi bertajuk Membedah Wacana atas Amendemen Terbatas UUD NRI Tahun 1945 yang diadakan oleh Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu.
Dalam pertemuan yang berlangsung secara virtual itu, Taufik Basari (yang akrab disapa Tobas) menjelaskan bahwa wacana membentuk Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai pengganti Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) juga tidak perlu melalui amendemen UUD NRI Tahun 1945.
"Jika butuh GBHN dalam bentuk PPHN, ini dapat diakomodasi dalam bentuk undang-undang saja, tanpa perlu ada amendemen kelima (UUD 1945)," kata Taufik dalam sesi diskusi.
Baca juga: HNW: Tidak ada agenda amendemen UUD 1945 soal jabatan presiden
Taufik Basari yang juga anggota Komisi III DPR RI mengatakan bahwa upaya mengubah konstitusi negara bukan persoalan yang mudah.
Pasalnya, kata dia, amendemen terhadap UUD 1945 harus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, khususnya Pasal 37 ayat (1) dan (5) UUD NRI Tahun 1945, serta wajib melalui evaluasi dan pembahasan yang mendalam dengan seluruh elemen bangsa.
Setidaknya ada beberapa catatan kritis, yang sempat dibahas dalam pertemuan internal Partai NasDem, terkait dengan wacana amendemen kelima UUD 1945. Catatan kritis itu salah satunya menyoroti wacana amendemen demi mengembalikan kembali GBHN dalam bentuk PPHN
Terkait dengan wacana itu, Taufik berpendapat bahwa penetapan PPHN justru dapat melemahkan sistem pemerintahan presidensial di Indonesia.
Padahal, amendemen pertama sampai amendemen keempat UUD 1945 yang dibuat pasca-Orde Baru, salah satunya bertujuan untuk menguatkan sistem pemerintahan presidensial di Indonesia.
"Jika GBHN (atau PPHN) dihidupkan kembali, dan ada pergantian presiden yang memiliki visi tertentu sesuai dengan kondisi zaman dan sebagainya, presiden justru nantinya terikat dengan PPHN, yang dapat menggeser sistem presidensial," kata Taufik saat menerangkan catatan kritisnya terkait wacana amendemen UUD 1945.
Baca juga: Syarief Hasan sebut tiga pandangan soal amendemen UUD 1945
Tidak hanya itu, kata dia, jika amendemen benar-benar dilakukan, dia khawatir itu berpotensi dapat mengutak-atik pasal lain yang sebenarnya tidak bermasalah.
"Yang harus disadari, ini bisa membuka kotak pandora, kalau diskusi awalnya terkait dengan GBHN, PPHN, tetapi bisa melebar ke mana-mana, misalnya pasal mengenai jabatan presiden. Yang tadinya tidak jadi isu, akhirnya ikut serta dibahas, diutak-atik," ujar Taufik Basari.
Hal itu, lanjut dia, merupakan konsekuensi yang mungkin terjadi apabila perubahan terbatas terhadap konstitusi negara benar-benar diusulkan dan terjadi nantinya.
"Kami melihat terkait wacana (penambahan) masa jabatan presiden, belum ada kebutuhan yang mendasar atau mendesak. Dua kali masa jabatan itu sudah cukup demokratis, dan baik bagi kondisi bangsa kita," kata Taufik Basari saat menjadi pembicara pada sesi diskusi bertajuk Membedah Wacana atas Amendemen Terbatas UUD NRI Tahun 1945 yang diadakan oleh Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu.
Dalam pertemuan yang berlangsung secara virtual itu, Taufik Basari (yang akrab disapa Tobas) menjelaskan bahwa wacana membentuk Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai pengganti Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) juga tidak perlu melalui amendemen UUD NRI Tahun 1945.
"Jika butuh GBHN dalam bentuk PPHN, ini dapat diakomodasi dalam bentuk undang-undang saja, tanpa perlu ada amendemen kelima (UUD 1945)," kata Taufik dalam sesi diskusi.
Baca juga: HNW: Tidak ada agenda amendemen UUD 1945 soal jabatan presiden
Taufik Basari yang juga anggota Komisi III DPR RI mengatakan bahwa upaya mengubah konstitusi negara bukan persoalan yang mudah.
Pasalnya, kata dia, amendemen terhadap UUD 1945 harus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, khususnya Pasal 37 ayat (1) dan (5) UUD NRI Tahun 1945, serta wajib melalui evaluasi dan pembahasan yang mendalam dengan seluruh elemen bangsa.
Setidaknya ada beberapa catatan kritis, yang sempat dibahas dalam pertemuan internal Partai NasDem, terkait dengan wacana amendemen kelima UUD 1945. Catatan kritis itu salah satunya menyoroti wacana amendemen demi mengembalikan kembali GBHN dalam bentuk PPHN
Terkait dengan wacana itu, Taufik berpendapat bahwa penetapan PPHN justru dapat melemahkan sistem pemerintahan presidensial di Indonesia.
Padahal, amendemen pertama sampai amendemen keempat UUD 1945 yang dibuat pasca-Orde Baru, salah satunya bertujuan untuk menguatkan sistem pemerintahan presidensial di Indonesia.
"Jika GBHN (atau PPHN) dihidupkan kembali, dan ada pergantian presiden yang memiliki visi tertentu sesuai dengan kondisi zaman dan sebagainya, presiden justru nantinya terikat dengan PPHN, yang dapat menggeser sistem presidensial," kata Taufik saat menerangkan catatan kritisnya terkait wacana amendemen UUD 1945.
Baca juga: Syarief Hasan sebut tiga pandangan soal amendemen UUD 1945
Tidak hanya itu, kata dia, jika amendemen benar-benar dilakukan, dia khawatir itu berpotensi dapat mengutak-atik pasal lain yang sebenarnya tidak bermasalah.
"Yang harus disadari, ini bisa membuka kotak pandora, kalau diskusi awalnya terkait dengan GBHN, PPHN, tetapi bisa melebar ke mana-mana, misalnya pasal mengenai jabatan presiden. Yang tadinya tidak jadi isu, akhirnya ikut serta dibahas, diutak-atik," ujar Taufik Basari.
Hal itu, lanjut dia, merupakan konsekuensi yang mungkin terjadi apabila perubahan terbatas terhadap konstitusi negara benar-benar diusulkan dan terjadi nantinya.
Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021
Tags: