Pekanbaru (ANTARA News) - Juru Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara, Zulfahmi, meminta pemerintah menempatkan masyarakat pada posisi penting sebagai aktor utama penerapan konsep REDD+ untuk pelestarian dan pencegahan degradasi kualitas lingkungan hutan.

"Konsep REDD bisa menjadi pisau bermata dua. Memberikan keuntungan dana kompensasi tapi juga bisa menempatkan masyarakat dalam posisi yang lebih sulit dari sebelumnya," kata Zulfahmi kepada ANTARA di Pekanbaru, Selasa.

Ia mengatakan hal tersebut menanggapi kerjasama pemerintah Indonesia-Norwegia untuk penyelamatan hutan yang disepakati di Oslo, Norwegia, beberapa waktu lalu.

Pemerintah Norwegia bersedia memberikan dana sekitar satu miliar dolar AS untuk pelestarian hutan Indonesia. Dengan itu, pemerintah Indonesia bersedia memberlakukan jeda tebang (moratorium) hutan selama dua tahun mulai 2011.

Menurut Zulfahmi, pemerintah Indonesia perlu secara transparan dalam menyusun skema pelaksanaan moratorium hutan agar tidak merugikan masyarakat sekitar hutan. Dalam pelaksanaan konsep tersebut tentu ada konsekuensi pengamanan dan penggunaan terhadap hasil hutan yang lebih ketat.

Karena itu, sosialisasi dan penguatan kelembagaan masyarakat sekitar hutan perlu diperhatikan pemerintah dalam penyusunan konsep kerjasama pelestarian hutan Indonesia-Norwegia.

"Keuntungan dari moratorium hutan harus lebih banyak didapatkan masyarakat, karena itu dan pemerintah harus menempatkan masyarakat di posisi yang jelas yakni sebagai aktor utama," katanya.

Hal tersebut, lanjutnya, bisa dimulai pemerintah dengan mulai membenahi manajemen pengelolaan hutan yang mengakomodir hak hutan ulayat.

Sebabnya, ia meyakini masyarakat adat telah lama memiliki kearifan lokal untuk pengelolaan hutan yang sayangnya belum diakomodir oleh pemerintah.

(T.F012/Z003/S026)